Apakah itu tanda pengenal? Kamus bahasa menyebutkan bahwa tanda sebagai “yang menjadi alamat atau yang menyatakan”. Sementara pengenal disebut sebagai “tanda-tanda (ciri-ciri) untuk mengetahui”. Secara demikian tanda pengenal dapat dipahami sebagai “sesuatu yang berfungsi sebagai alamat atau penanda yang memuat ciri-ciri untuk mengenali atau mengetahui keberadaan seseorang atau sesuatu”, atau “sesuatu yang berfungsi untuk menyatakan keberadaan seseorang atau sesuatu melalui ciri-ciri yang dapat dikenali.”
Jika tanda pengenal mengenai diri seseorang, maka beberapa kemungkinan bisa saja terjadi. Pertama, kita mengetahui bahwa pada umumnya, atau mungkin keseluruhannya, seseorang ketika hadir ke dunia, akan mendapatkan “nama”, yang disematkan oleh orangtua atau orang lain. Sebutan (nama) itu adalah pengenal pertama. Dengan nama tersebut, subyek diletakkan sebagai bagian dari keluarga atau komunitas.
Namun, apa sebenarnya makna dari nama? Benarkah nama tidak punya makna? Tentu, yang ingin bukan arti dari nama itu sendiri. Melainkan makna nama dalam kerangka sebagai tanda pengenal. Dari sudut ini, nama pertama-tama mungkin sebagai tanda bagi subyek itu sendiri. Yakni bahwa subyek memiliki tanda kehadiran di tengah yang lain. Suatu tanda yang diberikan oleh “yang lain”.
Kelak ketika tumbuh dewasa, subyek mungkin merasa bahwa nama yang disandangnya kurang mewakili dirinya, karena itu, yang bersangkutan berusaha memberi nama baru. Dengan itu, subyek memberi tanda bagi dirinya sendiri. Nama yang berasal dari dirinya sendiri, bukan dari “yang lain”.
Kedua, nama sebagai sebuah tanda, pada umumnya tidak langsung terkait dengan ciri pribadi, yang membedakan dengan yang lain. Kadangkala, ada nama yang sama. Dan untuk membedakannya, disodorkan ciri pribadi. Adapun ciri tersebut sangat terkait dengan apa yang dilakukan dan apa yang terjadi pada subyek. Setiap daerah akan “menyematkan” ciri yang khas, sesuai dengan interaksi subyek dengan realitas sosio-ekologi setempat.
Pada titik inilah, hendak diperkenalkan konsep tanda pengenal organik, dan tanda pengenal inorganik. Yang pertama adalah tanda pengenal yang tumbuh sebagai bagian dari realitas sosial yang konkret. Tanda ini dapat dikatakan berakar pada jaringan relasi sosial yang hidup, di mana individu dikenali melalui keterlibatan aktifnya dalam komunitas atau dalam realitas sosio-ekologi setempat.
Berbeda dengan tanda pengenal organik, tanpa pengenal inorganik, bukanlah ciri yang melekat dengan realitas sosio-ekologi setempat, melainkan suatu ciri yang datang dari “luar”. Sesuatu yang diberikan kepada subyek. Jadi subyek laksana ditempatkan oleh suatu sistem. Tanda pengenal menjadi “representasi” dari subyek dalam sistem sosial-politik. Jika tanda organik bersifat “setempat”, maka tanda inorganik bersifat umum, atau bahkan dapat dikatakan “seragam” (karena elemen keunikan telah dihilangkan).
Pada komunitas desa, tanda organik lebih menonjol dalam merepresentasikan subyek. Sebagai contoh. Ketika anda mencari teman yang tinggal di desa, maka ketika anda dalam kesulitan bertanya, maka warga akan mengindentifikasi teman anda dengan cara yang khas. Berbeda dengan di kota, dimana warga cenderung akan mengarahkan anda untuk bertanya ke ketua RT, atau “birokrasi” setempat. Jika yang pertama terkait dengan relasi subyek dengan realitas sosio-ekologi setempat. Pada yang kedua, terkait dengan relasi subyek dengan sistem sosial-politik.
Dengan demikian suatu tanda pengenal sesungguhnya merupakan sesuatu yang memiliki kompleksitas tersendiri. Bahkan, dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa suatu penonjolan ciri subyek, akan memiliki makna tersendiri dan sekaligus memperlihatkan realitas apa yang tengah berkembang. Atau, sederhananya “dimana” subyek berada.
Ketika subyek berada dalam “ruang sosial” yang tidak berjarak atau bahkan berakar pada ekologi setempat, maka tanda pengenal atas dirinya merupakan tanda yang “tertanam” dalam realitas tersebut. Sebaiknya, ketika subyek berada dalam “ruang sosial” yang berjarak atau bahwa “tercerabut” dari realitas ekologinya, maka ciri yang ada tidak mencerminkan realitas ekologinya, malah justru memperlihatkan berjaraknya tanda tersebut dengan kenyataan yang menjadi ruang hidupnya.
Ketika tanda pengenal organik makin langkah dan makin tidak mampu menjadi pembeda suatu subyek dengan subyek lainnya, maka berarti telah terjadi transformasi masyarakat. Ketiadaan jejak realitas sosio-ekologi pada diri subyek, dapat diberi makna sebagai makin berjaraknya subyek dengan kenyataan tersebut. Tanda pengenal dengan demikian dapat menjadi tanda atas apa yang telah berlangsung. Apakah subyek makin terintegrasi dengan realitas sosio-ekologi setempatnya, atau telah makin tercerabut. [Desanomia – 3.25 – TM]