sumber ilustrasi: unsplash
19 Apr 2025 20.50 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Ini hanya refleksi kecil dari suatu wilayah dimana tembok lebih banyak dari pepohonan.
Pasti tidak semua, namun sebagian. Tapi bisa jadi sebagian besar. Pagi, adalah puncak kesibukan. Waktu seperti mandor yang penuh disiplin. Tiap jengkal waktu demikian berharga. Bahkan, sarapan sebagai peristiwa sakral, karena akan menentukan kualitas hidup seharian, dibuat menjadi sangat praktis. Cepat dan seadanya. Ada pula yang menyantap sarapannya di jalan. Setelah kerumitan di rumah selesai, pindah ke jalan. Semua masuk dalam perlombaan baru. Masing-masing berusaha lebih dahulu. Demi mencapai jadwal. Tiba tepat pada waktunya. Bagi para siswa: tiba sebelum pintu sekolah ditutup. Bagi para pekerja: tiba sesuai jadwal, agar tidak kena sanksi.
Pernah, suatu ketika muncul dalam berita, bahwa petugas mengusulkan pengaturan jam masuk kerja, agar jadwal masuk kerja tidak sama persis dengan jadwal masuk sekolah. Mengapa, karena dengan jadwal yang sama, akan membuat terjadinya kepadatan lalu lintas. Katanya, kepadatan itu terjadi karena semua orang keluar rumah bersamaan untuk beraktivitas, baik anak sekolah hingga para pekerja. Usulan tersebut, memang untuk keperluan menata lalu lintas agar tidak terjadi kemacetan. Namun, jika dilihat kembali, nampak bahwa dalam usulan tersebut, ada yang diutamakan dan ada yang diminta mengalah atau mengatur kembali jadwalnya.
Hal yang sangat menakjubkan, sebagai suatu pemandangan adalah bahwa peristiwa yang demikian itu berjalan setiap hari – tentu kecuali hari libur. Meskipun semua subjek menyadari bahwa bangun tepat pada waktunya, adalah kunci agar tidak terlambat, namun selalu ada kejadian dimana subjek justru terlambat bangun. Apa yang hendak dihindari, dalam kenyataan justru menjadi kebiasaan. Sesuatu yang normal. Dan dapat dikatakan bahwa kesemuanya itu berlangsung demi keberlangsungan proses (institusi) yang disebut sekolah. Jadi, apa sebenarnya sekolah itu? Mengapa demikian dasyat mengubah tata hidup dan kebiasaan yang menyertainya.
Uraian ini merupakan bahan percakapan atau percakapan itu sendiri. Oleh karena itu, yang akan diangkat di sini hanyalah pokok-pokok yang mungkin dapat menjadi bahan refleksi bersama. Atau permenungan personal. Baik untuk melihat masa lalu. Masa kini. Dan masa depan yang dekat dan yang jauh. Berikut ini beberapa poin yang layak untuk dipercakapkan.
- Apakah sekolah tentang masa kini atau masa depan? Jika dilihat dari peristiwanya, terutama di bangku sekolah dasar atau sebelum sekolah dasar, telah tampak bahwa sekolah adalah tentang masa depan. Para orangtua (keluarga) dan negara, secara sadar (dapat dikatakan demikian), mempersiapkan hari depan sang siswa. Artinya, sekolah dibentuk dengan kerangka waktu yang prospektif dan maju. Mungkin para cerdik akan mengatakan bahwa sekolah bukan tempat aktualisasi makna masa kini, melainkan tempat “penundaan” makna demi masa depan.
- Lebih jauh, para cerdik dan bijak, barangkali akan menguraikan bahwa struktur semacam itulah yang melekat pada segala aspek sekolah: kurikulum, sistem semester, ujian, dan kelulusan. Kesemuanya diarahkan pada “hasil yang belum” dan “tidak sedang terjadi”. Barangkali inilah yang membuat sekolah dapat dikatakan sebagai institusi yang menunda aktualitas: mengatur hidup bukan berdasarkan kehadiran, melainkan pada kemungkinan.
- Apa dampak yang melekat dalam struktur tersebut? Yakni potensi dimana tindakan-tindakan di dalamnya kehilangan nilai intrinsik. Belajar, membaca, menulis, dan berdiskusi tidak dinilai karena nilainya sendiri, melainkan karena keterkaitannya dengan hasil akhir: nilai ujian, ijazah, peluang karier. Masa kini bukan ruang makna, melainkan alat produksi. Atau, masa kini diperlakukan bukan sebagai ruang kehidupan nyata, tetapi sebagai tahap persiapan demi pencapaian yang akan datang.
- Tidak mengherankan jika terjadi pergeseran nilai: dari nilai intrinsik ke nilai instrumental. Pengetahuan bukan lagi sesuatu yang dikejar karena didasarkan pada kecintaan akan kebenaran, tetapi karena manfaat pragmatisnya. Belajar dilakukan bukan demi pengalaman belajar, melainkan demi output eksternal. Sekolah nampak sebagai mesin yang memproduksi “sesuatu yang di masa yang akan datang memiliki nilai tertentu”, bukan tempat pembentukan jiwa yang otonom. Nilai dari pengetahuan digantikan oleh kegunaan pengetahuan. Cinta akan kebenaran digantikan oleh perhitungan pragmatik.
- Seluruh kehidupan dalam sekolah diatur melalui sistem jadwal, tahapan, evaluasi, dan proyeksi masa depan. Waktu dipadatkan dan disusun agar seefisien mungkin untuk mendukung goal setting. Hal ini menciptakan subjek yang hidup dalam mode masa depan terus-menerus. Ketika semua aktivitas hanya bernilai sejauh mendekatkan ke masa depan yang ditentukan, maka waktu kini kehilangan statusnya sebagai tempat kehadiran eksistensial. Subjek tidak benar-benar hidup “di sini dan sekarang,” tetapi selalu “menuju ke sana dan nanti.”
- Sekolah tidak hanya mengatur waktu dan aktivitas, tetapi juga membentuk horizon keinginan dan norma kehidupan. Ia menginternalisasi gagasan tentang “jalan hidup yang benar”: nilai bagus → universitas → karier → sukses. Ini membatasi bentuk-bentuk kehidupan alternatif dan menjadikan sekolah sebagai penghasil konsensus normatif. Sekolah membentuk bukan hanya cara berpikir, tetapi juga apa yang pantas diinginkan. Ia (diam-diam) menstandarkan kehidupan.
- Ketika hidup ditentukan oleh tugas, standar, dan proyeksi, maka kehadiran eksistensial saat ini terkikis. Subjek menjadi semacam proyek sosial, bukan keberadaan otentik. Keadaan ini berpotensi menciptakan keterasingan: hidup dijalani sebagai tuntutan, bukan sebagai pilihan. Individu bukan lagi aktor bebas dalam waktu, tetapi fungsi dari sistem temporal eksternal. Kehidupan menjadi serangkaian tugas untuk diselesaikan, bukan kehadiran yang dijalani sepenuhnya.
- Secara demikian, sekolah muncul sebagai mesin waktu sosial: menyusun waktu, nilai, norma, dan kesadaran demi masa depan yang dibayangkan, bukan demi hidup yang dialami. Dalam pengertian ini, sekolah tidak mendidik untuk hidup yang sedang terjadi, tetapi untuk hidup yang mungkin akan datang. Sekolah menjanjikan masa depan, sambil mengorbankan aktualitas. Sekolah bukan tempat hidup, melainkan tempat bersiap hidup. Suatu ruang tunggu dari eksistensi yang ditangguhkan.
Apabila seluruh pandangan di atas, dapat diterima, yakni bahwa sekolah adalah tentang masa depan, maka dengan kata lain esensi sekolah adalah produksi masa depan yang belum tentu datang, dengan mengorbankan kehidupan yang sedang berlangsung. Dan jika sekolah benar-benar tentang masa depan, maka artinya para peserta adalah mereka yang tengah dibawa untuk menjadi penghuni masa depan. Bila demikian, lantas siapa penghuni masa kini? [Desanomia – 19.4.25 – TM]