Viralitas

sumber ilustrasi: freepik

Oleh: Pandu Sagara
5 Mei 2025 23.25 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Ada pertanyaan yang mengusik sebagian dari kita, yakni mengapa masalah “perang tarif”, yang begitu mencemaskan ekonomi (nasional), dapat dikatakan tidak mendapatkan perhatian publik yang memadai? Masalah perang tarif, pada banyak negara telah membawa akibat pada keadaan ekonomi, dan terus langsung atau tidak langsung ikut menekan kondisi ekonomi publik. Otoritas ekonomi sendiri dibuat “pusing”, oleh karena harus mengelola fiskal secara baik dan kredibel, agar tekanan eksternal tidak membuat situasi semakin buruk. Sementara itu, publik lebih asyik dan terseret waktu serta perhatiannya pada masalah-masalah yang tampak kurang langsung berdampak kepada masalah sehari-harinya. Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Mengapa hal yang mampu menjadi viral, akan merupakan hal yang akan menjadi perhatian publik. Atau, mengapa viralitas menjadi penentu arah perhatian publik?

***

Banyak ahli mengalami bahwa dalam masyarakat yang semakin terseret oleh arus informasi cepat dan instan, yang berkembang adalah sebuah gejala yang dirumuskan sebagai: perhatian publik tidak lagi ditentukan oleh kedalaman suatu isu, melainkan oleh daya tarik sensasional dan kecepatan sebarannya. Masalah-masalah penting yang menyangkut kehidupan bersama—seperti kebijakan ekonomi, perang tarif antarnegara, pemutusan hubungan kerja massal, atau krisis energi—justru sering luput dari perhatian luas. Sebaliknya, “hal-hal sepele yang viral”, seperti kontroversi selebritas, tantangan konyol di media sosial, atau peristiwa remeh dalam ruang privat seseorang yang terekam kamera, malah menjadi pusat perhatian kolektif. Ini bukan sekadar soal seleksi media atau kegagalan komunikasi kebijakan, akan tetapi berpotensi menjadi problem dalam cara berpikir.

Kita hidup dalam situasi di mana problem berpikir telah melanda publik secara sistematis. Masyarakat hari ini tidak hanya mengalami penurunan minat terhadap hal-hal yang menuntut perhatian dan abstraksi, tetapi juga secara aktif diarahkan menjauh dari struktur berpikir yang membutuhkan refleksi, penalaran kausal, dan pemahaman sistemik. Ini bukan semata kemalasan kognitif, melainkan hasil dari interaksi kompleks antara struktur ekonomi informasi, logika kapitalistik media, dan sistem pendidikan yang gagal membentuk nalar publik yang tangguh. Ketika berpikir digantikan oleh sekadar mengonsumsi informasi, maka yang menentukan penting-tidaknya suatu isu bukan lagi kedalaman dampaknya terhadap kehidupan, melainkan kemampuannya mencuri atensi dalam hitungan detik.

Masalah ekonomi seperti perang tarif, misalnya, membutuhkan pemahaman mengenai struktur perdagangan global, kebijakan fiskal, hubungan antarnegara, serta pengaruhnya terhadap lapangan kerja, harga barang, dan pertumbuhan nasional. Semua itu adalah persoalan yang berada dalam ranah abstraksi tingkat menengah hingga tinggi. Tentu saja keseluruh problem kompleks tersebut tidak bisa tampak dalam satu gambar atau satu video berdurasi lima belas detik. Dampaknya pun tidak selalu langsung terlihat. Dampak yang bergerak secara sistemik dan perlahan, melintasi waktu dan sektor. Dalam lanskap budaya digital yang dibentuk oleh media sosial dan algoritma, isu seperti ini kalah telak dibandingkan hal yang lucu, kontroversial, atau menyentuh emosi secara instan.

Publik kini lebih menyukai sesuatu yang bisa segera dirasakan dan dengan mudah dibagikan. Kecepatan menjadi standar kebenaran baru. Yang cepat menyebar dianggap relevan, yang viral dianggap penting. Namun, ini adalah kekeliruan mendasar. Kecepatan dan viralitas tidak sama dengan validitas atau signifikansi. Di sinilah letak paradoks zaman ini: semakin penting suatu isu bagi struktur sosial-ekonomi-politik, semakin kecil kemungkinannya menjadi perhatian bersama, jika isu tersebut tidak memiliki kualitas estetika atau emosional yang mendukung viralitasnya. Krisis iklim, ketimpangan ekonomi global, manipulasi algoritma, atau dampak jangka panjang dari utang publik jarang menjadi perbincangan populer, karena terlalu kompleks, terlalu lambat dampaknya, atau terlalu menuntut pikiran.

Selain itu, struktur media hari ini secara aktif mengalihkan perhatian publik dari substansi menuju distraksi. Dalam ekonomi atensi, perhatian adalah komoditas. Platform digital, media sosial, dan bahkan sebagian besar media arus utama tidak bertugas untuk mendidik atau mencerdaskan publik, melainkan untuk mempertahankan keterlibatan pengguna selama mungkin. Dengan demikian, algoritma secara sistematis memperkuat konten-konten yang memicu keterlibatan emosional instan: kemarahan, kecemasan, tawa, atau keterkejutan. Konten yang menuntut berpikir, sebaliknya, sering kali dianggap membosankan dan diturunkan visibilitasnya. Ini menciptakan lingkaran umpan balik negatif di mana publik tidak hanya dibiasakan untuk tidak berpikir, tetapi juga dihukum secara algoritmik ketika mencoba melakukannya.

Kondisi ini diperparah oleh sistem pendidikan yang, alih-alih melatih nalar kritis, sering kali justru menanamkan pola pikir mekanistik dan hafalan. Akibatnya, masyarakat tidak dibekali dengan kemampuan untuk mengaitkan satu peristiwa dengan struktur yang lebih luas, atau memahami bahwa suatu kebijakan ekonomi yang tampak abstrak di layar berita pada akhirnya akan menentukan harga bahan pokok di pasar lokal. Tanpa dasar pendidikan yang kuat dalam penalaran dan keterkaitan kausal, publik menjadi semakin tergantung pada representasi singkat dan emosional dalam memahami dunia. Maka tak heran jika video seseorang menampar orang lain bisa lebih “masuk akal” dan menarik perhatian daripada penjelasan mengapa inflasi dipicu oleh pelemahan mata uang dan kebijakan impor.

Di tengah situasi ini, barangkali sudah saatnya memberikan perhatian pada problem ini. Soalnya adalah mungkin yang disebut di sini sebagai problem berpikir, sesunggunya bukan lagi persoalan individual, melainkan suatu “krisis structural”. Kemampuan untuk berpikir secara sistemik, abstrak, dan reflektif telah digantikan oleh kebiasaan menanggapi secara cepat, impulsif, dan fragmentaris. Masyarakat kehilangan kepekaan terhadap struktur dan sebab, dan hanya merespons gejala yang tampak. Dalam hal ini, apa yang kita sebut sebagai “ketertarikan publik” bukan lagi cerminan dari kehendak rasional kolektif, melainkan hasil dari manipulasi sistem informasi yang dirancang untuk mengalihkan perhatian dari hal-hal penting. Kita tidak sedang berada di dunia di mana masyarakat tidak peduli pada hal substansial; kita berada di dunia di mana masyarakat secara sistematis dipisahkan dari kemungkinan untuk mempedulikannya. Mungkin ini bukan sekadar masalah kurangnya kesadaran, tetapi krisis epistemologis yang menempatkan kita di ambang masyarakat tanpa kapasitas berpikir kolektif yang mendalam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *