sumber ilustrasi: unsplash
3 Mei 2025 03.50 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Pengantar – edisi Dialog (2) seharusnya adalah dialog lanjut antara X (yang dalam hal ini dianggap mewakili tradisi desa), Y (yang diandaikan boleh mewakili tradisi ilmu) dan Z (yang diandaikan bukan dari keduanya), setelah dialog perdana dalam edisi Dialog (1) terbit pada 30 April 2025. Namun, karena ada pertanyaan yang harus dijawab lebih dahulu, yakni terkait dengan: (a) penggunaan istilah setempat, sebagai ganti istilah lokal; dan (b) penjelasan tentang makna dan perbedaan dari sepuluh ciri pengetahuan setempat. Sangat diharapkan bahwa uraian tersebut (lihat Dialog (2)) telah cukup memadai, sehingga kini kita dapat melanjutkan ke dialog selanjutnya, yakni membahas tentang ciri kedua dari pengetahuan setempat, yakni hal tentang kontekstualitas pengetahuan. Dalam kerangka pengetahuan setempat, kontekstualitas dipahami bahwa suatu kebenaran yang berlaku dalam dan untuk konteks tertentu. Pengetahuan setempat tidak mengejar keuniversalan, tetapi ketepatan dalam situasi: sosio-ekologi setempat, transendensi dan historis. Apa yang benar, adalah apa yang “dialami” dalam konteks tersebut.
Beginilah percakapan umum atas masalah tersebut:
X:
Pengetahuan setempat bersifat kontekstual dan situasional. Pernyataan ini bukan hanya sebuah deskripsi, tetapi sebuah klaim epistemologis yang menyentuh inti dari bagaimana pengetahuan itu hadir, bekerja, dan memperoleh legitimasi. Di balik sifat kontekstual tersebut tersimpan penolakan terhadap asumsi dominan ilmu pengetahuan modern yang menempatkan netralitas, obyektivitas, universalitas, dan abstraksi sebagai parameter utama kebenaran. Kontekstualitas dalam pengetahuan setempat bukan bentuk keterbatasan teknis yang menghalanginya untuk menjadi pengetahuan sejati, melainkan bentuk keutuhan yang memperlihatkan bahwa kebenaran tidak harus menjauh dari dunia untuk diakui, tetapi justru berakar di dalam dunia untuk bermakna.
Dalam kerangka ini, pengetahuan setempat muncul dan tumbuh dalam relasi langsung dengan ruang dan waktu yang spesifik. Tentu bukan hasil generalisasi dari data yang dikumpulkan secara terpisah, melainkan tanggapan yang (mungkin) lambat, mendalam, dan terbentuk melalui interaksi panjang dengan kondisi hidup yang khas (setempat). Pengetahuan tentang pola musim, tentang cara bercocok tanam, tentang membaca tanda alam, atau tentang pengetahuan tubuh dan penyembuhan tidak dapat dilepaskan dari medan pengalaman yang melahirkannya. Jika dipindahkan atau diterapkan ke konteks lain tanpa refleksi mendalam, maka tentu akan kehilangan ketepatannya, bahkan maknanya. Hal ini bukan karena pengetahuan tersebut lemah atau tidak sistematis, tetapi karena hanya berfungsi secara maksimal justru ketika setia pada konteks tempatnya dibentuk.
Dalam pengetahuan setempat, konteks bukan sekadar latar belakang, namun merupakan struktur dasar dari kemungkinan tahu itu sendiri. Tidak ada pengetahuan tanpa dunia, dan dunia itu tidak pernah hadir secara netral. Sangat mungkin selalu muncul sebagai dunia tertentu: dunia para petani di dataran tinggi, dunia para nelayan yang mengikuti irama pasang surut, dunia “masyarakat adat” yang menavigasi hutan berdasarkan penanda ekologis yang diwariskan secara turun-temurun. Masing-masing dunia ini memiliki logika internal, sistem makna, dan bentuk-bentuk pembacaan yang tidak dapat dicangkok begitu saja ke tempat lain. Konteks bukan batas, tetapi kondisi penciptaan makna.
Kritik yang mengatakan bahwa pengetahuan kontekstual tidak bisa diuji secara objektif atau tidak berlaku lintas tempat, sering kali mengabaikan kenyataan bahwa validitas itu sendiri selalu lahir dari kerangka interpretatif tertentu. Apa yang disebut “universal” dalam sains modern sering kali adalah hasil dari abstraksi yang ekstrem, yakni penghilangan perbedaan demi mencapai model yang berlaku secara umum. Namun, abstraksi semacam itu tidak selalu menambah kekuatan pengetahuan; dalam banyak kasus, justru mengaburkan kompleksitas, menghilangkan nuansa, dan memutus relasi antara pengetahuan dan kehidupan. Sebaliknya, pengetahuan setempat mempertahankan nuansa, mengakui perbedaan, dan menghargai keterikatan. Pengetahuan setempat tidak pernah mengklaim bahwa satu model bisa menjelaskan semua, tetapi menyatakan bahwa setiap tempat adalah dunia yang utuh, dan setiap dunia memiliki cara tahu yang sah.
Situasionalitas, dalam hal ini, bukan berarti ketidakteraturan atau ketidakkonsistenan. Namun merupakan bentuk respons yang tajam terhadap situasi yang dihadapi secara konkret. Pengetahuan yang lahir dari situasi tidak spekulatif, sudah barang tentu tidak menjauh dari kebutuhan. Hasil dari pengamatan yang lama, dari pengulangan yang dijalani (dialami), dari kegagalan dan perbaikan, dari pengujian yang tidak berlangsung di laboratorium tetapi dalam kehidupan. Dalam dunia pengetahuan setempat, apa yang dianggap berhasil bukan ditentukan oleh prinsip generalisasi, tetapi oleh kemampuannya untuk terus bekerja, terus menopang kehidupan, terus relevan dalam perubahan yang dialami bersama.
Ada kekurangtepatan umum dalam membaca kontekstualitas sebagai ketidakmampuan untuk berpikir universal. Kontekstualitas bukan kebalikan dari rasionalitas, melainkan bentuk rasionalitas yang lain. Suatu rasionalitas yang tidak menghapus perbedaan demi keseragaman, tetapi yang mengolah perbedaan menjadi sumber daya epistemik. Rasionalitas kontekstual menyadari bahwa dunia terlalu kaya untuk diringkas dan diringkus dalam satu kerangka, dan bahwa kehidupan manusia terlalu beragam untuk ditata oleh satu sistem pengetahuan. Maka, yang ditawarkannya bukan model tunggal, tetapi kecermatan setempat, kebijaksanaan situasional, dan ketelitian terhadap tanda-tanda kecil yang sering luput dalam sistem besar.
Argumen ini bukan ajakan untuk menolak pengetahuan yang bersifat umum, tetapi seruan untuk mengakui bahwa tidak semua kebenaran harus mengabstraksi diri dari kehidupan. Pengetahuan setempat menawarkan bentuk lain dari keberlakuan: sah karena bekerja di dalam dunia yang nyata, bukan karena dapat diangkat keluar dari dunia itu. Dalam dunia yang semakin menyeragamkan cara berpikir, pengetahuan setempat mempertahankan keberagaman cara tahu sebagai warisan epistemik yang tak ternilai. Dan dalam hal ini, kontekstualitas bukan sekadar sifat tambahan, tetapi asas dasar dari bagaimana pengetahuan dapat tetap relevan, bermakna, dan berpijak pada kenyataan yang hidup.
Y:
Pandangan bahwa pengetahuan setempat bersifat kontekstual dan situasional mengangkat persoalan epistemologis yang fundamental. Uraian X yang menyatakan kontekstualitas sebagai sifat dasar pengetahuan setempat, walaupun pada bagian akhir tidak mengatakan suatu penolakan, namun sesungguhnya merupakan sebuah penolakan yang halus tetapi tegas terhadap syarat-syarat obyektivitas dan universalitas yang menjadi fondasi dari sains modern. Gagasan bahwa pengetahuan hanya berlaku dalam konteksnya, dan tidak dapat dipisahkan dari situasi tempatnya lahir, memang terdengar puitis dan reflektif, tetapi pada tingkat epistemik, hal ini menyimpan problem yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Dari perspektif ilmu, kritik terhadap klaim kontekstualitas harus dimulai dengan mempertanyakan: apakah pengetahuan yang tidak dapat berlaku di luar dirinya sendiri masih dapat disebut sebagai pengetahuan?
Ilmu pengetahuan berkembang melalui usaha sistematis untuk mengurangi ketergantungan pada konteks yang partikular, agar kebenaran dapat diuji dan diakses oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Ini bukan ambisi kosong, tetapi tuntutan epistemik yang lahir, justru dari kesadaran akan keterbatasan pengalaman manusia. Dalam dunia yang plural dan kompleks, pengetahuan yang terlalu terikat pada satu tempat dan waktu akan menghadapi kesulitan mendasar, antara laun: (a) tidak dapat dikomunikasikan secara universal, (b) tidak dapat diverifikasi oleh orang lain di luar komunitasnya, dan (c) tidak dapat menjadi dasar bagi kerjasama lintas wilayah dan budaya. Jika pengetahuan hanya sah dalam konteksnya sendiri, maka pertanyaannya adalah: bagaimana pengetahuan tersebut dapat dibagikan, diuji, atau bahkan ditafsirkan oleh subyek lain yang tidak hidup dalam konteks tersebut?
Di sinilah ilmu mengajukan keberatan epistemologisnya, bahwa kontekstualitas yang terlalu ditekankan akan berisiko membawa pengetahuan ke dalam bentuk tertutup. Hal itu menciptakan apa yang dapat disebut sebagai komunitas epistemik tertutup, yakni ruang kognitif yang hanya dapat diakses oleh mereka yang berada di dalamnya, dengan bahasa, pengalaman, dan sistem makna yang tidak bisa diuji dari luar. Hal ini memunculkan ancaman relativisme ekstrem: jika semua kebenaran hanya berlaku secara setempat, maka tidak ada kebenaran yang dapat diuji secara lintas-budaya. Konsekuensinya, tidak ada landasan rasional untuk membandingkan satu sistem pengetahuan dengan yang lain, tidak ada cara untuk menyelesaikan perselisihan epistemik, dan tidak ada jembatan yang menghubungkan antara komunitas pengetahuan yang berbeda.
Lebih jauh, sains juga menekankan bahwa kemajuan pengetahuan bergantung pada kemampuannya untuk digeneralisasi. Abstraksi, dalam tradisi ilmiah, bukanlah bentuk penghilangan makna, tetapi suatu cara untuk menemukan pola, untuk melihat keteraturan dalam keragaman fenomena. Dalam ilmu pengetahuan alam, hukum gravitasi, prinsip termodinamika, struktur DNA, semua ini lahir dari pengamatan terhadap fenomena yang spesifik, tetapi hanya menjadi pengetahuan ketika berhasil dirumuskan sebagai hukum yang berlaku umum. Kritik terhadap kontekstualitas tidak berarti penolakan terhadap keunikan pengalaman, tetapi peringatan bahwa tanpa generalisasi, pengetahuan akan terfragmentasi menjadi narasi-narasi setempat yang tidak dapat berkomunikasi dengan pengalaman lain.
Ilmu juga mempersoalkan apakah kontekstualitas semacam itu tidak menjadi penghalang bagi pertumbuhan pengetahuan itu sendiri. Dalam sains, kesalahan, revisi, dan penyempurnaan adalah bagian dari dinamika epistemik. Pengetahuan berkembang karena bersifat terbuka terhadap pengujian lintas konteks, dan menolak untuk mengunci kebenaran dalam situasi tertentu. Jika suatu bentuk pengetahuan hanya dapat dipahami, dipraktikkan, dan dibenarkan dalam situasi tertentu, maka bagaimana pengetahuan tersebut bisa diperiksa? Bagaimana dapat dikritik secara internal maupun eksternal? Dalam sistem seperti itu, klaim kebenaran berisiko menjadi klaim otoritas: “kami tahu karena kami yang mengalami,” dan dengan itu, pintu terhadap pertanyaan dari luar menjadi tertutup. Akan terbuka kemungkinan dimana pengetahuan pada akhirnya berbasis otoritas.
Aspek lain yang dikritik oleh sains adalah apa yang tampak sebagai ketidakteraturan dalam struktur pengetahuan kontekstual. Pengetahuan ilmiah tidak hanya bertujuan menjelaskan dunia, tetapi juga membangun model yang dapat diramalkan dan “dikontrol”. Situasionalitas yang terlalu menekankan pada keunikan momen dan kondisi spesifik membuat mustahil adanya prediksi yang akurat dan pengulangan yang sistematis. Ilmu tidak menolak kompleksitas, tetapi akan mengupayakan bentuk representasi yang memungkinkan kita berurusan dengan kompleksitas itu secara fungsional. Tanpa upaya untuk menata, pola tidak dapat dikenali, dan tanpa pola, intervensi terhadap dunia — dalam bentuk teknologi, pengobatan, atau kebijakan — tidak dapat dilakukan secara bertanggung jawab.
Di balik semua kritik ini, ilmu pengetahuan tidak sekadar mempertahankan eksklusivitas metodologis, tetapi memperjuangkan prinsip keterbukaan epistemik. Dalam sains, semua klaim pengetahuan, tanpa kecuali, harus bersedia diperiksa, diuji, dan ditantang. Pengetahuan yang tidak membuka dirinya terhadap pengujian adalah bentuk dogma. Kontekstualitas dan situasionalitas, jika tidak disertai dengan mekanisme transposisi atau generalisasi, berisiko menciptakan pengetahuan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara epistemik kepada siapa pun di luar komunitasnya sendiri. Ini bukan soal tidak menghormati perbedaan, tetapi soal menjaga agar pengetahuan tetap dapat berbicara kepada dunia, bukan hanya kepada “dirinya sendiri”.
Dengan demikian, dari sudut pandang ilmu pengetahuan modern, gagasan bahwa pengetahuan setempat bersifat kontekstual dan situasional perlu dipertanyakan secara kritis. Sekali lagi, jika konteks adalah segalanya, maka kebenaran menjadi sesuatu yang hanya berlaku di dalam lingkaran yang tertutup. Ilmu, sebaliknya, menuntut agar kebenaran tidak tinggal dalam batas tempat dan waktu, tetapi mampu melintasi keduanya. Pengetahuan, dalam pengertian ilmiah, adalah kemampuan untuk menjelaskan, membandingkan, dan menyampaikan pemahaman melampaui konteks asalnya. Tanpa ini, yang tersisa bukanlah pengetahuan dalam arti universal, melainkan, hanya suatu bentuk wacana setempat yang tak dapat diverifikasi secara lintas-subjektif. Jika demikian itu adanya, maka percakapan epistemik berakhir menjadi monolog kultural, dan bukan percakapan universal yang memungkinkan dunia saling memahami dan memperbaiki dirinya.
X:
Kritik dari ilmu pengetahuan modern terhadap klaim bahwa pengetahuan setempat bersifat kontekstual dan situasional sering kali diajukan dengan keyakinan tinggi yang seolah-olah mengandalkan prinsip netralitas dan rasionalitas murni. Kritik ini mempertanyakan bagaimana mungkin pengetahuan yang tidak dapat diuji di luar konteksnya sendiri bisa memiliki status epistemik yang sah. Kita berpandangan bahwa di balik pertanyaan itu terdapat asumsi kuat bahwa pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang lepas dari tempat, waktu, dan subjek, yakni yang bersifat objektif dan universal. Namun justru di situlah letak bias epistemologis yang mendalam dalam kritik tersebut. Suatu bias yang lahir dari sejarah panjang proyek modernitas yang menjadikan abstraksi sebagai ukuran tertinggi kebenaran, dan menjadikan pengalaman konkret sebagai halangan terhadap validitas pengetahuan.
Kritik tersebut berpijak pada asumsi bahwa semua bentuk pengetahuan harus dapat dikonfirmasi dan diverifikasi oleh siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Namun asumsi ini tidak hanya mengabaikan keragaman cara manusia mengetahui dunia, tetapi juga secara sistematis menyembunyikan bahwa kriteria tersebut bukanlah hukum epistemik universal, melainkan hasil konstruksi historis dari model sains modern. Model ini lahir dari pengalaman sosial-politik yang sangat spesifik: dominasi kolonial, rasionalisasi institusi, dan industrialisasi yang menuntut pengukuran, prediksi, serta standarisasi. Ketika prinsip-prinsip tersebut digunakan untuk menilai bentuk pengetahuan lain, maka pengetahuan setempat tidak pernah benar-benar diberi kesempatan untuk dinilai dari dalam logikanya sendiri. Pengetahuan setempat diadili dengan hukum epistemik asing yang tidak mengakui nilai bentuk pengetahuannya sendiri.
Klaim bahwa pengetahuan yang kontekstual dan situasional bersifat “tertutup” terhadap verifikasi lintas-subjektif juga memuat ironi yang mendalam. Sebab, justru pengetahuan setempat tidak pernah mengklaim dirinya universal. Pengetahuan setempat, tidak pernah berambisi mengajukan diri sebagai pengetahuan yang dapat menjelaskan segalanya, di mana saja dan kapan saja. Sebaliknya, mengakui keterbatasannya sebagai bentuk kebijaksanaan setempat, sebagai pengetahuan yang tumbuh dari perhatian mendalam terhadap situasi konkret. Kritik dari ilmu seringkali menyamakan keterbatasan dengan kelemahan, padahal dalam tradisi pengetahuan setempat, keterbatasan adalah bentuk kehati-hatian epistemik. Agar tidak melompat untuk membuat klaim besar, melainkan berakar untuk memahami dengan benar di dalam dunia yang dialami.
Lebih dari itu, kritik terhadap kontekstualitas menyiratkan bahwa nilai tertinggi dari pengetahuan adalah kemampuannya untuk dipindahkan. Namun apakah kemampuan untuk dipindahkan selalu menandai superioritas epistemik? Pengetahuan yang kontekstual tidak dapat dipindahkan bukan karena cacat, tetapi karena berakar dalam relasi yang tidak bisa diceraikan dari tubuh, tempat, bahasa, ritme ekologis, dan sejarah komunitas. Jika dicabut dari “tanah kelahirannya”, maka yang tertinggal hanya “kerangka kosong”. Pengetahuan setempat tidak anti-universal karena tak mampu melampaui tempat, tetapi karena sadar bahwa tidak semua makna perlu atau pantas untuk dilepaskan dari dunia yang melahirkannya.
Asumsi bahwa generalisasi adalah tujuan epistemik tertinggi juga layak dikritik. Generalisasi sering kali dilakukan dengan jalan abstraksi yang ekstrem, yang menyingkirkan nuansa, suara minor, dan perbedaan kecil yang dianggap “tidak signifikan”. Pengetahuan setempat menolak itu bukan karena tidak sanggup merumuskan prinsip, tetapi karena sepenuhnya menyadari bahwa dalam hidup yang dialami, perbedaan kecil justru menentukan. Musim yang bergeser seminggu, arah angin yang sedikit berubah, warna langit yang tidak seperti biasa. Semuanya memiliki arti. Kontekstualitas bukanlah kelemahan sebagaimana ilmu melihatnya, melainkan suatu kepekaan terhadap kompleksitas dunia yang tidak bisa dijinakkan oleh “model matematis” atau logika simbolik.
Tuduhan bahwa situasionalitas mencegah kemajuan karena tidak memungkinkan prediksi dan pengulangan juga mengandaikan definisi kemajuan yang sempit: kemajuan sebagai kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur. Pengetahuan setempat tidak mempersiapkan dirinya untuk menguasai dunia, tetapi untuk menyesuaikan diri dengannya dengan cara yang etis dan berkelanjutan. Situasionalitas bukan bentuk ketidakpastian, melainkan pengakuan terhadap perubahan sebagai keniscayaan hidup. Dunia tidak stabil, dan pengetahuan setempat tidak menganggap stabilitas sebagai syarat utama validitas, melainkan kesiagaan untuk terus membaca tanda-tanda pergeseran dengan cara yang sensitif dan cermat, melalui pertiwa mengalami.
Kritik ilmu terhadap kontekstualitas juga menyiratkan bahwa satu-satunya bentuk rasionalitas yang sah adalah rasionalitas proposisional dan diskursif. Ini mengabaikan bentuk rasionalitas lain yang bersifat implisit, menubuh, dan “timbul”, yakni pengetahuan yang tidak diungkapkan secara eksplisit, tetapi ditanam dalam kebiasaan (keseharian), gerakan, dan respon intuitif terhadap situasi. Dalam banyak komunitas setempat, cara tahu tidak selalu diformulasikan dalam bahasa eksplisit, tetapi diwujudkan dalam tindakan yang tepat pada saat yang tepat. Ini bukan bentuk irasionalitas, tetapi rasionalitas yang telah “menyatu” dalam tubuh dan ruang hidup. Mengukurnya dengan standar proposisional adalah jalan gagal untuk mengerti struktur epistemiknya.
Sekali lagi, klaim bahwa kontekstualitas menghambat komunikasi lintas budaya patut dibalik: justru universalisme epistemik yang menutup kemungkinan percakapan yang sejati. Ketika satu bentuk pengetahuan memaksakan syarat objektivitas dan generalisasi sebagai syarat masuk ke ruang wacana, maka semua bentuk pengetahuan lain tidak diberi kesempatan untuk berbicara dengan bahasanya sendiri. Dialog yang sejati menuntut pengakuan terhadap bentuk keberlakuan yang berbeda-beda, dan itu hanya mungkin jika kita bersedia mendengarkan bukan dengan niat untuk mengukur, atau bahkan memvalidasi, tetapi untuk memahami dengan respek.
Dengan demikian, kritik balik atas kritik ilmu terhadap kontekstualitas pengetahuan setempat menunjukkan bahwa klaim universalisme, objektivitas, dan generalisasi bukan prinsip epistemik netral, melainkan hasil konstruksi historis yang membawa serta asumsi, kepentingan, dan struktur kuasa tertentu. Pengetahuan setempat tidak perlu tunduk pada itu untuk menjadi sahih. Pengetahuan setempat akan tetap sah, karena bekerja, karena menjaga, karena hidup, dan karena setia pada dunia yang melahirkannya. Dalam kesetiaan itu, pengetahuan setempat dapat menemukan bentuk validitasnya sendiri. Suatu validitas yang tidak memerlukan izin dari luar untuk disebut sebagai pengetahuan.
Z:
Dalam perdebatan mengenai sifat kontekstual dan situasional pengetahuan setempat, dua posisi epistemologis telah saling mengemukakan kritik. Pada satu sisi, paradigma ilmu pengetahuan modern mempertanyakan validitas epistemik pengetahuan yang tidak dapat diuji secara universal. Di sisi lain, pengetahuan setempat mengungkap adanya “bias” dan dominasi dari klaim objektivitas yang menjadi tulang punggung ilmu modern. Kedua posisi ini tampil dengan keyakinan yang relatif utuh: ilmu menuntut keterbukaan terhadap verifikasi lintas-konteks, sementara pengetahuan setempat menegaskan kesetiaannya pada pengalaman yang terikat ruang dan waktu. Namun ketika dua cara tahu ini beradu secara “berhadap-hadapan”, apa yang dipertaruhkan bukan hanya soal validitas epistemik, melainkan juga cara kita memaknai pengetahuan itu sendiri. Barangkali disinilah perlunya kemampuan untuk melihat keduanya secara berjarak, namun bukan sebagai penengah netral, melainkan sebagai pembaca reflektif yang mencoba menyelami substansi dari kedua sisi, menyaring kebenaran masing-masing, dan mungkin juga menawarkan arah yang lebih lentur dan produktif.
Posisi pertama, yakni kritik dari paradigma ilmu pengetahuan, menyoroti bahwa pengetahuan yang tidak dapat melampaui konteksnya sendiri rawan jatuh ke dalam relativisme. Pengetahuan menjadi sulit diverifikasi, tidak mudah diuji oleh orang lain yang tidak hidup dalam konteks yang sama, dan karenanya sulit digunakan sebagai dasar pertukaran pengetahuan dalam skala luas. Sains, dalam logika ini, harus dibaca dengan jernih sebagai bukan hendak menolak kesetempatan sebagai sumber data atau inspirasi, tetapi hanya menganggapnya sah sebagai pengetahuan jika dapat diabstraksikan, digeneralisasi, dan disistematiskan ke dalam hukum atau prinsip yang berlaku secara trans-setempat. Dalam tradisi inilah generalisasi menjadi bukti kekuatan epistemik, dan kemampuan untuk dilepaskan dari tempat asal menjadi ukuran keterpakaiannya. Kritik ini menegaskan bahwa tanpa mekanisme semacam itu, pengetahuan akan terperangkap dalam “tertutup”, terisolasi dari percakapan rasional global.
Jika dibaca kembali, kritik balik dari pengetahuan setempat telah dengan jernih menunjukkan bahwa syarat-syarat tersebut tidak netral. Objektivitas dan universalisme yang dijadikan standar dalam sains modern bukanlah prinsip epistemik murni, tetapi bentuk historis dari cara tahu yang terbentuk dalam kondisi sosial dan politik tertentu: kolonialisme, industrialisasi, dan proyek modernitas. Oleh karena itu, permintaan agar pengetahuan setempat membuktikan dirinya di hadapan standar ilmiah bukanlah bentuk dialog terbuka, melainkan ekspresi kekuasaan epistemik yang menyamar sebagai metodologi. Dalam kerangka ini, kontekstualitas bukanlah kelemahan, melainkan bentuk epistemik yang sah: pengetahuan yang tidak berpura-pura melampaui batas, tetapi setia pada dunia yang dialami secara konkret. Dan dalam kesetiaan itu, pengetahuan setempat justru tengah menjaga keberlanjutan, kedalaman, dan kesesuaian hidup.
Jelas tampak bahwa kedua posisi ini memegang kebenarannya masing-masing. Namun, jika ditinjau dengan cara berbeda, keduanya (dalam batas tertentu) juga menunjukkan keterbatasan, terutama bila dilihat dari luar oposisi biner yang mereka bentuk. Di sinilah kita perlu mengambil sikap reflektif. Sebagai pihak yang tidak serta-merta membenarkan satu sisi sambil menolak yang lain, melainkan berusaha membaca keduanya sebagai mode epistemik yang berbeda, yang masing-masing memiliki logika, tujuan, dan validitasnya sendiri. Namun lebih dari itu, juga menyadari bahwa yang dipertaruhkan dalam perdebatan ini bukan hanya apa yang kita sebut “pengetahuan”, tetapi juga bagaimana kita ingin hidup dalam dunia yang terus berubah. Maka kritik reflektif kita bukan hanya evaluasi logis, tetapi juga tindakan etis: upaya untuk menjaga percakapan tetap terbuka, untuk mencegah epistemologi menjadi dogma baru, entah dalam bentuk modernisme yang hegemonik atau dalam bentuk kesetempatan yang tertutup.
Kita berpandangan bahwa keterbukaan terhadap perbandingan lintas konteks adalah syarat penting dalam membangun dialog epistemik global. Dunia yang saling terhubung tidak dapat bertahan hanya dengan sistem pengetahuan yang saling terasing. Tetapi kita harus menyadari bahwa agar dialog bermakna, semua pihak harus diizinkan untuk berbicara dengan cara mereka sendiri, dan tidak dipaksa menggunakan bahasa epistemik yang telah ditentukan oleh satu sistem dominan. Artinya, validitas lintas konteks tidak harus dibangun melalui reduksi ke dalam bentuk universalitas, tetapi dapat dimungkinkan melalui penerjemahan yang setara, yaitu penerjemahan yang menghormati bentuk keberlakuan yang khas tanpa memaksakan transformasi bentuk.
Pada titik inilah kita mengusulkan suatu pembacaan bahwa kontekstualitas bukanlah penolakan terhadap komunikasi lintas budaya, tetapi bentuk kesiagaan epistemik. Yang kita pahami pengetahuan setempat tidak menolak berbagi, tetapi mengharapkan agar dalam proses “berbagi” tidak lantas berarti penghapusan asal-usul. Justru karena kontekstual, pengetahuan setempat dapat menjadi sumber inovasi etis dan ekologis yang tidak tersedia dalam sistem pengetahuan modern. Namun agar hal ini terjadi, pengetahuan setempat juga tidak boleh terjebak dalam logika resistensi yang esensialis. Bagi kita pengetahuan setempat juga perlu menyadari bahwa konteks tidak hanya mengikat, tetapi juga bergerak, bahwa situasi pun berubah, dan bahwa pengetahuan yang hidup adalah pengetahuan yang mampu beradaptasi tanpa kehilangan integritasnya.
Di pihak lain, kita juga dapat meminta kepada sains untuk merefleksikan ulang klaim-klaim objektivitasnya. Dalam menghadapi krisis iklim, ketimpangan sosial, dan alienasi teknologi, model ilmu pengetahuan yang terlalu jauh dari konteks konkret kehidupan manusia yang kini terus dipertanyakan efektivitasnya. Di sinilah sains mungkin perlu belajar dari pengetahuan yang kontekstual: tentang keterbatasan, tentang kebijaksanaan, dan tentang cara untuk tidak menguasai dunia, melainkan hidup bersama dunia. Ini bukan panggilan untuk membuang sains, tetapi untuk membuka ruang dalam epistemologi ilmiah untuk bentuk-bentuk kebenaran yang tidak bisa diabstraksikan sepenuhnya, tetapi yang tetap penting dan bahkan mendesak.
Dalam terang itu, kita mengambil posisi, bukan suatu bentuk posisi netral, tetapi posisi reflektif yang berusaha menyingkap dikotomi epistemik yang sering kali membekukan percakapan. Kontekstualitas dan generalisasi, partikularitas dan objektivitas, keterikatan dan keterlepasan — semua ini bukan lawan mutlak, tetapi dua sisi dari proses tahu yang lebih luas. Pengetahuan yang bijak bukan yang memilih salah satu secara mutlak, melainkan yang mampu mengayakan bentuk keberlakuannya sambil tetap menjaga arah dan makna hidup. Dalam dunia seperti itu, pengetahuan setempat tidak harus “menjadi sains”, dan sains tidak harus menghapus kesetempatan. Keduanya hanya perlu belajar untuk mendengarkan, bukan demi menyamakan, tetapi demi memperluas kemungkinan memahami bersama. [Desanomia – 3.5.25 – TM]
One thought on “Dialog (3)”