Sumber ilustrasi: Pixabay
28 Juli 2025 11.20 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. (Alinea Pertama Pembukaan UUD ’1945)
Catatan: Dalam rangka memperingati 80 tahun, atau delapan dekade kemerdekaan bangsa Indonesia, desanomia.id akan menurunkan tulisan yang merupakan refleksi atas momen sejarah tersebut. Delapan puluh tahun merupakan masa yang sangat penting. Barangkali telah tiba waktu untuk generasi baru “membaca” kembali secara lebih mendalam sejarah, agar daripadanya diperoleh hal-hal mendasar yang penting untuk menyusun langkah bangsa dalam menghadapi tantangan baru, yang mungkin belum pernah dibayangkan sebelumnya. Tulisan ini, akan menjadi pemulainya.
Apa itu penjajahan? Sebagaimana diketahui bahwa teks resmi, yakni Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 sebagai “preambule” Undang-Undang Dasar 1945, secara jelas menyebut kata penjajahan. Mungkin perlu kiranya para ahli Bahasa, melakukan studi seksama untuk mencari tahu, mengapa yang digunakan adalah kata penjajahan dan bukan kolonialisme? Barangkali ada pesan tersembunyi yang terkandung didalamnya. Tulisan ini tentu tidak dimaksudkan untuk melakukan penelusuran Bahasa, tetapi hendak mengeksplorasi kemungkinan makna. Atas dasar itulah, pertanyaan tentang apa itu penjajahan diajukan sebagai awal, dengan maksud untuk memajukannya sebagai bahan refleksi dalam melihat apa yang telah lalu.
Apa yang hendak diajukan di sini adalah suatu pandangan, yang jika boleh dikatakan, merupakan suatu pandangan yang bersifat melengkapi, atas apa yang telah berkembang selama ini. Sebagaimana diketahui bahwa setiap kali kita bicara tentang penjajahan, maka yang pertama tergambarkan adalah suatu relasi antara “yang asing” dan “yang pribumi” (atau “yang setempat”). Dalam kitab sejarah digambarkan bagaimana penjajah datang sebagai armada kapal dagang, dan pada akhirnya membentuk pemerintahan penjajahan.
Apa yang dilukiskan sebagai pemerintahan adalah pemerintahan untuk kepentingan ekonomi penjajah, dimana kekayaan bangsa diangkut untuk membiayai hidup dan kehidupan negeri penjajah. Bahkan dalam kesaksian Ki Hadjar Dewantara, sebagaimana kritiknya lewat surat, digambarkan bagaimana perilaku penjajah, sehingga yang dijajah diminta ikut menyumbang perayaan kemerdekaan dari bangsanya: yang dijajah diminta menyumbang untuk perayaan kemerdekaan penjajah. Para pejuang kemerdekaan dapat dengan fasih menggambarkan berapa jumlah kekayaan yang pergi, dan bagaimana penderitaan rakyat atas keadaan tersebut.
Apa yang dipandang jarang mendapatkan kajian adalah bahwa penjajahan sebenarnya hadir dalam format yang lebih dari sekedar perkara rejeki. Dalam batas-batas tertentu, kita ingin mengatakan bahwa penjajahan tidak hanya hadir sebagai kekuasaan yang sekadar mengatur manusia, melainkan suatu proyek yang mengatur ulang kehidupan dalam totalitasnya, termasuk yang paling mendasar: relasi antara manusia dan alam. Apa yang hendak dilihat di sini, dengan optik ini adalah bahwa di balik kisah tentang perdagangan, penaklukan, dan peradaban, penjajahan membawa serta perangkat “pikiran” (dengan seluruh asumsinya) yang memungkinkan eksploitasi ekologis dilakukan secara sistematis dan dilegitimasi secara moral.
Apa yang digambarkan sebagai perampasan tanah, penghancuran hutan, pengeringan rawa, eksploitasi tambang, dan pengubahan lanskap menjadi ladang komoditas bukanlah konsekuensi tak terduga dari penjajahan, akan tetapi merupakan bagian inti dari logika kekuasaan penjajahan itu sendiri. Mengapa demikian? Untuk memahami mengapa hal itu terjadi, barangkali kita perlu menelusuri apa yang dapat dikatakan sebagai serangkaian asumsi dasar yang melandasi dan membenarkan tindakan ekologis tersebut.
Pertama adalah bahwa manusia berada di atas alam. Penjajahan beroperasi dalam kerangka antroposentrisme ekstrem, yakni gagasan bahwa alam bukanlah entitas hidup atau otonom, melainkan objek mati yang dapat dimiliki, dikendalikan, dan dimodifikasi. Alam dipandang semata-mata sebagai instrumen bagi kebutuhan manusia, terutama manusia yang dianggap rasional dan superior secara peradaban. Dalam pandangan ini, sungai yang tidak dimanfaatkan dianggap mubazir, hutan yang tidak ditebang dianggap liar dan tidak produktif, dan tanah yang tidak ditanami komoditas ekspor dianggap tidak bernilai. Relasi timbal balik yang telah lama dijalankan oleh masyarakat setempat dengan lingkungan hidup mereka direduksi menjadi hambatan bagi pertumbuhan ekonomi dan perlu disingkirkan. Maka, ketika hutan dibuka, rawa dikeringkan, atau sungai dialihkan alirannya demi kepentingan industri penjajah, tindakan tersebut tidak dianggap sebagai tindakan ekologis yang eksploitatif terhadap alam, tetapi sebagai bentuk “pemanfaatan sumber daya” yang rasional dan sah.
Kedua yang menopang penjajahan adalah klaim superioritas peradaban “yang asing” atas masyarakat di wilayah jajahan. Dalam kerangka ini, bangsa pendatang menempatkan diri sebagai pembawa kemajuan dan rasionalitas. Apa yang disebut “peradaban” diidentikkan dengan teknologi, sistem administrasi, dan bentuk pengelolaan alam yang berbasis kuantifikasi dan efisiensi. Sebaliknya, sistem penggunaan lahan yang dijalankan oleh masyarakat lokal, seperti pertanian berpindah, ladang campuran, pengelolaan hutan berbasis adat, atau praktik ritual ekologi, dianggap sebagai bentuk ketertinggalan, takhayul, dan irasionalitas. Oleh karena itu, proyek penjajah mengklaim mandat untuk “membenahi” cara masyarakat lokal memperlakukan alam. Melalui kebun-kebun industri, tambang berskala besar, dan proyek infrastruktur yang mengintervensi lanskap ekologis, penjajahanmenjalankan apa yang disebut sebagai misi peradaban, yang secara halus (namun brutal) menjustifikasi penghancuran ekosistem dan penghilangan pengetahuan ekologis lokal.
Ketiga adalah bahwa tanah yang tidak digunakan secara “optimal” dianggap sebagai “tanah kosong” yang sah untuk diambil alih. Suatu doktrin yang menyatakan bahwa wilayah yang tidak “digarap” atau “diproduksi” secara eksplisit menurut standar pendatang dianggap tidak bertuan. Di banyak tempat, hal ini menjadi dasar hukum untuk perampasan tanah adat, hutan komunitas, atau ruang hidup yang tidak memenuhi definisi “produktif” versi penjajah. Padahal, masyarakat adat sering kali memiliki sistem kelola lahan yang tidak terlihat secara kasat mata: wilayah spiritual, kawasan larangan, sistem rotasi ladang, hingga ruang konservasi alami. Semua bentuk relasi ekologis itu dihapus dari peta penjajah dan diganti dengan sistem kepemilikan yang tunduk pada logika produksi. Tanah menjadi modal, bukan ruang kehidupan. Maka, penjajahan bukan hanya mencabut manusia dari tanahnya, tetapi juga mencabut tanah dari makna ekologis dan sosial-ekonominya.
Keempat yang tak kalah penting adalah gagasan bahwa alam merupakan komoditas universal yang dapat dinilai dan diperjual-belikan lintas batas. Barangkali inilah inti dari logika ekonomi komersial yang diadopsi penjajahan dan diterapkan pada seluruh wilayah jajahan. Dalam pandangan ini, nilai sebuah hutan bukan ditentukan oleh perannya dalam menjaga iklim mikro atau menjaga keanekaragaman hayati, melainkan oleh berapa banyak kayu yang bisa dijual darinya. Sungai bukan lagi bagian dari sistem kehidupan yang mengalirkan air, energi, dan kesakralan, melainkan potensi pembangkit tenaga atau jalur logistik barang-barang ekspor. Alam diubah menjadi stok modal dan keberadaannya diukur berdasarkan kontribusinya terhadap akumulasi keuntungan. Implikasi ekologisnya sangat luas: kerusakan jangka panjang diabaikan demi keuntungan jangka pendek, dan ekosistem kompleks diringkus ke dalam grafik produktivitas atau bagan ekonomi.
Dan kelima suatu klaim bahwa pengetahuan ilmiah modern lebih unggul dan lebih sah dibandingkan pengetahuan lokal. Penjajahan datang bukan hanya dengan senjata dan birokrasi, tetapi juga dengan laboratorium, peta, dan sistem klasifikasi ilmiah. Botani penjajah mengkaji tanaman bukan untuk memahami ekosistem, tetapi untuk mengetahui jenis apa yang bisa ditanam massal. Geografi penjajah memetakan wilayah bukan sebagai ruang hidup komunitas, tetapi sebagai lokasi potensial produksi. Pengetahuan yang telah lama hidup dalam masyarakat lokal—yang diperoleh melalui pengalaman, observasi, dan hubungan spiritual dengan alam—disebut takhayul atau adat yang ketinggalan zaman. Proyek konservasi penjajah bahkan sering menyisihkan masyarakat lokal dari ruang ekologi mereka sendiri, atas nama “pelestarian ilmiah” yang justru memisahkan manusia dari alam. Dengan cara ini, penjajahan menghapus sistem pengetahuan ekologis setempat dan memaksakan epistemologi tunggal yang melayani proyek ekstraktif.
Kelima asumsi ini membentuk fondasi ideologis dari penjajahan ekologis: sebuah sistem kekuasaan yang menyasar bukan hanya tubuh manusia, tetapi juga tubuh bumi itu sendiri. Dalam kerangka ini, tindakan-tindakan seperti pembukaan hutan, eksploitasi tambang, pembangunan jalur ekspor, atau pengubahan sistem pertanian lokal bukanlah kebetulan atau dampak sampingan, melainkan manifestasi langsung dari cara berpikir penjajah yang mengobjektifikasi dan menginstrumentalisasi alam. Kekerasan ekologis ini dilembagakan dalam hukum, dibenarkan oleh ilmu pengetahuan, dan dinormalisasi oleh narasi pembangunan tanah jajahan. Dengan itulah, “yang asing” bekerja efektif dalam periode yang panjang. Apakah pandangan ini bisa diterima, yakni bahwa selayaknya penjajahan tidak semata dilihat sebagai problem politik (ekonomi-politik) dan militer, tetapi problem ekologis. Atau secara sederhana: penjajahan sebagai masalah ekologi.
Jika pandangan ini dapat diterima, maka proyek kemerdekaan sudah semestinya tidak dipersempit dalam pandangan yang mengeksklusi realitas ekologi, sebaliknya harus pula membuka jalan bagi terbukanya problem ekologis. Secara sederhana hendak dikatakan bahwa kemerdekaan hendaknya dapat mencakup rekonstruksi relasi ekologis, antara lain dengan mengakui kenyataan pengetahuan lokal, memulihkan ruang hidup yang dirampas, dan membongkar asumsi-asumsi dasar yang selama berabad-abad membenarkan kekerasan ekologis. Tanpa itu, penjajahan akan terus hadir, meskipun dengan wajah baru: dalam bentuk korporasi, skema konservasi global, atau proyek pembangunan yang terus mereproduksi struktur ketimpangan ekologis yang sama. Dekolonisasi sejati hanya mungkin jika diselenggarakan suatu dekolonisasi terhadap cara kita memahami dan memperlakukan bumi. [desanomia – 280725 – dja]