Mungkinkan Dunia Tanpa “Konsep Menang”

Sumber ilustrasi: Freepik

30 Oktober 2025 10.15 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Dalam sebuah percakapan imajiner, muncul pertanyaan yang mengganggu pikiran. Apakah konsep menang adalah konsepsi yang bersifat “bawaan”, ataukah sesuatu yang lahir dari pergulatan hidup manusia dalam peradaban yang dibangunnya? Apakah konsep menang merupakan monopoli manusia, ataukah pada seluruh mahluk hidup? Atau seperti apa? Jika memang “bawaan”, maka mungkin masalah menjadi berbeda. Akan tetapi, jika merupakan suatu konstruksi, atau buatan dari suatu peradaban, maka pertanyaan yang mungkin diajukan adalah apakah mungkin dunia tanpa “konsep menang”? Berikut ini adalah upaya membayangkannya:

Harus diakui bahwa “konsep menang” telah menjadi bagian yang terinternalisasi dalam cara kita memaknai kehidupan. Dalam banyak sistem sosial, kata tersebut digunakan untuk mengukur keberhasilan, keunggulan, atau bahkan harga diri. Keberadaannya tidak terlepas dari oposisi terhadap “kalah”, yang bersama-sama membentuk kerangka berpikir biner dalam hampir seluruh aspek kehidupan: mulai dari pendidikan, ekonomi, politik, hingga hubungan personal.

Dalam masyarakat modern, “menang” memiliki nilai simbolik yang kuat. Kata tersebut mencerminkan status, pencapaian, dan posisi dalam struktur sosial. Banyak institusi dan norma berputar di sekitarnya, menciptakan ekspektasi untuk menjadi yang terbaik, tercepat, atau terkuat. Nilai ini mendorong kompetisi yang kerap dijustifikasi sebagai wujud kemajuan, meski kadang justru memperkuat ketimpangan dan alienasi.

Apabila konsep “menang” dihapus dari struktur pemaknaan sosial, maka mungkin akan terjadi pergeseran dalam sistem relasi manusia. Hubungan yang selama ini dibangun berdasarkan hierarki dan dominasi dapat digantikan oleh bentuk relasi yang lebih setara dan dialogis. Pengakuan tidak lagi diperoleh melalui pencapaian relatif terhadap yang lain, melainkan dari keberadaan yang otentik dan kontribusi dalam kehidupan bersama.

Etika kehidupan pun mungkin akan mengalami perubahan mendalam. Orientasi terhadap dominasi akan tergantikan oleh nilai-nilai seperti solidaritas, kerja sama, dan empati. Tindakan manusia tidak lagi diarahkan untuk mengalahkan, tetapi untuk merawat dan memperkuat keberadaan bersama. Ini membuka kemungkinan munculnya sistem etika yang lebih membumi dan berkelanjutan.

Perubahan paradigma ini juga berdampak pada cara manusia membangun dan memahami pengetahuan. Epistemologi yang selama ini berakar pada kontrol dan objektifikasi akan tergantikan oleh pendekatan partisipatif yang berakar pada keterhubungan (baca: relasional). Pengetahuan tidak lagi dianggap sebagai alat untuk menguasai, melainkan sebagai sarana memahami dan merawat realitas.

Namun, perginya konsep “menang” juga menimbulkan tantangan. Bagi sebagian kalangan mungkin akan mempersoalkan. Yakni bahwa tanpa kerangka kompetisi, bagaimana motivasi untuk mencipta, berinovasi, atau berkembang tetap terpelihara? Sementara pihak mungkin akan mengatakan bahwa kehidupan tetap membutuhkan dorongan, dan absennya tolok ukur keberhasilan dapat menciptakan kekosongan makna jika tidak diisi dengan nilai-nilai baru yang sama kuatnya.

Bahasa pun akan mengalami transformasi besar. Ungkapan-ungkapan yang biasa digunakan untuk menandai keunggulan atau dominasi akan kehilangan tempat. Sebagai gantinya, akan lahir kosakata yang menekankan kebersamaan, pertumbuhan kolektif, dan keharmonisan. Bahasa akan menjadi alat pemersatu, bukan pemilah atau pembelah.

Perubahan ini turut memengaruhi pembentukan identitas. Individu tidak lagi membentuk citra diri berdasarkan perbandingan atau peringkat, melainkan melalui hubungan yang bermakna dengan lingkungan dan komunitas. Identitas tidak dibangun melalui kompetisi, melainkan melalui partisipasi dan keterlibatan yang otentik.

Beberapa komunitas tradisional dan eksperimen sosial telah menunjukkan bahwa kehidupan tanpa orientasi menang-kalah bukan hal yang mustahil. Meskipun tidak sempurna, komunitas-komunitas tersebut menawarkan model alternatif yang menekankan keberlangsungan, hubungan yang setara, dan keutuhan hidup. Pengalaman mereka menjadi bukti bahwa sistem nilai dapat dibentuk ulang.

Tanpa konsep “menang”, sistem sosial dapat dibangun di atas fondasi kebersamaan, bukan pemisahan. Pendidikan, misalnya, dapat diarahkan untuk merawat rasa ingin tahu dan kolaborasi, bukan sekadar menjadi arena seleksi. Bukan manusia unggul, tetapi pribadi berbudi. Begitu pula dalam ekonomi, kerja dapat dimaknai sebagai kontribusi, bukan persaingan.

Dalam dunia semacam itu, tujuan hidup akan mengalami penyesuaian. Kehidupan tidak lagi diarahkan untuk mencapai posisi tertinggi, tetapi untuk menjalani proses pertumbuhan bersama. Relasi tidak lagi diwarnai oleh dominasi, tetapi oleh keterhubungan yang saling menguatkan. Nilai-nilai seperti kedekatan, kepedulian, dan kebermaknaan akan menggantikan supremasi performa.

Membayangkan dunia tanpa kata “menang” bukan berarti membayangkan dunia tanpa dinamika. Justru imajinasi ini mengundang perenungan mendalam tentang arah kehidupan manusia. Apakah hidup harus selalu berarti menjadi yang terbaik, atau cukup menjadi bagian dari sesuatu yang saling menghidupi? Pertanyaan ini membuka ruang bagi tatanan nilai baru yang mungkin lebih manusiawi dan berkelanjutan.

Apakah mungkin? [desanomia – 301025 – dja]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *