Puasa, Pangan, dan Politik

Oleh: Syamsudin, M.A.

Puasa adalah ibadah. Suatu firman, yang bisa ditafsirkan dalam kerangka sosial. Sebagai firman sangat jelas. Yakni perintah yang harus dijalankan. Suatu ketentuan yang mengatur langsung, hubungan antara mahluk dan Sang Khalik. Hal yang menarik adalah dimensi sosial dari firman tersebut. Kita menafsirkannya sebagai suatu pesan sosial dibalik ketentuan Ilahian. Dengan begitu, kita dapat mengatakan bahwa puasa bukan sekedar ibadah personal, tetapi juga memiliki dimensi sosial yang mendalam. Dalam ajaran Islam, puasa Ramadhan tidak hanya menuntut individu menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menumbuhkan empati terhadap mereka yang mengalami kelaparan setiap hari.

Rasa lapar yang dirasakan selama berpuasa menjadi pengingat bahwa ada kelompok masyarakat yang bahkan di luar bulan Ramadhan pun sulit mendapatkan makanan yang layak. Praksis ini seharusnya dapat menginspirasi relasi sosial dan politik. Dalam hidup bermasyarakat, hendaknya ada kesadaran horizontal, bahwa masih banyak saudara-saudara kita yang serba kekurangan. Dalam kerangka politik, apakah politik bisa belajar dari makna puasa, sedemikian sehingga politik dapat memastikan tidak ada satu pun warga yang tidak bisa makan.

Puasa.

Apa yang diharapkan seringkali gagal untuk hadir. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa bulan puasa justru menjadi momen lonjakan konsumsi. Alih-alih membentuk pola hidup sederhana, sebagian masyarakat mengalami perubahan pola konsumsi yang berlebihan. Fenomena ini memicu kenaikan harga pangan, yang sering kali tidak terkendali akibat spekulasi pasar dan lemahnya regulasi. Kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, yang seharusnya dilindungi dari fluktuasi harga, justru menjadi pihak yang paling terdampak. Nilai baik, berbenturan dengan mekanisme ekonomi yang tidak selalu berpihak pada rakyat.

Apa yang diharapkan? Jika puasa mengajarkan kesederhanaan dan kepedulian terhadap sesama, maka prinsip-prinsip tersebut seharusnya dapat menjadi pijakan dalam merancang kebijakan pangan yang lebih adil. Pemerintah perlu memastikan bahwa distribusi pangan tetap stabil selama bulan puasa dan tidak dikuasai oleh kelompok tertentu yang hanya mengejar keuntungan. Selain itu, regulasi harga dan penguatan sektor pangan lokal harus menjadi prioritas agar tidak terjadi lonjakan harga yang memberatkan masyarakat. Puasa tidak hanya menjadi pedoman moral, tetapi juga mampu mewarnai kebijakan publik yang lebih adil dan beradab.

Pangan.

Ada masalah yang sangat penting, dan bahkan fundamental: pangan adalah komoditas ekonomi dan politik. Pada yang pertama membuat akses pangan sepenuhnya bergantung pada daya beli. Artinya, hanya mereka yang memiliki cukup daya beli, akan dapat mengakses bahan pangan yang cukup, atau bahkan berlebih. Bagi yang berkelebihan secara finansial, membuat berapapun harga, akan tetap dapat diakses. Bahkan karena itu pula, bahan pangan menjadi “punya hirarki”. Ada yang mahal, dan ada yang murah. Ada yang berkualitas dan ada yang tidak. Inilah tantangan yang ditimpulkan, akibat dari posisi pangan sebagai komoditas ekonomi.

Pada yang kedua, pangan menjadi alat. Adanya politik sembako, merupakan kenyataan dimana kekurangan di kalangan warga digunakan sebagai media transkasi suara. Sembako, ditukarkan suara. Pangan bukan lagi hal yang esensial dan ilahiah, melainkan menjadi “barang” atau sekedar “alat kampanye”. Bagi rakyat, pangan menentukan nasib dan masa depannya. Bagi politik, pangan adalah “alat” untuk mendapatkan otoritas. Situasi yang benar-benar ironis. Politik tidak memuliakan pangan, malah merendahkannya.

Politik.

Perubahan ke arah yang lebih baik adalah harapan kita semua. Suatu perubahan yang mentransformasi politik, sehingga prinsip berikut dapat diwujudkan: (1) Keadilan dalam distribusi pangan, yang merata dan adil, sehingga sehingga tidak ada individu atau daerah yang mengalami kelangkaan atau harga yang tidak wajar akibat monopoli atau kartel pangan; (2) Salah satu esensi puasa adalah menahan diri dari keserakahan. Prinsip ini dapat diterapkan dalam regulasi ekonomi yang membatasi spekulasi harga bahan pokok dan praktik penimbunan yang merugikan masyarakat kecil; (3) Puasa mengajarkan empati terhadap mereka yang kurang beruntung, artinya perlu ada langkah untuk memastikan bahwa kelompok masyarakat berpenghasilan rendah memiliki akses terhadap pangan yang terjangkau dan berkualitas. Program bantuan pangan harus dirancang bukan hanya sebagai strategi politik, tetapi sebagai kebijakan yang benar-benar bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

(Artikel ini telah terbit di harian Kedaulatan Rakyat, 6 Maret 2025)

Syamsudin, M.A.
Dekan Fisipol Universitas Proklamasi 45

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *