Sumber ilustrasi: Freepik
3 Agustus 2025 11.50 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Apa jadinya jika penjajahan dilihat dari sudut pengetahuan lokal (baca: setempat)? Apakah dimungkinkan? Mengapa pertanyaan ini layak untuk diajukan? Kita bisa berangkat dari pertanyaan yang sederhana: jika penjajahan dipandang secara konvensional, terutama terkait dengan “aliran rejeki” dari negeri jajahan ke negeri penjajah, maka akan muncul pertanyaan mendasar: (1) bukankah untuk menghasilkan “rejeki” dimaksud, maka sang penjajah harus menggunakan “sumberdaya alam” negeri jajahan? Dan hal itu artinya, sang penjajah harus punya “narasi” sedemikian rupa sehingga “rasa memiliki” dari yang dijajah, menjadi lebih cair, sehingga dimungkinkan sang penjajah menggunakan sumberdaya alam negeri jajahan? Salah satu hal yang pokok dari sumberdaya alam adalah tanah. Jika dan hanya jika “ikatan” komunitas lokal (yang dijajah) lebih cair, maka sangat dimungkinkan sang penjajah beroperasi di tanah dimaksud. Sejarah mencatat bahwa disamping “narasi” tentulah menggunakan peralatan koersif, sehingga pilihan tidak banyak, dan keterpaksaan menjadi bagian dari kisah penjajahan tersebut.
(2) tentu tidak hanya sumber-sumber agraria dibutuhkan untuk “menciptakan rejeki” yang akan dialirkan ke negeri penjajah, tetapi juga tenaga kerja. Pada titik ini, masalah menjadi lebih kompleks. Ada tenaga kerja untuk keperluan produksi, ada tenaga kerja mengelola proses produksi, dan ada tenaga kerja untuk keperluan membangun sistem produksi, sehingga keseluruhan proses berjalan sebagaimana yang diinginkan. Sejarah juga mencatat dengan baik, bahwa dalam soal ini, sang penjajah ternyata memiliki kerjasama yang baik dengan “kekuatan lokal”, terutama dalam hal ini adalah aristokrasi setempat. Apa yang memungkinkan kerjasama tersebut? Apakah ada kesamaan kepentingan? Apakah hanya itu? Atau bahwa cita-cita dari sang penjajah telah pula menjadi bagian dari cita-cita dari kekuatan lokal? Yakni masa depan dari yang lokal tidak lagi berada di situ, akan tetapi telah diletakkan “di sana”. Kehidupan sang penjajah sangat mungkin dipandang sebagai hal yang baik, dan karena itu, ada harapan untuk tiba pada keadaan yang sama.
Dari dua hal tersebut, sangat nampak bahwa di luar hal-hal yang dipandang tindakan koersif, terdapat kemungkinan bekerjanya “narasi” untuk membangun suatu susunan baru di wilayah jajahan. Sang penjajah dapat dikatakan telah mengubah pandangan yang dijajah. Baik terkait dengan sumber-sumber agraria, tenaga kerja, relasi antara manusia dan alam, dan berbagai aspek lain yang telah bekerja lama di wilayah jajahan tersebut. Bahkan, ketika sang penjajah hendak menggerakkan industri, maka dengan sendirinya seluruh kemampuan tenaga kerja lokal akan diubahnya, atau “ditingkatkan kapasitasnya” sehingga kompatibel dengan skema industrinya. Jika sang penjajah menyelenggarakan pendidikan, maka hal itu tidak lah semata-mata perkara “balas budi” akan tetapi terkait dengan adanya kebutuhan tenaga kerja guna melancarkan proses produksi dalam kerangka “pembentukan rejeki”. Jika pandangan ini dapat diterima, maka tentu saja yang benar-benar “diurus” oleh sang penjajah, tidak sekedar segala urusan di wilayah produksi, melainkan seluruh hal terkait, atau pembentukan suatu “ekosistem” yang melancarkan seluruh usaha penjajahan.
Pengetahuan
Apa itu “ekosistem” yang dimaksudkan di sini? Dalam batas tertentu, kita ingin mengambil posisi dengan menyatakan bahwa fundamen dari ekosistem yang dimaksud tidak lain adalah pengetahuan. Barangkali pandangan tersebut terasa sebagai suatu lompatan. Namun, hal ini, dapat dipahami sebagai berikut:
Pertama, bahwa pengetahuan menyusun relasi antara manusia dan dunia. Kita dalam posisi pemahaman bahwa pengetahuan tidak bersifat netral. Dalam batas tertentu hendak dikatakan bahwa pengetahuan atau sistem pengetahuan merupakan konstruksi yang membentuk bagaimana manusia memahami dirinya dan dunia di sekitarnya. Memang harus diakui bahwa dalam pandangan “dominan” masyarakat lokal” (seperti desa), tidak dipandang sebagai subyek epistemik.
Apa yang disebut sebagai pengetahuan lokal, bukanlah pengakuan posisi komunitas sebagai subyek, melainkan lebih untuk menunjuk adanya keterbatasan dari pengetahuan mainstream yang tidak sepenuhnya mampu menjangkau keunikan problem dan penyelesaiannya, di suatu wilayah, yang secara historis terselenggara dan hidup bersama komunitas. Pandangan tersebut tentu saja dapat dipahami, mengingat pengarusutamaan pengetahuan mainstream melalui dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan secara keseluruhan, yang tidak memungkinkan komunitas mengajukan pandangan berdasarkan alam pikirannya sendiri.
Meskipun narasi utama menempatkan pengetahuan yang hidup bersama komunitas sebagai pengetahuan lokal atau pengetahuan tradisional, namun hal tersebut tidak membatalkan susbtansinya bahwa pengetahuan tersebut ada dan bekerja. Dalam kenyataan tersebut, relasi antara manusia dan alam, bukanlah relasi sebagaimana dunia kekinian mengkonstruksi, tetapi suatu relasi yang bersifat holistik dan afektif terhadap alam: tanah bukan komoditas, tetapi entitas yang mengandung makna spiritual dan identitas kolektif, serta sejarah.
Kedua, pengetahuan dalam kerangka ini, tidak hanya berisi informasi yang diturunkan dari generasi ke generasi, tetapi membentuk kerangka pemahaman yang menentukan bagaimana suatu komunitas memahami alam, diri, dan kehidupan sosial. Pengetahuan memberikan dasar yang membentuk dan menetapkan apa yang dianggap benar, masuk akal, atau layak dikejar. Cara bertani, membaca tanda-tanda alam, merawat relasi dengan sesama makhluk, hingga menjalankan ritual “adat”, semuanya berakar pada batas-batas epistemologis yang dibentuk oleh pengetahuan (lokal) itu sendiri. Batas-batas ini muncul bukan dari logika keumuman yang seragam, melainkan dari sejarah panjang pengalaman hidup yang dijalani bersama. Karena itu, apa yang dianggap “masuk akal” dalam suatu komunitas lokal bisa sangat berbeda dari asumsi yang hidup dalam sistem pengetahuan lain. Tiap komunitas memiliki pandangan yang khas.
Dengan kenyataan pengetahuan yang demikian itu, dapat dikatakan bahwa seluruh motif yang berkembang dalam cara berpikir mainstream dewasa ini, seperti misalnya hal tentang kemajuan, atau apa yang dipandang harus dicapai, akan sangat berbeda. Masa depan komunitas bukan di luar komunitas. Pengetahuan tidak dikejar atau diraih di luar komunitas itu, melainkan dibentuk, diproduksi, diwariskan dan terus dikembangkan dalam komunitas itu sendiri. Sebagai contoh. Ketika memproduksi bahan makanan, pengetahuan lokal tidak berpikir tentang akumulasi bahan makanan, namun memproduksi sesuai dengan kebutuhan, dan hanya menyimpan untuk mengantisipasi kondisi yang tidak diinginkan, yakni ketika produksi gagal, baik akibat musim atau faktor lainnya. Pengetahuan di sini, tidak dalam posisi sebagai peralatan menjelaskan kenyataan, akan tetapi menjadi bagian dari cara manusia bermukim di wilayah tersebut.
Ketiga, pengetahuan mengarahkan tindakan. Apa yang dimaksud? Yakni bahwa pengetahuan (lokal) membentuk tindakan dengan menyediakan kerangka orientasi yang menetapkan arah, batas, dan makna dari setiap kemungkinan gerak tindakan dalam kehidupan bersama. Dalam komunitas yang hidup dari dan bersama tradisi (pengetahuan setempat), tindakan tidak lahir dari kehendak bebas yang tak terbatas, melainkan berakar pada struktur makna yang telah mengendap melalui tutur kata, simbol, dan praktik keseharian. Kerangka ini menentukan tidak hanya apa yang patut dilakukan, tetapi juga mengapa suatu tindakan layak dianggap benar, sah, atau bermartabat.
Pilihan untuk menanam jenis tanaman tertentu, menyusun waktu ritual, atau menentukan bentuk penyelesaian konflik, semuanya dijalankan dalam koordinat nilai dan pengetahuan yang telah diturunkan dan disaring melalui pengalaman kolektif. Secara demikian, pengetahuan (lokal) tidak berfungsi sebagai “petunjuk teknis”, melainkan sebagai horizon etis dan kosmologis yang menjadikan tindakan dapat diterima, dimaknai, dan diakui. Oleh karena itu, tindakan dalam konteks ini bukan tindakan dalam makna konvensional, akan tetapi dapat dipahami sebagai wujud aktivasi nilai yang telah tertanam. Makna yang lebih jauh adalah bahwa tindakan bukan sekadar reaksi terhadap kebutuhan atau perubahan eksternal, akan tetapi suatu formasi makna.
Keempat, lebih jauh dari poin ketiga, pengetahuan komunitas, dalam batas tertentu, dapat dikatakan menciptakan struktur nilai dan otoritas karena menjadi medan tempat nilai-nilai dan posisi sosial dirumuskan, dilegitimasi, dan diwariskan secara historis. Dalam konteks pengetahuan komunitas, nilai tidak dipahami sebagai prinsip abstrak yang berlaku universal, melainkan sebagai hasil pengendapan pengalaman kolektif (sejarah hidup bersama) yang dijalani dalam konteks sosio-ekologi setempat. Keadilan, misalnya, tidak dimaknai semata sebagai kesetaraan formal, tetapi sebagai keseimbangan yang terjaga melalui relasi yang tepat antara manusia, alam, dan leluhur.
Dalam horizon seperti itu, penilaian terhadap tindakan tidak didasarkan pada niat pribadi atau hasil akhir, melainkan pada keselarasan tindakan tersebut dengan tata makna yang telah tertanam dan diakui oleh komunitas. Posisi otoritatif pun tidak muncul dari jabatan administratif atau kuasa koersif, melainkan dari pengakuan terhadap kedalaman pemahaman dan kapasitas menafsirkan simpul-simpul makna yang menopang kehidupan bersama. Seorang “juru kunci”, penutur sejarah, atau pemangku adat memperoleh kepercayaan bukan karena posisi formal, tetapi karena kemampuan menjaga kesinambungan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan melalui pengolahan pengetahuan yang hidup dan “perlambang”. Kesemuanya itu, dapat dipandang sebagai cerminan dari “rasionalitas” komunitas yang menetapkan orientasi moral dan struktur nilai yang menjadi pegangan bersama.
Apa makna kesemuanya itu? Bahwa pengetahuan bukan sekadar instrumen atau alat representasi, melainkan dasar “keberadaan” bagi cara manusia hadir di dunia dan menjalin kehidupan bersama. Relasi dengan dunia tidak terjadi begitu saja, melainkan dibentuk melalui struktur pengetahuan yang menentukan cara dunia dihadirkan, dikenali, dan direspon. Begitu pula dengan apa yang dianggap benar atau layak dikejar, tidak berasal dari penalaran yang bebas nilai, melainkan dari horizon pengetahuan yang telah menanamkan batas-batas pengertian dan preferensi. Tindakan memperoleh arah dan legitimasi bukan karena kalkulasi rasional semata, tetapi karena ditopang oleh konfigurasi makna yang mengikat tindakan pada tatanan kehidupan bersama. Dan struktur nilai serta otoritas tidak muncul dari sistem abstrak kekuasaan, melainkan dari pengakuan terhadap keabsahan epistemik yang melekat pada posisi-posisi tertentu dalam jaringan sosial. Dengan demikian, pengetahuan bekerja sebagai medan eksistensial tempat nilai, makna, dan “kuasa” dijalin secara hidup, dan bukan ditentukan secara formal atau eksternal.
Penjajahan
Jika pengetahuan (lokal) dipahami lebih dari sekedar perangkat memahami realitas, melainkan struktur dasar yang membentuk dunia itu sendiri sebagaimana dihayati dan dihidupi komunitas, maka “posisi” pengetahuan menjadi “sentral”. Melalui pengetahuan tersebut, dunia dimaknai bukan bukan sebagai sesuatu yang netral, tetapi sebagai medan makna yang telah ditata dalam hubungan-hubungan tertentu: antara manusia dan alam, antara individu dan komunitas, antara masa lalu dan masa depan. Kesemuanya itu menjelma melalui komunikasi (bahasa), kegiatan ritual, narasi kolektif, teknik hidup, dan sistem nilai yang mengarahkan cara bertindak serta menentukan batas apa yang layak, benar, dan sah. Oleh karena itu, pengetahuan, dalam kerangka ini, tentu tidak lagi dapat direduksi menjadi tradisi kognitif belaka, tetapi merupakan arsitektur eksistensial yang menopang keutuhan dunia sebagaimana dunia itu dirasakan dan dijalani oleh komunitas, sepanjang keberadaannya.
Dari kedudukan semacam ini, menjadi jelas bahwa pengetahuan lokal tidak hanya menyusun dunia, tetapi juga memeliharanya melalui orientasi nilai, batas tindakan, dan struktur otoritas yang lahir dari proses historis komunitas itu sendiri. Pengetahuan membentuk horizon kelayakan—apa yang pantas untuk dipercaya, siapa yang pantas dipercaya, dan bagaimana sesuatu harus dijalani. Dalam horizon tersebut, tindakan bukan hanya respons atas rangsangan luar, melainkan perwujudan dari struktur makna yang telah menetap dalam tubuh kolektif komunitas. Kehidupan yang berakar pada pengetahuan lokal adalah kehidupan yang berstruktur, bukan dalam pengertian hirarkis formal, tetapi dalam intensitas kehadiran makna yang menjalin setiap aspek keberadaan. Dengan optik ini, akan mudah dimengerti mengapa ada larangan, pantangan, dan berbagai ketentuan lain, yang membuat alam lebih terjaga dan berkelanjutan, serta harmoni sosial terawat.
Dengan memahami pengetahuan sebagai tatanan yang menyeluruh dan mengikat, maka menjadi niscaya bahwa suatu upaya melakukan “intervensi” ke dalam hidup komunitas dalam ruang sosio-ekologi setempat tersebut, apapun motifnya, dan lebih jika motifnya adalah menguasai segala sumberdaya yang menjadi milik dan dalam penguasaan komunitas, pertama-tama dan pada dasarnya akan berhadapan dengan sistem pengetahuan lokal tersebut. Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa penjajahan tidak dapat berlangsung hanya dengan menduduki tanah atau mengerahkan kekuatan koersif, karena operasi semacam itu akan selalu menghadapi resistensi jika pengetahuan lokal tetap menjadi sumber orientasi dan legitimasi tindakan. Oleh karena itu, sangat wajar, jika dilihat dari optik penjajah, bahwa strategi yang paling efektif dan paling subtil dalam penjajahan adalah menyerang basis pengetahuan itu sendiri, baik melalui eksklusi, delegitimasi, maupun rekonstruksi paksa dalam kerangka pengetahuan dominan yang dibawa oleh kekuatan penjajah. Dengan demikian, pengetahuan lokal tidak hanya diabaikan, melainkan diatur ulang agar kehilangan daya pengatur, daya menafsir, dan daya mengikatnya.
Tindakan eksklusi epistemik ini menciptakan ruang kosong simbolik, yang lalu diisi oleh sistem pengetahuan baru yang tidak hanya asing, tetapi membawa serta struktur nilai, kategori dunia, dan cara hidup yang bertentangan dengan horizon lokal. Pengetahuan baru ini diproyeksikan sebagai satu-satunya cara untuk menjadi rasional, beradab, atau maju, sementara pengetahuan lokal direduksi menjadi warisan usang yang patut ditinggalkan. Dalam kerangka itulah eksploitasi atas sumber daya, penghancuran struktur sosial, dan penghilangan otoritas lokal dapat dijalankan tanpa merasa bersalah, karena seluruh tindakan tersebut tampak sebagai bagian dari proses rasionalisasi atau perbaikan. Atau bahkan sebagai suatu proyek “suci” peradaban, yakni membawa “yang terbelakang” kepada “masa depan yang baru”. Penjajahan memperoleh justifikasi bukan dari senjata, tetapi dari narasi pengetahuan yang memosisikan tindakan destruktif sebagai bagian dari proyek pembaruan dunia.
Dengan demikian, menjadi lebih jelas bahwa pengetahuan tidak hanya menjadi sasaran operasi penjajahan, melainkan pusat strategis yang harus pertama-tama “diurus”, demi kemungkinan dan keberlangsungan dominasi. Penguasaan atas pengetahuan lokal tidak hanya memungkinkan kontrol atas tindakan kolektif, tetapi juga membuka ruang untuk membentuk ulang imajinasi tentang masa depan. Penjajahan yang berhasil bukan hanya yang merebut wilayah, tetapi yang mengganti cara dunia dipahami dan dijalani, serta mengubah mimpi komunitas. Karena itu, pengetahuan menjadi medan utama di mana suatu dunia dihancurkan secara perlahan, dan dunia lain dibangun di atas reruntuhan makna yang telah diluruhkan. Dalam proses inilah penjajahan menemukan bentuk paling dalamnya: bukan dalam kekerasan fisik, melainkan dalam restrukturisasi cara mengetahui, cara merasa, dan cara menjadi.
Jika argumentasi tersebut dapat diterima, bagaimana kira-kira bentuk operasi yang mungkin dari “sang penjajah” terhadap pengetahuan lokal? Beberapa tindakan epistemik berikut, sangat mungkin terselenggara, dalam berbagai bentuk:
Satu. Hal awal yang mungkin dilakukan oleh “sang penjajah” adalah suatu tindakan yang hendak disebut di sini sebagai eksklusi sistematis terhadap pengetahuan lokal dari ruang yang diakui sebagai “sah” atau “ilmiah.” Pengetahuan lokal yang menjadi dasar keberlangsungan komunitas, baik dalam pertanian, pengobatan, kosmologi, hukum, maupun spiritualitas, disebut sebagai “mistik”, irasional, tidak relevan, atau tidak ilmiah. Labelisasi semacam ini bukan kritik, tetapi delegitimasi, yakni mencabut keabsahan pengetahuan lokal dari posisinya sebagai sumber otoritas. Delegitimasi ini menciptakan keraguan internal dalam diri masyarakat terhadap pengetahuan yang diwarisi, sekaligus menempatkan pengetahuan eksternal, yang dibawa dan dikembangkan sang penjajah, sebagai satu-satunya rujukan yang sah.
Dua. Pengetahuan lokal tidak selalu dimusnahkan secara frontal, namun dilakukan suatu strategi rekonstruksi atau kooptasi, yakni mengemas ulang pengetahuan lokal dalam kerangka yang sesuai dengan logika penjajah. Dalam proses ini, aspek-aspek tertentu dari pengetahuan lokal yang dianggap “berguna” diekstraksi, direduksi, dari konteksnya, dan diintegrasikan dalam sistem penjajah, misalnya dalam sistem pertanian komersial, tata ruang administratif, atau katalogasi sumber daya alam. Pengetahuan lokal diambil bukan sebagai totalitas makna, tetapi sebagai bahan mentah yang dapat dimodifikasi dan dikendalikan. Hasilnya bukan pelestarian, melainkan deformasi epistemik yang melayani tujuan eksploitasi. Tindakan ini mirip dengan apa yang kini berkembang, yakni mengambil simbol-simbol lokal, untuk menembus pasar lokal.
Tiga. Langkah yang dapat dikatakan sebagai pelembagaan pengetahuan dominan (penjajah). Tindakan ini menyasar pembentukan lembaga-lembaga baru, yang sepenuhnya dalam kendali penjajah, yang seluruhnya beroperasi berdasarkan sistem pengetahuan penjajah. Dalam ruang-ruang inilah proses transmisi nilai dan rasionalitas penjajah berlangsung secara sistematis. Bahasa lokal digantikan dengan bahasa penjajah sebagai medium pendidikan dan administrasi; struktur berpikir lokal digantikan oleh logika klasifikasi penjajah; otoritas tradisional digantikan oleh jabatan formal yang ditentukan oleh sistem penjajah. Dengan kata lain, institusi penjajah tidak hanya menjalankan fungsi teknis, tetapi menjadi alat produksi dan distribusi pengetahuan yang menggeser orientasi berpikir masyarakat.
Empat.Pengetahuan lokal tidak hanya tersimpan dalam kata-kata atau teks, melainkan juga dalam lanskap simbolik: ritual, mitos, arsitektur, pola ruang, dan benda-benda keramat. Penjajahan mengurus aspek-aspek ini dengan cara yang sangat sistematis, membangun simbol tandingan, melarang ritual tertentu, menghancurkan situs sakral, atau menggantikan narasi mitologis dengan sejarah resmi penjajah. Tindakan ini mencabut lapisan-lapisan pengingat kolektif dari tubuh masyarakat dan menciptakan kekosongan simbolik yang kemudian diisi oleh simbol kekuasaan baru. Proses ini meluruhkan kontinuitas makna yang menjadi fondasi pengetahuan lokal. Bangunan pengetahuan lokal, secara perlahan dirubuhkan.
Lima. Tindakan paling subtil namun paling menentukan dari penjajahan terhadap pengetahuan lokal adalah menciptakan disorientasi dalam imajinasi kolektif. Komunitas tidak hanya kehilangan kepercayaan pada pengetahuan yang diwarisi, tetapi juga diarahkan untuk membayangkan masa depan dalam horizon yang sepenuhnya ditentukan oleh logika penjajah. Mimpi akan kemajuan, pendidikan, kehidupan layak, dan bahkan keselamatan eksistensial, semuanya diposisikan dalam jarak dari dunia lokal. Masa depan diletakkan “di luar”, bukan sebagai kelanjutan dari kehidupan lokal, melainkan sebagai sesuatu yang hanya bisa dicapai dengan meninggalkan akar epistemiknya. Dalam proses inilah penjajahan tidak hanya mengatur tubuh dan tanah, tetapi juga mengendalikan arah waktu dan kemungkinan hidup.
Akhirnya …
Apa makna dari keseluruhan refleksi di atas? Apakah mungkin penjajahan dipandang atau ditempatkan sebagai problem epistemologi? [desanomia – 030825 – dja]