Sumber ilustrasi: Freepik
30 Oktober 2025 15.10 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Dari apa yang telah diuraikan secara berturut-turut pemikiran Ir. Soekarno tentang (makna) kemerdekaan, sebagaimana yang termuat dalam tiga teks utama, yakni (1) Indonesia Menggugat; (2) Mencapai Indonesia Merdeka; dan (3) Pidato 1 Juni 1945, yang lebih dikenal sebagai Pidato Lahirnya Pancasila, dapat kiranya kita susun gambaran tentang apa yang hendak disebut di sini sebagai perkembangan pemikiran. Berikut ini, uraiannya:
Pada awal pemikiran Soekarno, seperti yang tampak dalam Indonesia Menggugat (1930), kemerdekaan dimaknai sebagai pembebasan struktural dari imperialisme. Penjajahan tidak dilihat semata sebagai dominasi politik, tetapi sebagai sistem sosial-ekonomi yang menindas dan memiskinkan rakyat. Oleh karena itu, kemerdekaan menjadi syarat mutlak untuk membongkar sistem tersebut dan memulihkan hak rakyat atas kehidupan yang adil. Dalam pandangan ini, kemerdekaan adalah alat untuk mengembalikan kendali rakyat atas tanah, sumber daya, dan hukum yang selama ini dirampas oleh kekuasaan kolonial.
Makna kemerdekaan dalam teks itu bersifat politis dan struktural. Kemerdekaan diposisikan sebagai kekuasaan politik yang harus direbut agar rakyat tidak lagi menjadi objek dari kebijakan kolonial yang eksploitatif. Ir. Soekarno menekankan bahwa tanpa kekuasaan politik, rakyat tidak dapat menyusun hukum, mengatur kebijakan, atau menentukan arah sosial-ekonomi yang berpihak pada kepentingan nasional. Maka, kemerdekaan bukan sekadar simbol atau status, melainkan kondisi dasar bagi pembebasan dan keberdayaan rakyat.
Beberapa waktu kemudian, dalam Mencapai Indonesia Merdeka (1933), terjadi perkembangan penting dalam pemikiran Soekarno, dalam memaknai kemerdekaan yang tidak hanya sebagai akhir dari penjajahan, tetapi sebagai “jembatan emas” menuju transformasi sosial. Kemerdekaan diposisikan sebagai media historis untuk melintasi dunia lama yang timpang menuju masyarakat baru yang adil dan setara. Pandangan ini mencerminkan fase reflektif yang lebih dalam, di mana perjuangan tidak lagi hanya ditujukan pada musuh luar, tetapi juga pada pembentukan tatanan dalam negeri yang manusiawi dan bebas dari penindasan.
Dalam kerangka itu, kemerdekaan menjadi syarat untuk mengatur ulang struktur kehidupan bangsa: mulai dari ekonomi, kesehatan, hingga kebudayaan. Ir. Soekarno menolak anggapan bahwa suatu bangsa harus sempurna terlebih dahulu untuk layak merdeka. Justru, di dalam kemerdekaanlah rakyat diberi ruang untuk menyempurnakan dirinya sendiri. Ia menyatakan bahwa kesehatan, pendidikan, dan kekuatan nasional hanya bisa dibangun jika rakyat memiliki kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri. Maka, kemerdekaan adalah awal, bukan hasil akhir.
Kemerdekaan juga mulai dipahami sebagai bentuk perlindungan terhadap hasil perjuangan rakyat. Dalam risalah tersebut, Ir. Soekarno memperingatkan bahwa tanpa penguasaan kekuasaan oleh rakyat (Marhaen), kemerdekaan bisa direbut oleh kekuatan-kekuatan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat. Dengan demikian, kemerdekaan bukan hanya soal merebut kekuasaan dari penjajah, tetapi juga menjaga agar kekuasaan itu tidak jatuh ke tangan elite lokal yang menindas. Di sini, kemerdekaan menjadi medan perjuangan internal, bukan hanya eksternal.
Perkembangan pemikiran ini mencapai puncaknya dalam Pidato 1 Juni 1945, ketika Ir. Soekarno menghadapi momentum historis yang menentukan. Dalam suasana kosong kekuasaan pasca-kekalahan Jepang, ia menegaskan bahwa kemerdekaan adalah tindakan politis yang harus segera diambil. Ia menyindir elite yang terlalu birokratis dan takut bertindak, serta menegaskan bahwa menunggu kesiapan teknis justru akan menghilangkan kesempatan sejarah. Kemerdekaan harus dijemput, bukan ditunda.
Pada saat itu, kemerdekaan didefinisikan sebagai political independence, dan ia tegaskan sebagai keputusan strategis yang tidak memerlukan syarat administratif yang rumit. Ir. Soekarno menyebut bahwa yang diperlukan hanyalah rakyat, wilayah, dan pemerintahan. Jika tiga unsur itu ada, maka kemerdekaan sah menurut hukum internasional. Dengan pendekatan ini, Ir. Soekarno menggeser makna kemerdekaan dari sesuatu yang normatif dan prosedural menjadi sesuatu yang konkret dan dapat diaktualkan segera.
Selain urgensinya, pidato ini juga menampilkan kepercayaan penuh pada kehendak rakyat. Ia menyatakan bahwa pemuda-pemuda telah berseru “Indonesia Merdeka sekarang,” dan karena itu, tugas pemimpin adalah menjawab seruan itu, bukan menghalanginya. Kemerdekaan dilihat sebagai ekspresi dari kesadaran kolektif, bukan semata-mata produk dari kebijakan elite. Maka, dalam pandangan ini, rakyat bukan hanya penerima kemerdekaan, tetapi pelaku utama yang menentukan kapan dan bagaimana kemerdekaan itu dinyatakan.
Dari ketiga teks tersebut, tampak bahwa pemikiran Ir. Soekarno berkembang dari orientasi perlawanan terhadap struktur penjajahan, menuju strategi transformasi sosial, dan akhirnya menjadi pernyataan historis yang menuntut tindakan segera. Apa yang dapat ditangkap adalah adanya konsistensi berpikir, atau tidak terjadi suatu pengingkaran atas akar gagasan, sebaliknya selalu menyesuaikannya dengan tuntutan zaman. Kemerdekaan bagi Ir. Soekarno adalah proses yang hidup, bukan ide yang kaku.
Dengan demikian, kemerdekaan dalam pemikiran Ir. Soekarno bukanlah konsep yang statis atau seragam. Bergerak dari perjuangan melawan penindasan, menuju pengaturan kehidupan bersama, dan akhirnya ke puncak momentum sejarah. Keunikan pemikiran ini terletak pada konsistensi prinsip yang berpadu dengan keluwesan strategi. Kemerdekaan adalah jembatan sekaligus medan juang—ruang untuk membebaskan, membentuk, dan melanjutkan kehidupan sebagai bangsa yang merdeka secara utuh. [desanomia – 301025 – dja] (bersambung).