Misteri Otak Saat Bangun Tidur, Bagaimana Kita Bisa Terjaga Seketika?

Sumber ilustrasi: Freepik

24 Oktober 2025 09.50 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Desanomia [24.10.2025] Setiap pagi, tubuh manusia mampu bertransisi dari keadaan tidur lelap menuju kesadaran penuh dalam hitungan detik. Meski sering kali terasa seperti sebuah perubahan mendadak, proses ini sebenarnya merupakan rangkaian mekanisme kompleks dan terkoordinasi yang terjadi di dalam otak. Keadaan sadar atau terjaga ditandai oleh aktivitas otak yang lebih cepat dan fleksibel dibandingkan dengan saat tidur, yang ditandai dengan gelombang otak yang lambat dan terkoordinasi.

Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa proses bangun tidur melibatkan berbagai bagian otak, terutama wilayah subkortikal seperti reticular activating system (RAS), thalamus, dan korteks serebral. Aktivasi sistem ini memulai tahapan untuk membangunkan individu dari tidur dan memfasilitasi transisi menuju kesadaran penuh. Meski begitu, pertanyaan mengenai bagaimana otak mengetahui kapan waktu yang tepat untuk bangun tetap menjadi topik penelitian yang aktif.

Tidak terdapat satu momen tunggal ketika otak “menyala” dan berpindah dari tidur ke terjaga. Berdasarkan studi terbaru, proses ini dimulai dari bagian dalam otak yang mengirimkan sinyal ke berbagai wilayah lain untuk memulai aktivasi. RAS berperan sebagai pemicu awal yang mengaktifkan thalamus, yang kemudian menghubungkan sinyal tersebut ke korteks serebral, area penting dalam pemrosesan kesadaran dan pengambilan keputusan.

Penelitian yang dilakukan pada tahun 2025 menemukan pola khas pada aktivitas otak ketika seseorang bangun tidur. Saat peserta bangun dari tidur non-REM, aktivitas otak mereka menunjukkan gelombang lambat khas tidur sebelum kemudian meningkat menjadi gelombang cepat yang menandai keadaan terjaga. Sebaliknya, ketika bangun dari tidur REM, gelombang otak langsung melonjak ke pola yang lebih cepat tanpa tahapan awal gelombang lambat.

Secara geografis di dalam otak, kebangkitan dimulai dari bagian depan dan tengah otak, lalu menjalar ke bagian belakang. Mekanisme ini menunjukkan bahwa bangun tidur bukan hanya sekadar reaksi terhadap stimulus eksternal, tetapi merupakan proses bertahap yang mengikuti pola tertentu dalam sistem saraf pusat.

Namun, meskipun secara teknis sudah terbangun, otak manusia tidak langsung mencapai kapasitas kognitif penuhnya. Fenomena yang dikenal sebagai sleep inertia atau inersia tidur menyebabkan rasa lesu dan kebingungan sesaat setelah bangun. Durasi inersia ini dapat bervariasi antara 15 hingga 60 menit. Faktor-faktor yang memengaruhi inersia tidur belum sepenuhnya dipahami, meskipun waktu bangun dan cara seseorang terbangun, apakah secara alami atau dengan bantuan alarm, diyakini ikut berperan.

Sistem kewaspadaan internal otak juga mengalami siklus sekitar 50 detik, di mana tingkat kepekaan dan kemungkinan terbangun meningkat dan menurun secara bergantian. Selama fase awal siklus ini, otak lebih sulit dibangunkan, sedangkan menjelang akhir siklus, tidur menjadi lebih ringan dan otak lebih mudah merespons rangsangan. Sehingga, membiasakan diri bangun pada waktu yang sama setiap hari tanpa alarm dinilai lebih baik untuk mengurangi rasa kantuk saat terbangun.

Waktu yang tepat dalam siklus ini dapat membuat perbedaan signifikan terhadap seberapa segar seseorang merasa di pagi hari. Mengandalkan alarm dapat menyebabkan terbangun pada momen yang tidak optimal, yang memperburuk inersia tidur. Sebaliknya, ketika otak dibiarkan memilih waktu yang tepat untuk terbangun, transisi menuju kesadaran bisa berlangsung lebih mulus.

Proses bangun tidur ternyata jauh lebih kompleks daripada sekadar membuka mata dan merespons suara alarm. Otak manusia menjalankan rangkaian aktivitas saraf yang terorganisir untuk berpindah dari keadaan tidur ke sadar. Dimulai dari bagian dalam otak, sinyal diaktifkan secara bertahap menuju korteks, menyebabkan gelombang otak berubah dari lambat menjadi cepat. Transisi ini bervariasi tergantung dari tahap tidur sebelumnya, apakah itu REM atau non-REM.

Meskipun sudah terbangun, otak memerlukan waktu tambahan untuk mencapai kinerja optimal. Periode inersia tidur menjelaskan mengapa seseorang bisa merasa mengantuk meskipun sudah membuka mata. Mengatur rutinitas bangun secara alami dan konsisten tanpa alarm dapat membantu otak memilih momen terbaik untuk terbangun, sehingga mengurangi rasa lesu di pagi hari. Walau masih banyak misteri yang menyelimuti mekanisme ini, pemahaman yang lebih baik mengenai proses biologis saat bangun tidur membuka pintu bagi strategi hidup yang lebih sehat.

Diolah dari artikel:
“How do our brains wake up?” oleh Sara Hashemi.

Note: This article was made as part of a dedicated effort to bring science closer to everyday life and to inspire curiosity in its readers.

Link: https://www.livescience.com/health/neuroscience/how-do-our-brains-wake-up

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *