Terpelajar

Sumber ilustrasi: freepik

Oleh: Pandu Sagara
15 Mei 2025 15.15 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Keluarga mana yang tidak ingin anggota keluarga memperoleh status sebagai yang terpelajar. Tidak di kota, atau di desa. Tidak di dalam negeri, atau di luar negeri. Bahkan jika kita menelusuri kisah-kisah, termasuk dalam cergam atau komik kanak-kanak, sangat terasa hadirnya aspirasi yang menginginkan manusia berubah: dari yang tidak baik menjadi baik, dan dari tidak terpelajar menjadi terpelajar. Dan oleh karena itu pula, masing-masing pihak akan mendefinisikan atau menggambarkan sendiri, apa makna terpelajar itu, dan bagaimana sosoknya. Ada yang menggambarkan dalam bentuk pakaian yang rapi, rambut yang tertata, sampai pada tutur kata dan kehalusan budi. Sekolah, kampus, perpustakaan, buku, dan lain-lain, menjadi obyek yang kerap digunakan menjadi indikasi keterpelajaran.

Entah suatu disain atau sesuatu yang sedari awalnya telah direncanakan, atau hanya akibat dari proses, terbentuklah anak tangga keterbelajaran yang terinstitusionalisasi: dunia pendidikan. Singkatnya: untuk menjadi terpelajar, sesorang harus masuk ke dalam institusi tersebut, dan pada waktunya keluar dengan membawa “stempel” dari institusi tersebut. Stempel tersebut tentu bukan bentuk fisik pada tubuh seseorang, melainkan sesuatu yang tak-benda, dalam bentuk predikat: telah lulus. Tetapi, apakah adanya “stempel” tak benda, merupakan tanda yang nyata dari keterpelajaran? Ada pesohor mengatakan dengan lugas: stempel tersebut, bukan tanpa orang terpelajar, melainkan tanda orang tersebut pernah masuk ke dalam institusi. Apakah memang demikian? Bagi institusi tentu tidak demikian. Sebab jika dia membenarkan pandangan tersebut, sama artinya sang institusi membatalkan “stempel” yang dikeluarkannya. Tetapi jika tidak mengakui secara terbuka, artinya dia menjamin bahwa setiap yang berstempel pasti terpelajar. Sampai di sini, nampaknya hal tentang keterpelajaran menjadi tidak mudah.

Tetapi bagaimana mengatasi populasi yang jumlahnya sangat besar? Bagaimana mengatasi kompetisi yang terus berlangsung dalam banyak segi? Dalam situasi lapar kerja, bagaimana cara korporasi menentukan pelamar yang terpelajar? Apakah akan dites satu persatu? Sementara semua orang menyadari bahwa tes kerapkali tidak menggambarkan keseluruhan kemampuan seseorang. Ada terpelajar, tetapi ketika dalam tes, fisiknya kurang baik, sehingga tidak memberikan hasil yang baik? Sebaliknya, ada yang di bawah standar, namun karena ada orang dalam, maka dia dapat lolos tes. Kesemuanya inilah yang membuat apa yang disebut sebagai “stempel” mengalami perubahan posisi. Dari yang semula hanya tanda keikutsertaan dalam institusi, akhirnya menjadi persyaratan dalam akses. Dan karena itulah, “stempel” dalam banyak kasus menjadi semacam komoditas. Di masyarakat sendiri, tidak jarang menjadi penanda status sosial. Kesemuanya ini, menjadikan keterpelajaran makin tidak jelas apa sebenarnya yang dirujuk. Karena dalam nyatanya yang berkasus secara hukum ada pula yang masuk dalam kategori sebagai yang terpelajar.

Jika demikian, apakah “terpelajar” adalah hal yang sepenuhnya privat ataukah publik? Apabila sepenuhnya privat, mengapa publik perlu mempersoalkan? Mengapa keterpelajaran menjadi tanda suatu status sosial? Mengapa pula yang dikatakan terpelajar seperti mendapatkan keistimewaan tertentu? Misalnya, lebih berhak untuk ikut kontestasi? Lebih berhak untuk akses-akses tertentu? Dan berbagai keistimewaan lainnya. Sebaliknya jika keterpelajaran merupakan hal publik, atau pada dirinya terdapat dimensi publik, lantas mengapa ada banyak kasus privatisasi keterpelajaran? Mengapa pada banyak yang terpelajar berfokus pada urusan privatnya ketimbang urusan publik?

Bagi para bijak di masa lalu, mungkin akan menjawab dengan jelas bahwa keterpelajaran yang sejati mengandung daya terang. Keterpelajaran bukan sekadar koleksi pengetahuan, melainkan keterlibatan aktif dalam proses pencarian, pengolahan, dan penyampaian makna. Pengetahuan, dalam bentuk apapun, selalu bersifat relasional. Sesuatu yang lahir dari dunia bersama, dari realitas yang dialami secara kolektif, dan dari dialog antara kesadaran-kesadaran yang berbeda. Oleh karena itu, keterpelajaran tidak mungkin sepenuhnya dikurung dalam ruang batin, melainkan membawa serta potensi dan panggilan untuk tampil ke luar, menjadi bagian dari diskursus, menjadi suluh dalam gelapnya ketidaktahuan, dan menjadi jembatan bagi yang tercerai oleh kebodohan dan prasangka.

Pandangan lama telah menunjukkan kecenderungan untuk memahami pengetahuan sebagai komitmen publik. Ada banyak kasus yang memperlihatkan bahwa kadang keterpelajaran merupakan keteguhan pada prinsip kebenaran, ketimbang mengingkari kebenaran yang diyakininya. Menjadi terpelajar, dalam pengertian yang mendalam, adalah memasuki ruang batin dan menata dunia luar secara serentak. Inherensi publik dari keterpelajaran bukan berarti bahwa semua pengetahuan harus diumumkan atau dibicarakan, tetapi bahwa pengetahuan sejati membawa potensi untuk menjelma menjadi tindakan, teladan, atau pengaruh yang membentuk dunia. Keterpelajaran bukan tentang seberapa banyak yang diketahui, melainkan seberapa dalam penghayatan terhadap apa yang diketahui, dan seberapa jauh dapat menjelma menjadi daya hidup yang menerangi orang lain — langsung ataupun tidak langsung, melalui kata ataupun diam, melalui ajaran ataupun kehadiran. Laksana cahaya yang tidak hanya menyinari diri, tetapi juga memberi jalan bagi yang lain untuk berjalan dalam terang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *