Sumber ilustrasi: Pixabay
2 Agustus 2025 17.00 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [02.08.2025] Sebuah studi baru menunjukkan bahwa teknik mental sederhana yang menyerupai “perjalanan waktu” dapat membantu merevitalisasi ingatan yang mulai pudar. Temuan ini menambah pemahaman tentang bagaimana memori bekerja dan bagaimana manusia dapat secara aktif mempertahankannya. Penelitian yang diterbitkan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) pada 28 Juli 2025 tersebut, meneliti bagaimana mengakses kembali konteks emosional dan kognitif dari saat sebuah memori terbentuk, dapat memperkuat daya ingat jangka pendek hingga menengah.
Penelitian ini berfokus pada jenis memori yang muncul dari aktivitas belajar, seperti menghafal teks atau daftar kata, bukan pada kenangan pribadi atau pengalaman hidup sehari-hari. Para peneliti menggambarkan memori seperti sebuah batu besar yang berada di puncak gunung. Ketika pertama kali terbentuk, memori berada di posisi yang sangat rentan untuk dilupakan layaknya batu yang mudah menggelinding dari ketinggian. Seiring waktu, batu tersebut mulai menuruni lereng, menggambarkan proses pelupaan yang terjadi secara bertahap. Akan tetapi saat sudah mendekati dasar gunung, kecepatan pelupaan menjadi lebih lambat. Studi ini mencoba mencari tahu apakah batu itu, simbol dari memori, bisa “didorong kembali ke atas” secara sadar dengan bantuan teknik mental tertentu, sehingga memori yang mulai pudar bisa diperkuat kembali.
Tim peneliti yang dipimpin oleh Karl-Heinz Bäuml dari Universitas Regensburg merekrut lebih dari 1.200 peserta. Setengahnya diminta untuk mempelajari paragraf pendek, dan sisanya menghafal daftar kata benda tak berhubungan. Masing-masing kelompok kemudian dibagi lagi menjadi empat subkelompok dengan metode pengujian yang berbeda. Satu kelompok digunakan sebagai pembanding, diminta untuk mengingat informasi beberapa kali dalam satu jam tanpa intervensi tambahan. Tiga kelompok lainnya diuji setelah jeda waktu yang bervariasi: empat jam, 24 jam, dan tujuh hari.
Pada saat pengujian, kelompok eksperimen diminta melakukan “perjalanan waktu mental”. Sebagian peserta diminta mengingat pikiran dan emosi yang mereka rasakan saat sesi belajar pertama, sementara sebagian lainnya diberikan potongan informasi yang sudah mereka pelajari sebagai pemicu untuk memanggil kembali sisanya. Kelompok pembanding juga diuji pada titik waktu yang sama, namun tanpa teknik pemulihan tersebut.
Hasilnya menunjukkan bahwa kedua metode “perjalanan waktu mental” memberikan efek signifikan terhadap pemulihan memori, terutama pada interval waktu pendek hingga sedang. Teknik mengingat emosi dan pikiran awal berhasil memulihkan sekitar 70% memori setelah empat jam, dan 59% setelah 24 jam. Metode pemicu informasi bahkan lebih efektif, dengan tingkat keberhasilan 84% dan 68% pada dua waktu tersebut.
Akan tetapi pada interval tujuh hari, efektivitas metode ini menurun drastis. Teknik mengingat konteks emosional tidak menunjukkan hasil signifikan, sementara metode pemicu hanya memulihkan 31% dari informasi yang ditargetkan. Ini menunjukkan bahwa ada batas waktu di mana “perjalanan waktu mental” masih efektif sebelum memori benar-benar melemah secara biologis.
Peneliti independen Deniz Vatansever dari Universitas Fudan di Tiongkok menilai bahwa studi ini memperkuat pemahaman bahwa memori tidak menurun secara linear, tetapi dapat di-reset ke kondisi hampir seperti semula. Namun menurutnya, tantangan berikutnya adalah membuktikan apakah hasil ini berlaku untuk jenis memori lain seperti memori pengalaman hidup yang kaya akan emosi dan indera, tidak sekadar hafalan teks atau kata.
Memori harian, menurut Vatansever, memiliki dimensi yang lebih kompleks dibanding materi akademik seperti paragraf atau daftar kata, sehingga efektivitas metode ini mungkin berbeda dalam konteks nyata. Bäuml pun menyetujui bahwa keberhasilan pemulihan memori kemungkinan besar bergantung pada kedalaman dan kekayaan pengalaman saat memori terbentuk, sesuatu yang belum diuji dalam penelitian ini.
Berdasarkan hasil tersebut, Bäuml menyarankan pendekatan pembelajaran yang melibatkan pengulangan secara terdistribusi. Menurutnya, sebaiknya pemulihan mental tidak hanya dilakukan setelah seminggu, tapi juga setelah tiga atau enam hari untuk menciptakan siklus peremajaan memori secara berkala. Strategi ini dapat membantu menjaga daya ingat tetap tinggi dalam jangka panjang.
Justin Hulbert, ahli saraf dari Bates College, menambahkan bahwa penelitian sebelumnya menunjukkan latihan mental berulang sejak awal dapat memperlambat laju pelupaan secara signifikan. Dengan kata lain, jika memori diperkuat secara aktif pada tahap-tahap awal, maka frekuensi penguatan ulang di masa depan bisa dikurangi tanpa kehilangan informasi secara substansial.
Temuan dalam studi ini menunjukkan bahwa “perjalanan waktu mental” dengan mengakses kembali konteks emosional dan kognitif saat memori terbentuk dapat secara efektif memperkuat dan menghidupkan kembali memori yang mulai pudar, terutama dalam waktu 24 jam setelah pembelajaran awal. Teknik ini menawarkan pendekatan yang menjanjikan untuk diterapkan dalam strategi belajar dan penguatan memori jangka pendek.
Meski demikian, efektivitas metode ini cenderung menurun seiring waktu, dan belum diuji dalam konteks memori kehidupan nyata yang lebih kompleks dan emosional. Studi lanjutan dibutuhkan untuk memahami bagaimana teknik serupa dapat digunakan dalam berbagai konteks, termasuk pendidikan, terapi kognitif, dan pelatihan profesional. Namun, sejauh ini, penelitian ini menunjukkan bahwa pelupaan bukanlah proses pasif, melainkan sesuatu yang dapat dilawan secara aktif dan strategis. (NJD)
Diolah dari artikel:
“‘Time travel’ memory hack rejuvenates memories, study finds” oleh RJ Mackenzie.
Link: https://www.livescience.com/health/memory/time-travel-memory-hack-rejuvenates-memories-study-finds