sumber ilustrasi: unsplash
Oleh: Pandu Sagara
11 Mei 2025 11.00 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Bagaimana negara memahami kemiskinan? Jika kembali pada pikiran awal ketika negara berdiri, yang dalam hal ini dengan menengok rumusan pasal 34 UUD’45 (sebelum amandemen), maka yang dirumuskan adalah: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Jelas, bahwa kemiskinan dan negara, ada dalam satu kalimat. Hubungan keduanya jelas, bahwa negara, langsung mengambil posisi sebagai pihak yang akan mengurus mereka yang miskin dan yang terlantar. Sebenarnya ada dua soal dari pernyataan tersebut, yakni: (1) di hadapan negara, siapakah mereka yang disebut miskin dan terlantar; dan (2) apakah itu negara dihadapan mereka yang miskin dan terlantar?
Tindakan negara dalam mengembangkan berbagai program, baik yang bersifat karitatif maupun yang “berdimensi” pemberdayaan, telah dapat dikatakan, dalam batas tertentu, ada kejelasan relasi antara negara dan yang miskin. Artinya, negara telah “mendefinisikan” pada dirinya, siapakah yang layak disebut sebagai “miskin” dan karena itu, dapat menerima berbagai intervensi dari negara. Soalnya pada yang kedua. Yakni, apakah dengan pernyataan konstitusi tersebut, dapat menjadi dasar konstitusional bagi yang miskin untuk “menagih” hak konstitusional untuk “diurus” oleh negara? Soal ini, mungkin belum pernah dieksplorasi secara mendalam. Dunia akademi, mungkin perlu mengambil inisiatif untuk mengeksplorasi lebih jauh lewat riset dan kajian publik.
***
Ketika negara, dapat dikatakan tengah menjalankan kewajiban konstitusionalnya, yakni “mengurus” mereka yang miskin, maka segala tindakan negara, patut dilihat dengan lebih jernih sebagai: Pertama, bahwa yang dilakukannya adalah benar sebagai kewajiban yang harus dijalankannya, dan karena hal tersebut merupakan dasar keberadaannya. Jika negara mengabaikan kewajiban tersebut, dengan cara tidak mengurus mereka yang miskin, maka negara pada dirinya tengah mengerosi dasar (konstitusional) keberadaannya sendiri. Kedua, justru karena menyadari bahwa tindakan negara adalah tindakan konstitusional ketika “mengurus” mereka yang miskin, maka dengan itu, tindakan tersebut merupakan tindakan public (bangsa), dan bukan tindakan privat, eksklusif – yang hanya bisa dilihat oleh dirinya sendiri.
Karena itu, ketika negara membuat rumusan, dan menjadikan rumusan tersebut sebagai tindakan politik (menjadi kebijakan), maka terbuka padanya suatu evaluasi atau refleksi. Mengapa? Oleh sebab, rumusan negara, yang dalam hal ini ketetapan mengenai ukuran kemiskinan, tentu bukan sekedar alat statistik, tetapi merupakan cermin dari cara negara memahami struktur sosial dan ekonominya. Apa yang tampak dari ukuran kemiskinan yang telah ditetapkan? Bahwa garis kemiskinan (masih) ditentukan berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar. Ukuran ini dipilih (mungkin) karena sebagian besar penduduk bekerja di sektor informal, dan pendapatan mereka tidak dapat dipantau secara akurat.
Hal ini mengakibatkan, pengeluaran dianggap sebagai representasi paling realistis dari tingkat kesejahteraan. Apakah benar demikian? Para ahli, besar kemungkinan akan mengatakan bahwa pendekatan ini menyimpan keterbatasan mendasar. Yang ditangkap adalah menangkap efek, bukan sebab. Mampu membaca konsumsi, bukan kapasitas. Ketika rumah tangga mengurangi pengeluaran demi bertahan hidup, mereka mungkin justru tercatat “tidak miskin” karena belanja mereka masih di atas ambang statistik. Di sisi lain, mereka yang menyimpan bantuan atau hidup dengan penghasilan yang fluktuatif kerap tidak terdeteksi dalam sistem perlindungan sosial yang berbasis data ini.
Jika refleksi mendasar dilakukan, barangkali akan sampai pada pemikiran bahwa permasalahan ini mengisyaratkan perlunya konsepsi baru dalam memahami kemiskinan. Suatu konsepsi yang bukan hanya mengganti angka atau indikator, melainkan menuntut perubahan dalam struktur ekonomi itu sendiri. Jika ukuran kemiskinan dialihkan dari basis pengeluaran ke basis pendapatan, maka syarat fundamental yang harus dipenuhi adalah formalisasi ekonomi rakyat. Pendapatan hanya dapat digunakan sebagai indikator yang sah jika warga memiliki pekerjaan yang tercatat, penghasilan yang dikenai pajak, dan kontribusi yang terintegrasi dalam sistem fiskal nasional. Dengan kata lain, pengukuran kemiskinan berbasis pendapatan tidak mungkin dilakukan tanpa mengubah perekonomian informal menjadi sistem yang formal, adil, dan produktif. Proses ini menuntut reformasi besar-besaran dalam tata kerja nasional, sistem perpajakan, dan desain program sosial.
Sampai sini, kita barangkali akan segera melihat peta strategis. Suatu transformasi dibutuhan. Yakni transformasi dari ekonomi informal ke formal. Pagi-pagi perlu ditekankan, bahwa transformasi ini bukan hanya demi ketertiban administratif. Akan tetapi dalam upaya membangun fondasi untuk membangun pembiayaan negara yang berkelanjutan. Dalam struktur informal, negara kehilangan potensi pajak, sistem jaminan sosial tidak berjalan, dan masyarakat tetap berada dalam lingkaran rapuh kemiskinan yang tak terdeteksi.
Sebaliknya, ekonomi formal menciptakan hubungan timbal balik: rakyat membayar pajak berdasarkan pendapatan, dan negara menjamin perlindungan sosial serta investasi publik yang menjangkau seluruh warga. Dengan basis pengukuran yang berlandaskan pendapatan, sistem fiskal menjadi lebih terintegrasi dan responsif. Negara dapat menyesuaikan bantuan dan insentif secara otomatis, memperkecil ketimpangan, dan memperkuat kepercayaan antara warga dan institusi.
Konsepsi baru ukuran kemiskinan, dengan demikian, harus dilihat sebagai bagian dari strategi besar untuk menyehatkan fondasi ekonomi nasional. Ini bukan hanya soal statistik yang lebih akurat, tetapi tentang keberanian membangun sistem yang berpihak pada rakyat, yang menjadikan kerja dan usaha mereka sebagai pilar utama pembiayaan publik. Ketika ekonomi rakyat menjadi formal, bukan saja kemiskinan lebih mudah dikenali dan ditanggulangi, tetapi juga negara berdiri di atas sokongan nyata dari kekuatan produktif masyarakatnya sendiri. Tanpa ini, setiap program penanggulangan kemiskinan akan berjalan di atas kerapuhan struktural yang tidak menyentuh akar persoalan.