Sumber ilustrasi: Freepik
2 Agustus 2025 18.00 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Ada pertanyaan tersembunyi yang mengganjal yang perlu dicarikan jawabannya, agar dalam proses menjawab apa yang disebut sebagai “pertanyaan elementer”, yakni apa sebenarnya asumsi yang melandasi sedemikian sehingga pertanyaan tersebut layak atau bahkan perlu diajukan, dalam momen dimana bangsa telah memasuki usia 80 tahun kemerdekaannya. Sebagian pihak tentu akan mengatakan bahwa pertanyaan tersebut bukanlah pertanyaan netral. Sangat mungkin pertanyaan tersebut dianggap sebagai metode “interogasi” terhadap segi-segi mendasar bangsa untuk pada nantinya akan dihadapkan pada kenyataan hari-hari ini. Sebagian yang lain, bisa saja menganggap bahwa pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan netral, bahkan dikatakannya sebagai pertanyaan “ilmu”, karena pertanyaan tersebut tidak hanya menyasar substansi, akan tetapi juga tentang bagaimana cara menjawab pertanyaan tersebut. Dan mungkin, sebagian yang lain, akan menempatkan pertanyaan tersebut sebagai pertanyaan seremonial, yakni pertanyaan yang diajukan dalam momen momen seremonial.
Jika kepada kita dipersoalkan secara lebih tajam, yakni apa sebenarnya asumsi yang melandasi diajukannya pertanyaan tersebut? Atau, mengapa pertanyaan tersebut masih harus diajukan? Bukanlah perjalanan delapan puluh tahun, dapat dipandang sebagai bukti bahwa hal tentang kemerdekaan telah selesai, telah final, dan dengan demikian tidak perlu didiskusikan lagi? Apakah benar demikian? Apakah ketika setiap warga mendapatkan pengalaman eksistensial yang sama ketika menyanyikan lagu “Indonesia Raya” (dalam tiga stanza)? Apakah tiap-tiap warga yang membaca teks Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakan oleh Proklamator pada 17 Agustus 1945, akan merasakan getaran kebangsaan yang sama, sebagaimana rasa bangsa dari pada momen historis tersebut? Tentu saja, yang terakhir ini tidak mungkin dicapai. Tidak mugkin dicapai kategori “sama dan sebangun”. Namun, dalam ketidakmungkinan tersebut, tidak dapat diingkari bahwa ada harapan agar rasa bangsa yang bergetar, sekurang-kuranya “sebangun”, karena itulah modal dasar dari gerak bangsa dalam menyongsong masa depannya.
Berbagai pertanyaan tersebut, sebenarnya memperlihatkan bahwa diajukannya pertanyaan, yang hendak disebut di sini sebagai “pertanyaan elementer”, merupakan hal yang layak dan perlu. Lebih dari, beberapa hal berikut dapat dikatakan sebagai pengandaian dasar yang memungkinkan pertanyaan diajukan:
Pertama, bahwa kemerdekaan bukan sebuah peristiwa. Memang, dalam konteks ke-kita-an, ketika kita berbicara tentang kemerdekaan, maka seluruh “alam pikiran” akan bergerak ke arah momen 17 Agustus 1945. Jika berbicara kemerdekaan, seperti tengah berbicara tentang “kekuasaan negara”, dan segala turunannya. Ketika berbicara tentang kemerdekaan, secara refleks akan dikaitkan dengan sejarah kolonialisme. Kemerdekaan nyaris tidak dibicarakan sebagai hal tentang kemerdekaan itu sendiri. Uraian ini sendiri, ketika memulai pembicaraan tentang kemerdekaan juga mengkaitkannya dengan peristiwa proklamasi. Dengan kerangka berpikir yang demikian ini, pertanyaan tentang kemerdekaan memamg akan terasa aneh dan dipandang tidak perlu. Oleh karena bangsa Indonesia telah Merdeka. Artinya, dari sudut pandang ini, tidak berlebihan jika pertanyaan tersebut dipandang kurang layak untuk diajukan.
Pertanyaan elementer tersebut tentu tidak datang dari kerangka tersebut, melainkan dari pandangan lain, yang pada dasarnya merupakan pandangan yang memperkuat atau melengkapi, yakni bahwa kemerdekaan bukanlah hanya sebagaimana yang dimaksud sebagai sebuah peristiwa, atau bahwa kemerdekaan bukanlah pertama-tama sebagai suatu obyek empirik, melainkan suatu horison makna. Atau ungkapan yang lebih formal dapat dikatakan bahwa kemerdekaan bukan sekadar fakta historis atau simbol politik, melainkan sesuatu yang mungkin untuk ditanyakan (terus-menerus). Kemerdekaan dalam kerangka ini adalah yang memiliki status “keberadaan” dan pengetahuan, sebagai sesuatu yang dapat dituju oleh kesadaran reflektif. Hal ini terlepas dari kenyataan, yakni apakah kemerdekaan telah sepenuhnya terwujud atau belum sepenuhnya tiba. Pertanyaan dalam hal ini, bukan tindakan mengeksklusi atau menghapus, melainkan upaya mencari dan memahami secara lebih mendalam.
Kedua, bahwa tindakan bertanya adalah tindakan merdeka. Kemampuan bertanya, pada dirinya mengandaikan adanya kemerdekaan. Atau subyek, berada dalam kemerdekaan, sedemikian sehingga ada kondisi yang memungkinkannya mengucapkan pertanyaan. Pandangan ini sendiri, walaupun logis, namun tidak bebas dari kritik. Mengapa, karena kemerdekaan dipandang sebagai “produk dari luar” dan bukan telah ada dengan sendirinya. Namun, soal ini, akan menjadi pembahasan tersendiri. Di sini, kita fokus pada bahwa bertanya pada dasarnya adalah suatu tindakan merdeka. Apa yang dimaksud? Yakni bahwa setiap pertanyaan, dipandang bukan sebagai tindakan netral, atau tindakan yang berada dalam ruang kosong. Pertanyaan dan arahnya, dalam batas tertentu, ikut dipengaruhi oleh ruang kemungkinannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kemerdekaan tidak hanya objek pertanyaan, tetapi juga kondisi kemungkinan bagi munculnya pertanyaan itu sendiri. Tanpa kemerdekaan, tidak mungkin ada pertanyaan yang mempertanyakan kemerdekaan. Artinya, pertanyaan tersebut mengandaikan adanya kemerdekaan.
Ketiga, bahwa antara makna dan kenyataan, masih dalam pergulatan. Tidak dapat diingkari bahwa ketika pertanyaan diajukan, bukan saja dibutuhkan suatu kapasitas tertentu, akan tetapi juga “rasa prihatin” yang melekat pada dirinya, yakni suatu rasa yang terbit ketika menyaksikan jarak antara “ide” (kemerdekaan) dan kenyataan aktual. Kebanyakan mereka yang terbiasa dalam perdebatan pemikiran, tentu akan tergoda untuk mempersoalkan kenyataan yang hadir: mengapa kenyataan itu yang terselenggara dan bukan yang lain? Mengapa, apa yang disebut sebagai kemerdekaan justru tidak hadir sebagai kenyataan yang kongkrit, sedemikian sehingga makna tampil dalam tubuh kenyataan? Justru disinilah misteri bekerja dalam pertanyaan. Sesuatu yang ada tidak mungkin dicari. Yang tidak adalah yang akan dicari. Artinya, jika kemerdekaan telah sepenuhnya hadir, rasanya tidak perlu dicari lagi. Justru karena ketiadaan itulah, pertanyaan muncul. Pandangan ini hendak mengatakan bahwa hadirnya kesenjangan antara kenyataan dan ide, adalah hal yang memungkinkan pertanyaan muncul dan diajukan sebagai soal.
Keempat, tentu kita juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa otoritas secara sistematis membangun narasi tentang kemerdekaan, dalam berbagai bentuknya. Hal ini penting, dalam kerangka hidup berbangsa dan bernegara. Namun, dibalik itu, tentu juga tidak bisa ditolak kemungkinannya bahwa dalam kepentingan obyektif tersebut, terangkut pula maksud-maksud subyektif, yang sangat mungkin tidak sepenuhnya sejalan dengan maksud dasarnya. Memang, di sini bekerja pula keterbatasan. Suatu keterbatasan yang bersifat tidak dapat dihindari. Begini keterbatasan yang dimaksud: jika kita melihat ke utara, maka pasti kita tidak melihat selatan dalam waktu bersamaan. Kita tidak mungkin melihat dua arah yang berlawanan secara serentak. Artinya, ketika suatu narasi mengajak warga untuk melihat kearah tertentu, maka sangat mungkin hal itu berarti, warga tengah diharapkan untuk tidak melihat kearah yang lain. Secara demikian, setiap narasi atau teks, pada darinya selalu atau sudah selalu dalam keterbatasan.
Suatu pertanyaan tentu saja tidak akan mengungkap yang sudah terungkap. Justru, suatu pertanyaan merupakan peralatan yang digunakan untuk menyingkap apa yang (masih) tersembunyi? Apakah yang disebut tersembunyi tersebut benar-benar ada? Pertanyaan tentu saja mengadaikan bahwa yang tersembunyi itu ada, dan karena itu pertanyaan diajukan. Namun, pertanyaan tentang kemerdekaan bukanlah pertanyaan yang diarahkan untuk menyingkap fakta-fakta, akan tetapi lebih dimaksudkan untuk mendapatkan atau bertemu dengan makna. Lebih dari sekedar mengetahui, akan tetapi juga mengalami – dalam pengalaman eksistensial. Artinya, pertanyaan “apa itu kemerdekaan?” mengandaikan bahwa makna bukan hasil dari pengamatan netral, melainkan hasil dari keterlibatan dan kebertaruhan eksistensial. Makna kemerdekaan bukan sekadar definisi, tetapi sesuatu yang harus dijalani, diperjuangkan, dan ditafsir dari dalam. Atau, hal tentang kemerdekaan tidak diakses dari luar, melainkan dibentuk dalam proses berada dan mengalami. Apakah itu mungkin?
Atas dasar itu, untuk dapat menemukan jawaban atas pertanyaan “apa itu kemerdekaan”, akan dilakukan beberapa langkah awal, sebelum akhirnya diperoleh cukup fasilitas yang memungkinkan jawaban diajukan. Pertama, akan disajikan pemikiran atau pandangan dari dua pemikir utama, yakni Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta. Keduanya, tidak saja pemikir akan tetapi juga proklamator dan sekaligus Presiden dan Wakil Presiden Pertama, yang dipilih pada 18 Agustus 1945, dalam persidangan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Kedua, akan disajikan pemikiran yang berkembang dalam persidangan BPUPK. Ketiga, akan disajikan pemikiran yang tertuang dalam teks utama, yakni naskah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan naskah Pembukaan UUD ’45. Dengan ketiga bahan utama itulah, akan susun suatu refleksi, sedemikian sehingga diperoleh peta pemikiran atau pandangan tentang apa itu kemerdekaan. Dari situlah jawaban akan disusun dan diskusi lebih lanjut akan dikembangkan. [desanomia – 010825 – dja] (bersambung).