Pola Otak dari Cara Berpikir Pesimisme Lebih Unik Dibanding Pola Otak Optimisme yang Lebih Seragam

Sumber ilustrasi: Unsplash

28 Juli 2025 08.55 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Desanomia [28.07.2025] Sebuah studi terbaru dari Jepang mengungkap bahwa para optimis memiliki kesamaan yang jauh lebih besar dalam cara berpikir mereka dibandingkan dengan para pesimis. Penelitian ini menunjukkan bahwa ketika membayangkan masa depan, aktivitas otak orang-orang yang optimis memiliki pola yang serupa. Sementara itu, otak para pesimis menunjukkan keragaman yang lebih tinggi dalam memproses gambaran tentang masa depan.

Penemuan ini diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) dan berpotensi menjelaskan mengapa orang-orang yang optimis cenderung lebih mudah membangun hubungan sosial dan merasakan kepuasan dalam interaksi sosial mereka.

Tim peneliti yang dipimpin oleh Profesor Kuniaki Yanagisawa dari Universitas Kobe menyatukan pendekatan dari bidang psikologi sosial dan ilmu saraf kognitif. Mereka merekrut 87 partisipan yang mewakili spektrum dari sangat optimis hingga sangat pesimis. Para peserta diminta membayangkan berbagai skenario masa depan sambil menjalani pemindaian otak menggunakan fMRI (functional magnetic resonance imaging).

Hasil pemindaian menunjukkan bahwa saat para optimis membayangkan masa depan, pola aktivitas saraf mereka secara mencolok mirip satu sama lain. Sebaliknya, pada peserta yang kurang optimis atau pesimis, pola aktivitas otaknya sangat beragam, menunjukkan bahwa mereka memiliki cara yang lebih individual dalam membayangkan apa yang akan datang.

Peneliti kemudian merujuk pada kalimat pembuka novel Anna Karenina karya Leo Tolstoy, dan menyimpulkan bahwa: “Individu optimis itu serupa, namun setiap individu yang kurang optimis membayangkan masa depan dengan caranya masing-masing.”

Temuan ilmiah ini menyoroti perbedaan mendasar antara struktur berpikir optimistik dan pesimistik yang tidak hanya bersifat biologis, tetapi juga mencerminkan kecenderungan psikologis dan sosial yang lebih dalam.

Optimisme, berdasarkan hasil studi ini, tampak sebagai pola berpikir yang kolektif, normatif, dan relatif homogen. Ini sejalan dengan pandangan bahwa optimisme sering beroperasi dalam kerangka harapan universal, yakni keyakinan bahwa masa depan akan membaik, bahwa penderitaan memiliki tujuan, dan bahwa kehidupan secara keseluruhan bergerak menuju arah yang positif. Kalimat-kalimat seperti “segala sesuatu terjadi karena alasan” atau “besok akan lebih baik” menunjukkan bagaimana narasi-narasi ini terus berulang dalam budaya populer maupun psikologi sehari-hari.

Struktur berpikir ini bukan hanya konsisten, tetapi juga konformis, yakni memfasilitasi rasa kebersamaan dan “frekuensi yang sama” dalam interaksi sosial. Maka tak mengherankan jika pola aktivitas otak para optimis pun menunjukkan kemiripan yang tinggi, yakni mereka secara literal “membayangkan masa depan dengan cara yang sama”.

Sebaliknya, pesimisme muncul sebagai hasil dari pengalaman eksistensial yang intens dan sangat personal. Para pemikir pesimis tidak serta-merta menerima narasi umum bahwa segalanya memiliki tujuan. Justru mereka sering mempertanyakan struktur nilai sosial, menolak generalisasi, dan berhadapan langsung dengan absurditas hidup. Oleh karena itu, pola saraf yang dihasilkan dalam otak mereka pun tampak jauh lebih bervariasi. Mereka tidak membayangkan masa depan dari kerangka sosial yang seragam, melainkan dari kedalaman permenungan yang otentik dan tak mudah direduksi.

Dalam konteks ini, pesimisme menjadi bentuk refleksi eksistensial yang dalam karena mengandung kejujuran yang sulit didamaikan dengan kenyamanan. Tidak heran jika secara retoris, pesimisme lebih sering hadir dalam bentuk ironi, paradoks, dan kritik mendalam, sebagaimana ditunjukkan oleh tokoh-tokoh seperti Schopenhauer, Camus, atau Cioran. Inilah yang bertolak belakang terhadap afirmasi sederhana yang sering menjadi gaya utama optimisme.

Dengan kata lain, optimisme cenderung membangun kesamaan oleh karena cara pandang ini berakar pada kepercayaan bersama yang mapan. Sementara pesimisme mengungkapkan perbedaan karena lahir dari kesadaran akan keterasingan, penderitaan, dan keterbatasan manusia yang tidak selalu dapat dibagikan secara sosial. Di sinilah pentingnya memahami bahwa keragaman pola otak bukan sekadar variasi data biologis, tetapi cerminan dari kedalaman eksistensial manusia itu sendiri.

Penelitian ini menunjukkan suatu wawasan ilmiah baru mengenai optimisme dan pesimisme dan juga memberikan dasar untuk memahami bagaimana manusia membentuk persepsi kolektif terhadap masa depan. Di tengah meningkatnya isolasi sosial dan tantangan komunikasi di era digital, temuan ini dapat menjadi pijakan untuk memperkuat hubungan antarindividu.

Dengan menggali lebih dalam bagaimana “realitas bersama” terbentuk di otak manusia, studi ini juga berpotensi membantu kita merancang pendekatan yang lebih efektif untuk mengatasi kesepian dan meningkatkan empati. Seiring penelitian berlanjut, pertanyaan lainnya dapat diajukan seperti apakah pola ini bersifat bawaan atau hasil dari pengalaman hidup menjadi hal penting yang perlu lebih ditelusuri.

Diolah dari artikel:
“Why Optimists Are All Alike, But Every Pessimist Is Unique” oleh Stephen Beech.

Link: https://norfolkdailynews.com/why-optimists-are-alike-but-every-pessimist-is-unique/article_2cfa3a31-c154-5556-85e4-164a7a49fb6c.html

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *