Ketika gagasan “Desa Cukup Pangan” dilahirkan untuk pertama kalinya, ada dua masalah yang segera timbul, yakni: Satu, terkait dengan istilah “cukup” (kecukupan). Mengapa istilah tersebut yang digunakan? Mengapa bukan istilah yang telah “umum” digunakan, yakni keamanan[i], ketahanan[ii], kemandirian[iii] dan kedaulatan[iv], dimana istilah-istilah tersebut telah memiliki pengertian yang baku dalam UU Pangan. Bahkan, ada kekhawatiran dimana penggunaan istilah tersebut akan membuat bingung, karena ada demikian banyak istilah yang digunakan dalam masalah pangan. Memang soalnya, apakah semua itulah tersebut, telah dapat dikatakan kompatibel dengan maksud yang terkandung dalam istilah cukup atau kecukupan yang digunakan. Jika memang dipandang kurang memadai, memang tidak ada salahnya diperkenalkan suatu istilah baru yang lebih tepat, yakni cukup.
Dua, apakah “desa cukup pangan” adalah suatu program pemerintah, proyek non-pemerintah, ataukah inisiatif warga? Jika digunakan istilah cukup, maka jelas bahwa istilah tersebut bukanlah istilah yang dapat bermakna universal. Istilah tersebut, jelas akan memiliki makna “setempat”. Bahkan masing-masing individu akan memiliki pengertian yang berbeda satu sama lainnya. Dengan kesetempatan ini, tentu saja akan menimbulkan tantangan tersebut, yakni: (a) apabila merupakan program pemerintah, maka kesulitan pertama yang dihadapi adalah bagaimana menyusun program ini mengingat tiap wilayah akan memiliki maknanya sendiri-sendiri. Artinya, program akan sulit untuk menjadi program yang sama untuk setiap daerah; dan (b) apabila program merupakan insitiatif dari warga, maka yang akan menjadi masalah adalah bagaimana cara mewujudkannya? Mungkinkan warga menghimpun pembiayaan sendiri untuk mewujudkan konsepsi tersebut?
Namun, yang menjadi pokok masalah ketika gagasan tersebut dimunculkan adalah apakah desa cukup pangan adalah hasil konstruksi, ataukah sesuatu yang memang sebenarnya ada di desa? Atau, apakah desa cukup pangan (selanjutnya, DCP), memiliki dasar keberadaan, ataukah tidak? Maksud, apakah konsep tersebut, hanyalah suatu ide kosong, yang tidak mencerminkan kenyataan, dan karena itu, dalam penerapannya akan mempunyai tantangan yang tidak mudah untuk diatasi. Ataukah sebenarnya konsep DCP sebenarnya merupakan realitas yang tersembunyi? Yakni sesuatu yang ada, namun selama ini tertutupi. Mengapa demikian? Karena jika kita melihat masa lalu yang jauh dari kehidupan desa, maka mungkin akan ditemukan bagaimana desa menata hidup dan kehidupannya, sedemikian rupa sehingga bisa bertahan hingga kini. Bahkan jika merujuk pada Penjelasan Pasal 18 UUD’45, dan yang telah pula dituliskan pula pada penjelasan UU Desa, maka akan tampak suatu kenyataan bahwa desa telah lebih dulu ada dibanding negara.
Adapun desa cukup pangan, secara ideal adalah suatu konsep, yang pengertiannya akan dikembangkan sendiri oleh tiap-tiap desa. Suatu pengertian yang mengandung dimensi “kesetempatan” atau mengacu kepada realitas sosio-ekologi setempat. Dalam arti ini, desa pada waktu membutuhkan suatu musyawarah desa, yakni proses dimana seluruh warga melakukan refleksi atas hidup dan kehidupan desa, terutama dalam masalah pangan. Masalah pangan di sini, tentu harus dilihat dengan kacamata baru, yakni kacamata yang tidak menempatkan desa hanya sekedar sebagai komoditas. Suatu kacamata yang menempatkan pangan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaan desa itu sendiri. Dengan sudut pandang itu, warga desa secara sadar melakukan refleksi dan kemudian membuat proyeksi ke depan, tentang bagaimana pangan desa dikelola dalam suatu kerangka pengelolaan hidup komunitas desa.
Ada tiga pilar utama dalam DCP, yakni kecukupan, keadilan dan keberlanjutan. Kecukupan — Menegaskan bahwa hidup tidak ditentukan oleh kelimpahan materi, melainkan oleh kemampuan menakar kebutuhan secara alamiah. Kecukupan bukan pembatasan, melainkan kesadaran bahwa ruang hidup menyediakan apa yang diperlukan selama tidak ada dorongan untuk berlebih-lebihan. Keadilan — Menegaskan bahwa segala yang ada di dalam ruang hidup memiliki hak yang seimbang, baik manusia, alam, maupun komunitas. Keadilan dalam desanomia bukan sekadar soal distribusi hasil, tetapi tentang bagaimana kehidupan itu sendiri terselenggara tanpa ada yang mengambil lebih dari yang mungkin. Keberlanjutan — Menegaskan bahwa kehidupan hanya akan terus berlangsung jika menjaga siklus alam yang memungkinkan regenerasi. Keberlanjutan tidak dipahami sebagai upaya konservasi yang dipaksakan, melainkan tumbuh dari kesadaran bahwa kehidupan yang cukup dan adil hanya mungkin terjadi jika berlangsung dalam ritme yang menjaga daya pulih ruang hidup itu sendiri.
Apa yang akan dihasilkan musyawarah tersebut? Pertama, tentu adalah suatu kesadaran baru. Bahwa soal pangan bukan soal yang bisa diabaikan, atau bukan sesuatu yang dapat dibiarkan diurus oleh pihak lain. Desa harus mulai mengerti darimana makanan dan air yang dikonsumsinya? Apakah makanan dan minuman yang dikonsumsi, adalah produk dari lokasi yang berjarak dengan dirinya? Jika benar demikian, apakah kenyataan tersebut tidak dapat dikatakan bahwa “lidah desa” sebenarnya telah merantau jauh, walaupun tubuh tetap ada di desa. Apakah dengan demikian “lidah desa” berpijak di atas bumi yang berbeda dengan bumi tempat dimana “tubuh” berpijak. Apa makna dari keadaan tersebut? Mengapa desa tidak sepenuhnya mampu menyediakan apa yang dibutuhkan warga? Atau sebaliknya, dimana desa benar-benar mampu menyediakan segala yang dibutuhkan warga? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang layak menjadi bahan refleksi warga, dalam rangka membangun kesadaran baru.
Kedua, setelah kesadaran, maka dibutuhkan suatu rencana kerja desa, atau perencanaan desa dalam rangka mewujudkan DCP. Dalam kerangka inilah, dibutuhkan apa yang disebut dengan neraca pangan desa (nepade). Mengapa digunakan istilah neraca? Apa yang hendak diukurnya? Keberadaan nepade diperuntukan sebagai sarana untuk mengetahui produksi dan konsumsi desa, serta keberlanjutannya. Jadi, secara sederhana, nepade membandingkan antara produksi dan konsumsi. Adanya nepade memperlihatkan bahwa DCP, bukan soal produksi, dengan segala turunannya. DCP bukan tentang usaha mencukupkan produksi, melainkan keseimbangan antara produksi dan konsumsi, serta masa depannya. Neraca pangan desa adalah instrumen penting untuk memastikan bahwa ketersediaan[v] pangan di tingkat desa memenuhi kebutuhan seluruh warganya secara cukup, beragam, dan memenuhi kecukupan gizi.
Perspektif kecukupan dalam neraca pangan menekankan keseimbangan antara jumlah produksi pangan lokal dengan kebutuhan konsumsi masyarakat, sehingga setiap individu dapat mengakses pangan sesuai kebutuhannya tanpa kekurangan atau pemborosan. Selain itu, neraca ini juga mengidentifikasi jenis pangan lokal yang tersedia dan potensi pengembangannya, sehingga desa dapat mendiversifikasi sumber pangannya. Dengan memanfaatkan data dari neraca pangan, desa dapat mengelola cadangan pangan untuk menghadapi situasi darurat seperti musim paceklik atau bencana. Dalam perspektif ekologi dan keadilan, neraca pangan desa tidak hanya mencatat angka produksi dan konsumsi, tetapi juga mempertimbangkan dampak ekologis dari aktivitas produksi pangan.
Neraca ini mempromosikan praktik pertanian, perikanan, dan peternakan yang ramah lingkungan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem desa. Sementara itu, dari sisi keadilan, neraca pangan memastikan distribusi pangan dilakukan secara merata, sehingga tidak ada kelompok yang tertinggal, terutama masyarakat rentan seperti lansia, anak-anak, atau keluarga miskin. Dengan demikian, nepade menjadi alat untuk menciptakan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan manusia, pelestarian lingkungan, dan pemerataan akses pangan, menjadikannya dasar bagi pengambilan keputusan yang inklusif dan berkelanjutan. Singkatnya, nepade adalah alat yang digunakan untuk memantau dan mengevaluasi ketersediaan, kebutuhan, dan kesenjangan pangan di tingkat desa. Neraca ini menjadi dasar pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan pangan. Komponen nepade:
- Data Produksi: Informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dihasilkan oleh desa dari sektor pertanian, perikanan, peternakan, atau hasil hutan.
- Data Konsumsi: Gambaran kebutuhan pangan warga desa berdasarkan jumlah penduduk, pola konsumsi, dan tingkat kebutuhan gizi.
- Keseimbangan: Perbandingan antara produksi dan konsumsi untuk menentukan apakah desa mengalami surplus, defisit, atau seimbang.
Manfaat Neraca Pangan Desa: (i) Mengidentifikasi kebutuhan pangan yang perlu dipenuhi melalui kerja sama dengan desa atau wilayah lain; (ii) Membantu desa mengelola cadangan pangan dengan lebih efektif; (iii) Mendorong produksi pangan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pada intinya, nepade, merupakan instrument public (warga desa), untuk mengetahui keadaan pangan di desa mereka sendiri. Secara demikian, setiap warga dapat ambil bagian, dalam memastikan kecukupan pangan di desa masing-masing.
Catatan:
Uraian sederhana tentang nepade ini, diambil dari naskah catatan awal Desa Cukup Pangan (Oktober 2024), suatu naskah yang belum dipublikasikan, dan masih dalam review. Publikasi sederhana ini untuk melengkapi uraian sederhana Desa Cukup Pangan yang telah dipublikasikan sebelumnya. [Desanomia – 03.25 – TM]
[i] Dalam UU Pangan dikatakan: Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.
[ii] Dalam UU Pangan dikatakan: Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
[iii] Dalam UU Pangan dikatakan: Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.
[iv] Dalam UU Pangan dikatakan: Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
[v] Dalam UU Pangan dikatakan: Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya Pangan dari hasil produksi dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional serta impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan.