Sejarah Desa

Sumber ilustrasi: pixabay

27 Mei 2025 16.05 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Belakangan ini muncul pro dan kontra, terkait dengan rencana penerbitan kembali sejarah nasional, yang diinisiasi oleh otoritas yang mengurus kebudayaan. Dari otoritas akan dilincurkan secara resmi dalam momen 17 Agustus 2025, yang tepat 80 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia. Sementara dari kalangan masyarakat sipil, rencana tersebut mendapatkan reaksi, karena khawatir sejarah tidak lagi menjadi arena publik, melainkan menjadi perlengkapan politik. Hingga kini, perdebatan masih berlangsung. Suatu perdebatan sangat wajar dan tidak perlu dipersoalkan. Justru dalam suasana dinamis tersebut, yang juga tidak kalah penting untuk mendapatkan porsi pembahasan adalah tentang sejarah desa.

***

Apakah sejarah desa itu ada? Jika yang dimaksudkan adalah pandangan mainstream tentang sejarah, terutama yang bicara kapan terjadi apa, dan siapa yang ambil peran, maka tentu saja hal yang demikian juga bisa ditemukan dalam pengalaman hidup desa. Bahkan jika pola klasik yang memperlihatkan bahwa sejarah seringkali adalah kisah para pemenang, maka akan sangat dimungkinkan sejarah desa, dalam versi ini tersajikan, yang isinya dapat diduga akan berisi tentang peran tokoh tertentu, mungkin juga kepala desa, atau tokoh lainnya, yang perannya begitu besar bagi desa. Apakah menemukan desa, atau membangun desa. Namun apakah sejarah desa akan ditulis seperti itu?

Bagaimana jika sejarah desa yang dimaksud bukanlah sejarah yang demikian itu? Apabila kita masuk ke relung pengalaman desa, maka di beberapa tempat, atau mungkin di banyak tempat, “yang lalu”, tidak hadir sebagai deretan tanggal dan peristiwa, melainkan sebagai ingatan yang hidup dalam laku sehari-hari, ritus musiman, dan cerita yang diwariskan dari mulut ke mulut. Di sana, waktu tidak berjalan secara linear sebagaimana mungkin diasumsikan oleh metode sejarah konvensional. Waktu tidak maju, tetapi berputar—seperti musim, seperti upacara yang datang kembali setiap tahun. Maka dari itu, menulis sejarah desa dengan pendekatan konvensional bukan saja sulit, tetapi sering kali mustahil, karena hampir dipastikan akan menuntut kerangka berpikir yang asing bagi masyarakat setempat.

Ketidakmungkinan menulis sejarah desa dengan metode kronologis muncul karena tiga hal utama: pertama, absennya dokumen tertulis atau catatan formal; kedua, peristiwa tidak diingat sebagai titik waktu, melainkan sebagai makna yang melekat pada ruang, alam, atau tindakan; dan ketiga, kebenaran dalam sejarah desa tidak ditentukan oleh verifikasi arsip, melainkan oleh pengakuan kolektif. Oleh kepercayaan komunitas bahwa cerita itu benar karena mereka hidup di dalamnya. Ketika sejarah mainstream menuntut objektivitas dan bukti tertulis, sejarah desa menyajikan keutuhan pengalaman yang bersifat subyektif, kolektif, dan mungkin spiritual.

Namun, ketidakmungkinan itu bukan berarti sejarah desa tidak dapat ditulis sama sekali. Justru sebaliknya, mungkin sejarah desa dapat ditulis dengan baik dan perlu. Akan tetapi dengan suatu penulisan dengan metode yang menghormati cara hidup dan cara mengingat masyarakat. Sejarah desa dapat dibangun dari cerita lisan para tetua, dari lagu-lagu rakyat yang mengisahkan perpindahan atau kehilangan, dari nama-nama tempat yang menyimpan ingatan tentang masa lalu, serta dari ritus dan upacara yang merekonstruksi hubungan manusia dengan leluhur dan alam. Setiap kali seorang ibu menyanyikan tembang pengantar tidur dengan cerita tentang banjir besar, atau seorang tetua menjelaskan batas tanah berdasarkan batu besar yang “ditempatkan oleh leluhur,” di situlah sejarah sedang dituturkan.

Penulisan sejarah desa, jika dilakukan, sebaiknya menggunakan pendekatan naratif budaya. Prosesnya tidak dimulai dari pencarian tanggal, tetapi dari pemetaan memori: siapa yang mengingat, apa yang mereka ingat, bagaimana mereka menceritakannya, dan kepada siapa cerita itu diwariskan. Sumbernya adalah ingatan lisan, ritus adat, lanskap alam yang dianggap sakral, dan simbol-simbol ruang yang memiliki makna historis. Untuk memastikan kesahihan—bukan dalam arti verifikasi modern, tetapi dalam makna lokalnya—sejarah harus diuji melalui konsensus komunitas: apakah cerita itu diakui oleh banyak orang, apakah ia selaras dengan praktik sosial yang masih hidup, dan apakah ia mengandung nilai yang mengikat secara moral.

Makna dari sejarah desa bukan terletak pada kronologi atau kesinambungan politik, melainkan pada bagaimana masyarakat memahami perubahan, mempertahankan identitas, dan memaknai hubungan antara yang lama dan yang baru. Antara yang pergi dan yang datang. Dengan menuliskan sejarah dalam kerangka ini, kita tidak sekadar mencatat masa lalu, tetapi menghidupkan kembali pengetahuan yang tertanam dalam tubuh, tanah, dan bahasa masyarakat. Maka, sejarah desa bukan hanya mungkin untuk ditulis, tetapi perlu untuk ditulis, dengan cara yang berpihak pada cara hidup yang sedang dikisahkannya. [Desanomia – 27.5.25 – TM]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *