Sumber ilustrasi: Freepik
29 Juli 2025 09.00 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [29.07.2025] Di dalam tubuh manusia, protein menjalankan peran yang sangat mendasar seperti membangun, memelihara, dan memperbaiki struktur kehidupan. Protein bekerja dalam proses metabolik yang tak kasat mata, yang mutlak diperlukan. Tubuh yang kekurangan protein secara perlahan akan melemah dan kehilangan vitalitas hingga pada akhirnya tak mampu mempertahankan dirinya sendiri. Mungkinkah peran yang sama juga hadir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Jika kita membayangkan sistem politik sebagai tubuh yang hidup, maka dibutuhkan sesuatu yang dapat dibayangkan sebagai “protein” dalam tubuh manusia, yang dalam hal ini bertindak sebagai unsur-unsur yang menjaga kekuatan fondasional dari suatu bangsa seperti integritas pejabat publik, pendidikan yang mencerdaskan, media yang merdeka dan bertanggung jawab, partisipasi warga yang aktif, serta kesadaran hukum yang tumbuh dari bawah. Unsur-unsur ini, walaupun sering kali berjalan “di bawah radar”, memiliki efek mendalam untuk menjaga agar politik tetap sehat dan berfungsi sebagaimana mestinya.
Akan tetapi sebagaimana yang terjadi dalam tubuh manusia, sistem politik pun tidak hanya berisi unsur yang membangun. Terdapat pula zat-zat yang mengendap, menyumbat, dan melemahkan kehidupan bersama. Di tubuh kita, zat-zat ini dikenal sebagai kolesterol jahat. Dalam kehidupan politik, zat-zat ini menjelma sebagai korupsi yang sistemik, penyalahgunaan wewenang, manipulasi informasi, dominasi oligarki, hingga apatisme warga yang tumbuh dari kelelahan akan janji-janji kosong.
Gejalanya jarang langsung tampak, namun ketika dibiarkan, akan menggerogoti otot-otot demokrasi dari dalam. “Kolesterol jahat” bekerja tidak dengan ledakan, namun dengan pembusukan secara diam-diam serta menciptakan jarak antara kekuasaan dan keadilan, memperlebar ketimpangan, dan mematikan partisipasi publik. Seperti penyakit kronis “kolesterol” ini menyesatkan tubuh politik agar merasa baik-baik saja, padahal sesungguhnya sedang menuju kehancuran.
Di sinilah protein politik memiliki tugas ganda. Tidak hanya membangun dan memperkuat, tetapi juga membersihkan dan menetralkan. Pendidikan yang membangkitkan daya pikir kritis berperan menolak propaganda. Jurnalisme investigatif yang berani menjadi antibodi terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Gerakan sipil yang sadar hukum menjadi sistem imun yang mampu menolak otoritarianisme. Kesemuanya itu adalah bentuk-bentuk protein yang bekerja bukan melalui kekerasan, tetapi lewat ketekunan dan keberanian merawat nilai.
Namun demikian, sebagaimana tubuh tak bisa hidup hanya dengan simbolik, sistem politik pun tak akan sehat jika kekuatan-kekuatan positif ini disumbat atau dimatikan. Lingkungan yang tidak mendukung tumbuhnya integritas akan melahirkan dominasi “kolesterol jahat”. Sebuah masyarakat yang terlalu cepat puas, yang kehilangan semangat untuk berpikir kritis, menjadi tempat ideal bagi degenerasi politik untuk tumbuh dan mengakar.
Merawat kesehatan politik bukanlah soal menemukan satu tokoh besar atau langkah spektakuler namun tentang kesetiaan pada hal-hal yang tampak kecil seperti memperjuangkan pendidikan yang tidak sekadar hafalan, mendukung media yang berpihak pada kebenaran, dan memastikan partisipasi warga tidak hanya muncul saat pemilu.
Harapan dalam politik tidak selalu datang dalam bentuk teriakan keras atau revolusi besar, namun bisa hadir dalam bentuk kerja senyap yang konsisten, dalam sikap yang menolak menyerah, dan dalam kesediaan untuk terus memperbaiki. “Protein bangsa” menjadi harapan bahwa di tengah “kolesterol” jahat yang terus mengancam, masih ada daya yang memperbaiki, membersihkan, dan menjaga agar kehidupan bersama tetap mengalir dengan sehat. (NJD)