sumber ilustrasi: unsplash
21 Apr 2025 10.10 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [21.4.2025] Dalam semangat peringatan Hari Kartini, saat kita mengenang perjuangan emansipasi perempuan di Indonesia, penting untuk mengakui bahwa tantangan global seperti perubahan iklim pun menyentuh isu kesetaraan gender secara mendalam. Perubahan iklim tidak memengaruhi semua orang secara merata, perempuan dan anak perempuan menanggung beban dampak yang tidak proporsional, terutama di negara-negara berkembang dan komunitas pedesaan yang mengandalkan sumber daya alam sebagai penghidupan utama.
Di banyak wilayah, perempuan bertugas mengamankan makanan, air, dan kayu bakar untuk keluarga mereka. Ketika kekeringan dan curah hujan tidak menentu melanda, mereka harus berjalan lebih jauh, bekerja lebih keras, dan menghabiskan lebih banyak waktu demi memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Kondisi ini tidak hanya memperberat beban kerja, tetapi juga meningkatkan risiko kekerasan berbasis gender. Selain itu, saat bencana iklim ekstrem terjadi, perempuan dan anak-anak 14 kali lebih berisiko meninggal dunia dibanding laki-laki, akibat keterbatasan akses terhadap informasi, mobilitas, dan pengambilan keputusan.
Namun di tengah krisis ini, perempuan tidak hanya menjadi korban, namun mereka juga merupakan pilar solusi dan mengapa pemberdayaan perempuan dan anak perempuan menjadi kunci penting dalam aksi iklim.
Perempuan sebagai Penjaga Lingkungan
Perempuan memainkan peran sentral dalam produksi pangan global. Mereka bertanggung jawab atas sekitar 50% produksi pangan dunia, dan hingga 80% di negara berkembang. Sebagai petani dan pengelola lahan, perempuan telah lama mengembangkan kearifan lokal dalam menghadapi perubahan iklim. Mereka mempraktikkan pertanian ramah lingkungan, menggunakan varietas benih tahan kekeringan, serta menerapkan teknik pengelolaan tanah organik yang menjaga kesuburan tanpa merusak alam.
Di komunitas adat, perempuan memegang peranan vital dalam menjaga ekosistem. Pengetahuan turun-temurun mereka mencakup pelestarian keanekaragaman hayati, perlindungan serangga penyerbuk, pengelolaan hutan berbasis komunitas, serta teknik alami untuk pemupukan tanah. Namun demikian, akses perempuan terhadap lahan, kredit, pelatihan, dan teknologi masih sangat terbatas. Padahal, jika kesenjangan ini diatasi, produksi pertanian bisa meningkat 20–30%, cukup untuk memberi makan tambahan 100–150 juta orang dan mengurangi tekanan konversi hutan menjadi lahan pertanian — salah satu penyebab utama perubahan iklim.
Perempuan sebagai Pilar Ketahanan
Perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga dan perawatan tanpa upah 2,5 kali lebih banyak dibanding laki-laki. Dalam kondisi krisis iklim seperti banjir, kekeringan, atau kebakaran hutan, mereka harus memikul tanggung jawab ekstra, mulai dari menyelamatkan keluarga, merawat yang sakit, hingga membangun kembali kehidupan setelah bencana.
Namun ironisnya, meski sering kali menjadi penyelamat pertama saat bencana melanda, perempuan masih jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang kebijakan risiko bencana dan pembangunan ketahanan. Padahal, dengan melibatkan pengalaman, kapasitas, dan wawasan perempuan, strategi adaptasi akan jauh lebih responsif dan efektif. Kesertaan perempuan dalam perencanaan tanggap darurat dapat meningkatkan kewaspadaan komunitas dan mempercepat pemulihan sosial maupun ekonomi.
Perempuan sebagai Agen Perubahan
Dalam berbagai gerakan iklim global, perempuan, mulai dari pelajar muda, ibu rumah tangga, hingga tokoh publik, telah berada di barisan terdepan menuntut perubahan. Di sektor konsumsi, perempuan juga memiliki peran signifikan. Di negara maju, mereka menentukan 70-80% keputusan pembelian rumah tangga, dan cenderung memilih gaya hidup ramah lingkungan: lebih memilih produk organik, menghemat energi dan air, serta aktif dalam kegiatan daur ulang.
Kepemimpinan perempuan juga berdampak nyata di tingkat kebijakan. Negara-negara dengan proporsi tinggi anggota parlemen perempuan lebih cenderung meratifikasi perjanjian lingkungan internasional dan memberlakukan kebijakan iklim yang ambisius. Di dunia bisnis, perusahaan yang inklusif gender menunjukkan kinerja lingkungan yang lebih baik dan investasi lebih besar di bidang energi terbarukan.
Bahkan di sektor energi bersih seperti tenaga surya, keterwakilan perempuan kini mencapai 40% — jauh lebih tinggi dibanding sektor minyak dan gas yang hanya sekitar 22%. Fakta ini menunjukkan bahwa transisi menuju ekonomi hijau tak bisa dipisahkan dari keterlibatan dan kepemimpinan perempuan.
Buah Pikiran
Hari Kartini tahun ini harus menjadi pengingat bahwa perjuangan perempuan tak berhenti pada akses pendidikan atau kesetaraan hukum. Di era krisis iklim, perempuan menanggung dampak terbesar namun sekaligus memegang solusi paling relevan. Menjadikan perempuan sebagai pusat aksi iklim bukan hanya soal keadilan, tetapi juga efektivitas. Dunia tidak bisa bertahan tanpa menyertakan separuh populasinya dalam upaya penyelamatan bumi.
Kita tidak bisa terus membiarkan perempuan dipinggirkan dalam pengambilan keputusan strategis. Dalam banyak kasus, mereka memiliki pengetahuan lokal yang justru lebih adaptif terhadap realitas perubahan iklim. Keberhasilan aksi iklim bergantung pada integrasi antara kebijakan berbasis sains dengan pengalaman berbasis komunitas, di mana perempuan memainkan peran sentral.
Mengangkat suara dan peran perempuan adalah bentuk penghargaan terhadap nilai-nilai yang diperjuangkan Kartini: keberdayaan, pendidikan, dan partisipasi. Mari jadikan momen ini sebagai panggilan untuk membangun masa depan yang adil gender dan berkelanjutan secara ekologis. Selamat Hari Kartini untuk seluruh perempuan yang tanpa lelah menjaga kehidupan, bumi, dan harapan umat manusia. (NJD)
Sumber: United Nation
Link: https://www.un.org/en/climatechange/science/climate-issues/women