sumber ilustrasi: unsplash
Oleh: Untoro Hariadi
Nostalgia?
Setiap tahun, ritual mudik menjadi momen penting yang menyatukan kembali jutaan warga kota dengan tanah kelahirannya. Namun, mudik tidak sebatas perpindahan fisik atau nostalgia semata—ia adalah jendela refleksi mendalam yang menghubungkan kembali orang urban dengan akar kehidupannya. Di balik lautan manusia yang bergerak pulang kampung, tersembunyi narasi kompleks tentang relasi manusia dengan ruang, identitas, dan sistem kehidupan yang semakin terlupakan dalam hiruk-pikuk modernitas. Mudik, secara tidak langsung, menjadi penanda bahwa kota – dengan segala kemajuannya – belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan eksistensial manusia akan rasa memiliki dan keterikatan dengan tanah kelahiran.
Fenomena mudik sebenarnya mengungkap paradoks pembangunan nasional kita. Ketika jutaan orang rela menempuh perjalanan panjang, menghadapi kemacetan, dan mengeluarkan biaya besar untuk pulang ke desa, bukankah ini pertanda bahwa urbanisasi tidak sepenuhnya menjawab kebutuhan manusia? Melihat mudik dari perspektif sosio-ekologis membuka pemahaman bahwa desa bukan sekadar tempat kembali, melainkan ruang hidup dengan dimensi makna yang tidak ditemukan di perkotaan.
Ekosistem Terabaikan
Desa sesungguhnya adalah entitas kompleks yang tidak dapat direduksi menjadi sekadar unit administratif atau lumbung pangan nasional. Ia merupakan ruang sosial dan ekologis yang unik—tempat bertemunya nilai-nilai lokal, praktik pertanian tradisional, dan jaringan solidaritas yang tak tergantikan oleh institusi formal manapun. Dalam konteks ini, mudik menghadirkan momen reflektif bagi masyarakat urban untuk menyadari bahwa masih ada ruang yang menawarkan harmoni antara manusia dan alam, antara produksi dan keberlanjutan, antara kebutuhan dan kecukupan – konsep-konsep yang semakin kabur dalam kehidupan urban yang serba cepat dan konsumtif.
Permasalahannya, paradigma pembangunan desa selama ini cenderung terperangkap dalam logika modernisasi dan efisiensi ekonomi yang berorientasi pada pasar global. Desa didorong—bahkan dipaksa—untuk menjadi mesin produksi pangan skala besar dengan tujuan utama menyuplai kebutuhan kota atau ekspor. Akibatnya, sistem pangan lokal yang berbasis kearifan dan keberlanjutan tergantikan oleh sistem monokultur yang tidak hanya merusak keseimbangan ekologi tetapi juga secara sistematis meminggirkan pengetahuan lokal yang telah berevolusi selama berabad-abad. Pendekatan utilitarian ini mengabaikan fakta bahwa desa adalah ekosistem sosio-kultural kompleks dengan nilai intrinsik yang tidak selalu dapat diukur dengan parameter ekonomi.
Pangan Bermakna
Saat mudik, banyak warga kota kembali merasakan pengalaman pangan yang berbeda: sayur dari kebun sendiri, hasil sawah yang tanahnya diinjak langsung, olahan tradisional dengan resep turun-temurun, dan praktik berbagi makanan dalam sistem pangan berbasis komunitas. Pengalaman ini bukan sekadar nostalgia kuliner, melainkan manifestasi nyata dari sistem pangan yang mengutamakan kecukupan dan keberlanjutan, bukan kelimpahan semu seperti di kota dengan supermarket yang penuh namun terputus dari sumber produksinya. Pangan dalam konteks desa tidak hanya soal asupan kalori atau nilai gizi, tetapi juga tentang relasi sosial, makna kultural, kebersamaan, dan keseimbangan ekologis yang menjamin keberlanjutan.
Ironisnya, pengalaman pangan otentik ini hanya menjadi konsumsi temporer bagi para perantau. Terdapat kontradiksi mendasar ketika desa hanya dijadikan “dapur sementara” bagi warga kota, bukan sebagai pusat peradaban alternatif yang dihargai keunikannya. Kecenderungan ini mencerminkan pendekatan pembangunan yang seragam dan sentralistik, di mana desa dipaksa mengadopsi logika urban dan standar nasional, alih-alih diberi ruang untuk berkembang secara organik sesuai dengan karakter dan potensi lokalnya. Kebijakan pangan nasional seringkali mengabaikan keragaman pangan lokal demi standardisasi dan industrialisasi yang justru menghilangkan keberlanjutan dan kemandirian desa.
Erosi Identitas
Jika desa terus dilihat semata sebagai instrumen untuk memenuhi target-target nasional –seperti ketahanan pangan, industrialisasi pertanian, atau destinasi wisata – maka desa akan semakin kehilangan esensinya sebagai ruang hidup. Ia tidak lagi menjadi tempat bersemainya nilai-nilai komunal dan kearifan lokal, melainkan hanya sekadar ladang produksi yang dieksploitasi. Kehidupan sosial desa yang semula berlandaskan gotong royong dan reciprocity perlahan berubah menjadi arena kompetisi individu. Relasi dengan alam yang sebelumnya bersifat resiprokal dan penuh penghormatan bergeser menjadi eksploitatif dan ekstraktif.
Pergeseran paradigmatik ini bukan tanpa konsekuensi serius. Desa yang kehilangan identitasnya akan semakin sulit mempertahankan sistem sosialnya di tengah gempuran modernisasi yang tidak selektif. Perubahan orientasi pembangunan yang terlalu menekankan pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan daya dukung ekologis telah menyebabkan degradasi lahan pertanian, hilangnya varietas tanaman lokal, dan rusaknya siklus air yang vital bagi kehidupan pedesaan. Fenomena ini bukan sekadar krisis ekologis, tetapi juga krisis sosial, kultural, dan spiritual yang mengancam eksistensi desa sebagai entitas yang utuh.
Kedaulatan Lokal
Untuk menghadapi tantangan ini, penting untuk menempatkan kembali desa bukan hanya sebagai objek pembangunan, tetapi sebagai subjek yang memiliki hak penuh untuk menentukan arah perkembangannya sendiri sesuai dengan nilai dan kebutuhan lokalnya. Kebijakan pembangunan perdesaan harus bergeser dari pendekatan homogen menjadi lebih menghargai keragaman lokal dan membuka ruang partisipasi sejati bagi masyarakat desa dalam setiap pengambilan keputusan. Pendekatan yang kontekstual dan desentralistik menjadi prasyarat mutlak agar desa dapat bertahan dan berkembang tanpa kehilangan jati dirinya di tengah arus globalisasi yang kian deras.
Desa sesungguhnya memiliki potensi luar biasa sebagai pusat pembelajaran ekologi, sosial, dan sistem pangan berkelanjutan. Di sinilah pengetahuan lokal – seperti sistem tanam tumpangsari, teknik konservasi air tradisional, atau praktik berbagi hasil panen – masih hidup dan dipraktikkan. Sistem sosial berbasis solidaritas, musyawarah, dan gotong royong menjadi modal sosial berharga yang jarang ditemui di perkotaan. Dengan memperkuat dan merevitalisasi aspek-aspek ini, desa akan tetap menjadi ruang hidup yang adil, berkelanjutan, dan bermartabat—bukan sekadar penyangga kehidupan kota.
Pengingat Kolektif
Mudik, pada hakikatnya, adalah pengingat kolektif bahwa desa masih menyimpan harapan akan kehidupan yang lebih seimbang dan bermakna. Namun, harapan ini hanya akan bertahan jika kita berhenti memperlakukan desa sebagai ruang pasif yang hanya menerima kebijakan dari pusat. Diperlukan pergeseran paradigma untuk memaknai kembali desa sebagai ruang hidup yang bermakna dengan nilai intrinsiknya sendiri, bukan sekadar ruang produksi atau objek wisata untuk konsumsi urban. Desa adalah laboratorium hidup tempat manusia belajar hidup secukupnya, hidup selaras dengan alam, dan hidup dalam kebersamaan yang sejati.
Tantangan terbesar kita saat ini adalah bagaimana memastikan bahwa nilai-nilai ini tidak hanya dikenang saat mudik, tetapi menjadi landasan bagi pembangunan desa yang berkelanjutan dan berkeadilan. Jika kita gagal menjaga makna esensial dari desa, maka mudik kelak hanya akan menjadi ritual nostalgia untuk mengunjungi ruang yang telah kehilangan jiwanya—sebuah museum hidup dari apa yang pernah menjadi bagian integral dari identitas kolektif bangsa ini. Oleh karena itu, diskursus tentang mudik harus bergerak melampaui sekadar logistik tahunan, menjadi refleksi mendalam tentang bagaimana kita memposisikan desa dalam narasi pembangunan nasional yang lebih adil dan berkelanjutan.
Dr. Untoro Hariadi
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Janabadra