Jika air merupakan elemen yang paling esensial dalam pertanian, khususnya pertanian pangan, lantas mengapa sungai atau kali menjadi tempat pembuangan sampah? Baik sampah domestik, industri atau yang lain. Mengapa orang-orang “tega” melakukan tindakan, yang tergolong sebagai tindakan “keji”, karena dampak ekologinya sangat merugikan banyak orang. Mengapa tidak ada langkah sistematis dan organik, yang tergerak untuk mengembalikan sungai kepada keadaan “aslinya”, sehingga daripadanya tidak hanya diperoleh air yang sehat bagi pertanian pangan, tetapi juga sumber pangan lain, dan keindahan?
Penggerak
Untuk menjadi problem dasarnya: mengapa hal tersebut terjadi? Atau mengapa tindakan menjadikan sungai atau kali sebagai tempat pembuangan akhir (terus) berlangsung, dibutuhkan suatu riset yang mendalam. Kita percaya, kaum akademisi akan mengambil tanggung jawab, dengan bersegera diri melakukan riset dan menyusun rekomendasi yang dibutuhkan. Bahkan mungkin suatu riset partisipatif yang melibatkan warga sekitar, dapat diselenggarakan, sedemikian sehingga terjadi dampak penyadaran.
Namun jika kini kita ingin menjawab masalah mendasar tersebut, beberapa hal bisa diangkat untuk menjadi bahan diskusi.
Satu. Kebanyakan orang berpandangan bahwa yang disebut bersih adalah hilangnya sampah dari hadapannya. Seperti orang menyapu rumah. Rumah disebut bersih ketika segala sesuatu yang disebut sampah telah hilang dari hadapannya, dan berpindah dari rumah tersebut ketempat lain. Kemana sampah pergi? Nampaknya telah tidak menjadi tanggung jawabnya.
Dua. Sangat mungkin air sungai yang mengalir, dianggap sebagai lokasi ideal, karena sampah, dalam nalar di atas, akan segera lenyap dari pandangannya. Karena aliran sungai akan membawanya pergi jauh. Meskipun dalam nyatanya sampah tidak beranjak, dan aliran menjadi terhenti karena sampah bertumpuk-tumpuk, hal itu telah bukan menjadi masalahnya.
Tiga. Kebanyakan orang berpandangan bahwa satu kesalahan adalah kesalahan itu sendiri. Namun, dua kesalahan atau lebih, dapat mengubah kesalahan menjadi kewajaran atau bahkan kebenaran. Prinsip bahwa dua kesalahan bukan satu kebenaran, tidak digubris. Hal inilah yang menjelaskan mengapa ketika seorang siswa kedapatan mencontek, maka yang spontan dikatakannya: kenapa ia dimasalahkan, sedangkan yang lain tidak?
Dalam hal membuang sampah, kebanyakan orang akan mendasarkan diri pada tindakan yang sebelumnya terjadi. Sangat mungkin ada pelopor, sehingga walaupun suatu lokasi ditulis: dilarang membuang sampah di sini, namun karena telah ada pihak yang melanggar, maka yang bersangkutan dengan tanpa beban melakukan pelanggaran. Ketika dipersoalkan, yang bersangkutan akan dengan enteng mengatakan, bahwa dirinya hanya ikut.
Terpisah
Namun jika kita persoalkan lebih jauh, mengapa hal itu terjadi? Beberapa aspek berikut layak menjadi bahan renungan.
Kesatu. Ide kemajuan telah membawa banyak perubahan dalam pandangan hidup manusia. Salah satu perubahan yang dapat dikatakan sebagai perubahan radikal adalah bahwa masa depan seseorang atau kelompok, tidak lagi di tempat dimana ia lahir dan dibesarkan, melainkan “di sana”. Apa artinya? Tempat hidupnya telah dijadikannya sebagai masa lalu. Masa depannya ada di sana.
Hal itulah yang mungkin dapat menjelaskan mengapa kebanyakan orang mudah kagum dengan apa yang ada “di sana”, dan menganggap apa yang dimilikinya sebagai “kuno”, terbelakang atau kurang baik. Ketika banyak orang pergi ke suatu tempat, dan di sana mereka menemukan “wow”, maka hal tersebut tidak dilihat sebagai terungkapnya keindahan lokasi yang tidak ditemukan oleh warga setempat, tetapi justru sebaliknya. Kedatangan orang-orang ke lokasi tersebut justru makin menambah rujukan bahwa masa depannya ada di sana.
Kedua. Pernahkan kita bertanya, secara sungguh-sungguh, darimana makanan yang kita makan? Darimana air yang kita minum? Mengapa kebanyakan orang merasa mencapai suatu posisi tertentu, ketika yang dikonsumsinya adalah bahan pangan yang berasal dari suatu tempat jauh di sana? Bahkan, kalau dilakukan refleksi: apakah para penggemar tempe, masih akan mengkonsumsi tempe jika kedelainya adalah kedelai setempat alias bukan kedelai impor yang ukurannya lebih besar?
Atau, apakah kebanyakan orang masih akan bersedia minum air rebusan, yang airnya diambil dari sumurnya sendiri? Mengapa pergeseran dari air rebusan sendiri menjadi air dalam kemasan tidak dirasakan oleh masyarakat? Mengapa pergeseran tersebut dianggap sebagai hal yang wajar, dan bahkan tindakan untuk kembali kepada yang sebelumnya, dianggap sebagai anomali jaman? Kini dapat dikatakan bahwa telah terjadi saling silang yang luar biasa. Pada intinya, kebanyakan orang mengkonsumsi bahan pangan yang tidak lagi dapat dilacak sumbernya.
Ketiga. Perubahan pola konsumsi di atas, dapat dikatakan sebagai peristiwa makin terpisahnya manusia dengan tempat hidupnya. Pertumbuhan populasi, kesulitan lapangan kerja dan tempat tinggal, telah makin menjadikan segala sesuatu sebagai komoditas. Di atas itulah kompetisi berlangsung. Menang dan kalah menjadi kewajaran. Menang berarti menguasai banyak. Kalah berarti marjinal, atau kehilangan haknya untuk hidup layak sebagai manusia.
Keterpisahan manusia dan alam, telah membuat manusia seakan-akan boleh melakukan apa saja. Alam hanya komoditas yang bisa diperdagangkan. Pandangan ini membuat watak sosial dari alam telah hilang. Dan sebaliknya privatisasi menjadi normalitas baru. Oleh sebab itu, kebanyakan orang tidak merasa memiliki tanggung jawab ketika keadaan alam makin rusak dan membahayakan orang lain. Apa yang utama adalah nasibnya sendiri. Keadaan inilah yang mungkin dapat menjelaskan mengapa sungai atau kali tercemar dan tidak kunjung dapat dipulihkan.
Selanjutnya
Perubahan iklim dan dampaknya telah membawa pandangan baru, bahwa manusia hidup di alam, dan karena itu manusia harus mengikuti undang-undang dasar kehidupan. Bukan alam yang ikut undang-undang bikinan manusia, tetapi manusia lah yang harus ikut ketentuan alam. Jika bicara ekonomi, maka bukan ekologi yang ada dalam ekonomi, tetapi sebaliknya, bahwa ekonomi ada di dalam ekologi. Kesadaran inilah yang seharusnya dianut, dan menjadi pedoman dalam hidup bersama. Baik sebagai pribadi maupun sebagai komunitas.
Bagaimana caranya agar kesadaran baru memimpin pergerakan hidup, pribadi, keluarga maupun komunitas? Para bijak menawarkan gagasan dalam pertanyaan berikut: mungkinkan desa menjadi masa depan, baik bagi orang desa sendiri maupun bagi orang kota. Ketika orang kota berlomba datang ke desa, baik sekedar menikmati pemandangan hamparan padi, menikmati kuliner khas, atau hingga menguasai lahan-lahan pertanian dan mengubahnya menjadi lokasi industri yang merusak lingkungan, maka hal itu seharusnya menjadi petunjuk bahwa di desa lah kekayaan dan keajaiban berada.
Tetapi mungkinkan hal tersebut terjadi? Atau, pertanyaan diubah: bagaimana membuat hal tersebut menjadi mungkin? Ada dua yang mungkin bisa dipertimbangkan: Satu. Mentransformasi pola makan dan menemukan kembali lidah otentik. Dalam hal desa adalah menemukan kembali lidah desa, yang mungkin telah hilang. Hal ini, tidak saja akan mengubah konsumsi, tetapi juga apa yang ditanam. Ajaran lama yang mengatakan: makan apa yang ditanam, dan menanam apa yang dimakan, barangkali dapat menjadi peta jalan suatu transformasi.
Dua. Mengubah pandangan salah tentang sungai dan keberadaannya, dengan cara melakukan upaya kolektif membersihkan sungai sehingga sungai dapat hadir sebagaimana sungai pada awalnya. Sungai yang bersih, sehat dan asri, tidak saja akan menambah keindahan dan menciptakan rasa indah yang otentik, tetapi juga akan menjadi sumber pangan dan sumber pendapatan baru. Sungai akan menjadi sumber penghidupan dan peradaban. Demikian upaya membersihkan sungai merupakan keharusan sejarah. [Desanomia – 14.3.25 – TM]