Sumber ilustrasi: Freepik
28 Oktober 2025 10.05 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Pada bagian terdahulu (5), telah berusaha diuraikan makna kemerdekaan dari teks MIM. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam optik MIM, kemerdekaan dipandang bukan sebagai ujung dari perjalanan (perjuangan), melainkan sebagai syarat atau titik awal yang harus ada, agar proses transformasi (dari kolonial ke nasional) dapat diselenggarakan. Bukan hanya itu, kemerdekaan juga diletakkan sebagai suatu substansi, yang tidak hanya menjadi modal dalam melakukan penataan, namun juga sebagai dasar agar dalam penyelenggaraan penataan tidak meninggalkan rakyat sebagai subyeknya. Mungkin kita dapat mengatakan bahwa dalam MIM termuat sangat pekat aspirasi kesetaraan.
Bagian ini kita ingin meninjau dan berusaha masuk lebih dekat pada teks Pidato 1 Juni 1945, yang kini dikenal sebagai “Lahirnya Pancasila”. Pidato ini sangat penting, bukan saja secara formal mendapatkan posisi hukum, akan tetapi juga karena kaya makna, meskipun mungkin belum banyak studi yang mengeksplorasinya. Ada dua yang hendak disorong ke depan agar menjadi perhatian, yakni: Pertama, bahwa naskah tersebut sebenarnya adalah naskah steno, atau dapat dikatakan sebagai “rekaman” dari pidato yang disampaikan secara lisan. Kedua, bahwa dalam naskah tersebut terdapat konsep kemerdekaan yang diajukan. Tentu menarik untuk membuat refleksi untuk mendalami, mengapa konsep tentang kemerdekaan menjadi pembuka, sebelum pokok substansi, yakni mengenai dasar negara.
Apa yang hendak diulas pada bagian ini tentu bukan keseluruhan teks pidato, melainkan hanya pada bagian awal, yakni bagian yang membicarakan hal tentang kemerdekaan. Begini kira-kira penelusuran atas teks dimaksud:
I.
Bahwa kemerdekaan harus dilihat sebagai tindakan politik yang mendesak dan mutlak, bukan sesuatu yang harus ditunda hingga seluruh prasyarat teknis, administratif, atau sosial diselesaikan terlebih dahulu. Ir. Soekarno dalam hal ini, memberikan pandangan kritis terhadap pandangan yang cenderung menunda kemerdekaan dengan alasan “belum siap”, baik secara ekonomi, kelembagaan, maupun sosial.
Kekhawatiran terhadap kecenderungan untuk “menjelimetkan” persoalan sebelum berani menyatakan kemerdekaan menjadi sorotan utama. Ir. Soekarno menyebut secara terang-terangan:
“Tatkala Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang saya katakan di dalam bahasa asing, maafkan perkataan ini „zwaarwichtig” akan perkara jang kecil-kecil. ‘Zwaarwichtig’ sampai kata orang Jawa ‘jelimet’. Jikalau sudah membicarakan hal jang kecil-kecil sampai jelimet, barulah meréka berani menyatakan kemerdékaan.”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Ir. Soekarno menolak pandangan yang menganggap kemerdekaan sebagai sesuatu yang mensyaratkan “kesempurnaan teknis” terlebih dahulu. Ketakutan dan kekhawatiran berlebihan terhadap kesiapan justru akan menjadi penghalang psikologis dan politis untuk mengambil langkah besar menuju kedaulatan. Kesiapan tidak harus mendahului kemerdekaan; justru kemerdekaanlah yang membuka jalan bagi terciptanya kesiapan tersebut. Lebih lanjut dikatakan:
“… saya bertanya kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdéka, padahal dari rakyatnya terdiri dari kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu.”
Ungkapan ini tentu tidak punya maksud lain kecuali hendak memberikan sanggahan atas semua argumen yang menyatakan bahwa hanya bangsa yang sudah ‘maju’ secara pengetahuan atau birokrasi yang pantas merdeka. Ir. Soekarno menegaskan bahwa kemerdekaan tidak tergantung pada tingkat pendidikan rakyat atau kemapanan institusi, melainkan pada kemauan politik untuk berdiri sendiri sebagai bangsa.
Lebih jauh, Ir. Soekarno menyampaikan kritik terhadap tuntutan teknokratis yang cenderung melumpuhkan:
“Maaf, P.T. Zimukyokutyoo! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai jelimet hal ini dan itu dahulu semuanya! Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai jelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonésia Merdéka, tuan tidak akan mengalami Indonésia Merdéka, kita tidak akan mengalami Indonésia Merdéka, — sampai di lobang kubur!”
Ungkapan “sampai di lobang kubur” di sini mengandung ironi tragis yang menegaskan bahwa menunggu “kesiapan dalam segala hal” akan mengakibatkan hilangnya momentum sejarah. Kemerdekaan harus dipahami sebagai tindakan politis yang didasarkan pada keberanian historis, bukan kalkulasi administratif yang menunda-nunda. Penekanan ini menunjukkan bahwa rakyat tidak perlu menjadi sempurna dulu untuk berdaulat; sebaliknya, kedaulatan adalah alat untuk menyempurnakan diri sebagai bangsa.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kemerdekaan merupakan keputusan politik yang harus diambil berdasarkan kehendak dan keberanian rakyat untuk berdaulat, bukan berdasarkan syarat teknis atau kesiapan institusional yang lengkap. Kemerdekaan adalah langkah awal, bukan akhir dari proses pembangunan bangsa. Keberanian untuk bertindak, bukan kelengkapan prosedural, yang menentukan kapan kemerdekaan harus dinyatakan.
II.
Bahwa kemerdekaan bukanlah titik puncak yang harus dicapai setelah semua permasalahan terselesaikan, melainkan titik awal yang membuka jalan bagi penyempurnaan masyarakat. Ir. Soekarno menggunakan metafora kuat untuk menggambarkan makna ini, yaitu “jembatan emas.” Dalam konsep ini, kemerdekaan adalah medium historis yang memungkinkan bangsa melintasi keterbelakangan, ketertindasan, dan ketidaksempurnaan menuju masa depan yang lebih adil, kuat, dan sehat. Dalam kerangka ini, Ir. Soekarno merujuk pada MIM:
“Di dalam tahun ‘33 saya telah menulis satu risalah. Risalah yang bernama ‘Mencapai Indonésia Merdéka’. Maka didalam risalah tahun ‘33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdékaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, ta’lain dan ta’bukan, ialah satu jembatan, satu jembatan emas. Saya katakan didalam kitab itu, bahwa diseberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.”
Dengan mengajukan kutipan tersebut, jelas hendak dikatakan: (1) bahwa kemerdekaan bukanlah kondisi final, melainkan perantara historis yang harus dilalui untuk menyempurnakan kondisi sosial-politik bangsa; dan (2) bahwa soal tersebut telah lama menjadi pikiran Ir. Soekarno. Kalaupun pernyataan tersebut kembali diajukan, tentu bukan sebagai pengulangan, melainkan sebagai suatu penegasan dan sekaligus sebagai posisi baru, yakni bahwa kesempurnaan bukan syarat untuk merdeka, melainkan tujuan yang hanya dapat dicapai setelah merdeka. Maka, rakyat harus melewati “jembatan emas” itu terlebih dahulu untuk mencapai tatanan masyarakat yang dicita-citakan.
Lebih jauh dikatakan:
“Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita walaupun tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya.”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa kemerdekaan adalah ruang praksis untuk membangun, menyembuhkan, dan menguatkan masyarakat, bukan hasil akhir dari proses itu. Ir. Soekarno membalik logika kolonial dan teknokratis yang mensyaratkan rakyat harus “siap” terlebih dahulu. Justru di dalam kondisi merdeka-lah rakyat akan mencapai kemajuan melalui kerja kolektif dan pengorganisasian sosial yang bebas dari dominasi.
Seluruh argumen ini berpuncak pada pernyataan yang menegaskan arah perjuangan bangsa: “Inilah maksud saya dengan perkataan ‘jembatan’. Diseberang jembatan, jembatan emas, inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.” Penegasan ini mengandung pengertian mendalam bahwa kemerdekaan adalah syarat untuk kebebasan bergerak sebagai bangsa, bukan ganjaran atas kesiapan. Kemerdekaan adalah langkah pertama menuju pembentukan sistem nasional yang adil, berdaulat, dan bermartabat.
III.
Bahwa kemerdekaan merupakan manifestasi dari kehendak rakyat untuk berkuasa atas dirinya sendiri, bukan sebagai alat untuk menggantikan kekuasaan kolonial dengan elite domestik. Ir. Soekarno secara halus tetapi tegas menolak gagasan bahwa kemerdekaan hanya boleh dikelola oleh kalangan elite, birokrat, atau teknokrat yang merasa paling tahu, tetapi malah terperangkap dalam ketakutan dan kerumitan teknis. Yang didorong justru adalah pengakuan terhadap hak rakyat—khususnya generasi muda—untuk mengambil alih kendali sejarah tanpa menunggu perintah atau restu dari atas. Dalam hal ini, Ir. Soekarno menyatakan:
“Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, padahal sembojan Indonesia Merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? … kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar hati!”
Kata “zwaarwichtig”, dalam konteks ini, mungkin dapat dibaca sebagai kritik terhadap pandangan sementara kalangan yang merasa bahwa mereka harus menunggu segala sesuatu selesai dan sempurna sebelum berani menyatakan kemerdekaan. Padahal, semangat kemerdekaan telah lama hidup di tengah rakyat, khususnya di kalangan pemuda.
“Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milyun, semuanya bersemboyan: Indonesia Merdeka, sekarang!”
Pernyataan ini jelas ingin memperlihatkan bahwa legitimasi kemerdekaan berasal dari aspirasi rakyat, bukan dari keraguan sementara kalangan. Ketika pemuda—simbol semangat rakyat—telah bersatu menyuarakan kemerdekaan, maka tidak ada alasan bagi sementara kalangan untuk menunda dengan dalih ketidaksiapan. Dalam pandangan Ir. Soekarno, menunda kemerdekaan atas nama kekhawatiran teknis sama artinya dengan mengingkari semangat kolektif rakyat yang telah lama menginginkan pembebasan dan kebebasan.
Soekarno bahkan menyatakan:
“Saudara-saudara, kalau umpamanja pada saat sekarang ini Balatentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menitpun kita tidak akan menolak, sekarangpun kita menerima urusan itu, sekarangpun kita mulai dengan Indonesia yang Merdeka!”
Pernyataan ini jelas memperlihatkan kepercayaan penuh kepada rakyat, sebagai subjek utama dalam proyek kemerdekaan. Seperti tengah menegaskan bahwa ketika kekuasaan diserahkan, maka rakyat siap menerimanya dan siap menjalankan pemerintahan nasional meskipun belum memiliki semua struktur yang dianggap ideal.
Dengan demikian, kemerdekaan bukan hanya peristiwa formal atau administratif, tetapi bentuk pengakuan terhadap kedaulatan rakyat untuk mengambil alih masa depannya sendiri, tanpa harus menunggu validasi dari kelompok elite yang cenderung terjebak dalam keraguan, ketakutan, dan kalkulasi teknis yang mengabaikan momentum sejarah.
IV.
Bahwa suatu bangsa tidak perlu memenuhi serangkaian syarat internal yang rumit untuk diakui sebagai negara merdeka. Ir. Soekarno menegaskan bahwa dalam kerangka hukum internasional (internationaalrecht), kemerdekaan adalah hak yang dapat dinyatakan dan ditegaskan secara sah oleh bangsa yang memiliki elemen-elemen pokok suatu negara. Oleh karena itu, argumentasi yang menyatakan bahwa rakyat belum cukup sehat, belum cukup cerdas, atau belum cukup makmur untuk merdeka, adalah alasan yang tidak relevan dan bahkan menyesatkan.
Soekarno menyampaikan hal ini secara eksplisit dengan nada menyanggah pandangan yang terlalu teknokratik:
“Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penjakit malaria, banjak disentri. Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka. Saya berkata, kalau inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka.”
Sebagaimana telah disampaikan di atas bahwa pernyataan seperti ini merupakan bagian dari argumentasi yang menyanggah pendekatan yang memandang kemerdekaan sebagai hasil dari kesiapan internal. Sebaliknya, Soekarno memposisikan kemerdekaan sebagai awal dari perjuangan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan itu. Dalam kerangka ini, rakyat tidak harus menunggu sehat, kaya, atau terdidik untuk berdaulat; sebaliknya, kedaulatan itu sendiri adalah syarat untuk bisa menyehatkan, mendidik, dan memakmurkan rakyat.
Terhadap masih adanya keraguan, Ir. Soekarno memberikan tambahan rujukan dari asas hukum internasional:
“Tidakkah kita mengetahui… bahwa sebenarnya internationaalrecht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara jang merdeka, tidak diadakan syarat yang neko-neko, yang menjelimet, tidak! Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh. Ini sudah cukup untuk internationaal recht.”
Mengapa dibutuhkan rujukan ini? Tentu untuk lebih meyakinkan kepada yang masih dalam ragu, bahwa standar pengakuan internasional terhadap berdirinya negara merdeka jauh lebih sederhana daripada syarat-syarat internal yang sering dijadikan alasan untuk menunda kemerdekaan. Dengan kata lain, dalam kacamata dunia internasional, jika suatu entitas memiliki wilayah (bumi), penduduk (rakyat), dan pemerintahan (otoritas politik yang stabil), maka ia telah memenuhi syarat sebagai negara Merdeka yang sah.
Lebih lanjut, ditekankan:
“Tidak perduli rakjat dapat baca atau tidak, tidak perduli rakjat hebat ekonominja atau tidak, tidak perduli rakjatnja ada buminja dan ada pemerintahannja, — sudahlah ia Merdeka.”
Pernyataan ini menggambarkan bahwa kemerdekaan bukan privilese bangsa-bangsa yang sudah ‘jadi’, tetapi hak setiap bangsa yang memiliki eksistensi politis dan kehendak untuk berdiri sendiri. Oleh karena itu, ukuran seperti tingkat pendidikan, kemajuan ekonomi, atau kesiapan institusi bukan kriteria sah untuk menentukan apakah suatu bangsa boleh merdeka atau tidak.
Dengan demikian, (sekali lagi) kemerdekaan bukanlah proyek yang menunggu validasi dari dalam, tetapi tindakan politik yang sah berdasarkan prinsip universal dalam hubungan antarbangsa. Atau dapat dikatakan bahwa kemerdekaan bukan produk dari kematangan internal, tetapi tindakan kedaulatan yang dapat dinyatakan dan diakui jika syarat-syarat dasar—wilayah, rakyat, dan pemerintahan—telah terpenuhi. Maka, segala bentuk penundaan dengan alasan belum siap adalah penyangkalan terhadap hak bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri.
V.
Bahwa adalah keharusan historis dan tanggung jawab moral-politik para pemimpin dan rakyat Indonesia untuk segera menyatakan kemerdekaan, tanpa menunda atau menunggu kesiapan yang sempurna. Ir. Soekarno secara tegas menolak sikap penundaan yang dilandasi oleh ketakutan, keraguan, atau logika prosedural. Dalam pandangannya, kemerdekaan adalah momen sejarah yang harus dijawab dengan tindakan berani dan segera, sebab momentum tidak selalu datang dua kali.
Nada desakan ini tampak dalam seruan yang disampaikan berulang kali:
“Indonesia Merdeka sekarang, sekarang, sekarang!”
Pengulangan ini bukan sekadar retorika, tetapi bentuk tekanan historis: bahwa sekarang adalah saatnya bertindak. Ketika peluang terbuka, bangsa yang sadar akan sejarahnya tidak boleh larut dalam kekhawatiran atau ketakutan administratif. Penundaan hanya akan menghilangkan kesempatan dan menempatkan bangsa kembali dalam penantian tanpa akhir.
Soekarno juga menantang mentalitas yang selalu ingin menunggu “sampai semuanya sempurna”, yang justru menjauhkan bangsa dari realisasi kemerdekaan:
“Jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdéka, maka harus lebih dahulu ini selesai, itu selesai, itu selesai, sampai jelimet!, maka saja bertanja kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdéka…”
Melalui pertanyaan retoris ini, Soekarno memperlihatkan bahwa kemerdekaan bukan sesuatu yang ditentukan oleh rasionalitas administratif, melainkan oleh kehendak untuk merdeka itu sendiri. Ia mendorong bangsa untuk tidak memperumit hal-hal yang semestinya dapat diambil keputusannya secara lugas dan historis.
Puncak pernyataan tegas ini muncul ketika Soekarno menyampaikan sebuah sikap hipotetik yang penuh determinasi:
“Kalau umpamanja pada saat sekarang ini Balatentara Dai Nippon menjerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menitpun kita tidak akan menolak, sekarangpun kita menerima urusan itu, sekarangpun kita mulai dengan Indonesia jang Merdeka!”
Bagi yang mampu hadir ketika itu, akan sangat terasa bahwa pernyataan ini mencerminkan kesadaran historis akan momentum yang tak boleh disia-siakan. Kemerdekaan, bukan hanya sesuatu yang dinyatakan dalam waktu yang tepat, tetapi juga dalam keberanian untuk menjawab panggilan sejarah tanpa ragu-ragu. Penundaan hanya akan membawa bangsa kembali ke dalam lingkaran ketidakpastian dan dominasi.
Apa sebenarnya yang hendak dikatakan dengan lebih jelas dan tegas, bahwa kemerdekaan adalah momen eksistensial. Suatu momen yang hadir membawa tugas historis yang harus dijawab oleh generasi yang hidup saat ini, bukan diwariskan kepada generasi mendatang dengan alasan ketidaksiapan. Bangsa yang menunda, pada akhirnya, tidak akan pernah siap.
Momentum kemerdekaan harus dijemput dan diwujudkan sekarang, karena hanya dalam keberanian bertindaklah sejarah akan berpihak kepada rakyat. Menunda berarti menyerahkan nasib kepada ketakutan, dan kehilangan kesempatan berarti kehilangan kendali atas masa depan bangsa.
Kelima poin tersebut, adalah upaya untuk menyelami lebih dalam, sedemikian sehingga menjadi lembaran yang tipis, yang nampak muka sebagai suatu pengulangan (repetisi) – yang mungkin gaya khas Ir. Soekarno dalam berpidato. Dari kelimanya, kita mungkin dapat menarik garis makna bahwa kemerdekaan merupakan keputusan politis yang bersifat mendesak, legitim, dan mutlak diperlukan sebagai syarat awal untuk membangun bangsa yang kuat, sehat, dan adil. Kemerdekaan bukan hasil dari kesiapan, melainkan dasar untuk menciptakan kesiapan. Kemerdekaan adalah jembatan emas yang harus segera dilintasi oleh bangsa yang ingin bangkit, bukan tujuan yang hanya dapat dicapai bila semua syarat administratif dan sosial telah sempurna. [desanomia – 281025 – dja]