sumber ilustrasi: unsplash
Oleh: Panji Dafa Amrtajaya
9 Mei 2025 14.00 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Sebagai seorang pemuda kota seperti saya, desa adalah opsi yang jauh dari saya untuk tinggal dan mencari makna kehidupan itu sendiri, awalnya. Kalau dihitung selama saya hidup di dunia, mungkin hanya kurang dari satu tahun saya hidup di lingkungan desa. Saya lebih terbiasa dengan hiruk-pikuk urban yang kerap dianggap sebagai simbol kemajuan. Kota memang menyediakan berbagai fasilitas, namun saya sebagai pemuda kota mengalami keresahan dan kegusaran yang mendalam akan kehidupan kota yang lambat laun mengalami penurunan kebahagiaan.
Pengalaman singkat tingggal di desa, meskipun tidak sampai satu tahun, membuka mata saya pada realitas lain yang terabaikan; kehidupan yang lebih tenang. Syahdan, saya jadi sering untuk bermain di desa untuk waktu yang lama, saya jadi lebih sering mengamati kehidupan masyarakat di desa dan mempelajari banyak hal bagaimana masyarakat desa menjalani hidupnya. Terkadang saya kerap melarikan diri ke desa untuk sekadar bernafas lega dan menyusun ulang prioritas hidup. Dalam proses tersebut, desa bukan hanya sebagai pelarian semata, melainkan menawarkan kemungkinan arah hidup yang baru. Sampailah pada satu kesimpulan bahwa desa adalah tempat yang tepat untuk saat ini bagi anak muda untuk tumbuh yang berkelanjutan, inklusif, dan bermakna.
Kota: Kemilau yang Memudar
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat melalui laman Satu Data Ketenagakerjaan Kemnaker jumlah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia sudah mencapai lebih dari 18.000 yaitu 18.610 orang per Februari 2025. Angka tersebut naik hampir 6 kali lipat bila dibandingkan dengan bulan Januari yang sebanyak 3.325 orang. Lonjakan PHK ini menunjukkan tekanan struktural dalam pasar kerja urban yang kian rapuh. Bersamaan dengan itu, daya beli masyarakat Indonesia terus menurun terutama di kalangan kelas menengah. Data menunjukkan deflasi selama 5 bulan berturut-turut (Mei-September 2024) dan dilanjut dua bulan awal 2025 (Januari-Februari) juga mengalami deflasi. Hal ini disinyalir karena adanya oversupply sejumlah komoditas primer seperti telur dan minyak goreng. Oversupply terjadi karena produk tersebut tidak sepenuhnya terserap oleh pasar, sehingga menyebabkan penurunan harga yang signifikan. Bila daya beli melemah, transaksi ekonomi berkurang, dan produsen kesulitan menjual barangnya, yang pada akhirnya dapat menyebabkan pengurangan produksi sehingga terjadilah PHK.
Hal ini juga tercemin dalam Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Januari 2025 mengalami penurunan 0,4 persen secara month-to-month. Secara historis, periode Januari pada tahun 2022 hingga 2024 umumnya ditandai dengan peningkatan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) seiring optimisme masyarakat di awal tahun. Namun, pada Februari 2025, terjadi pelemahan signifikan dalam kepercayaan konsumen. Data lain juga menunjukkan terjadi penurunan Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Januari 2025 yang hanya mencapai 211,5, lebih rendah dibandingkan capaian Desember 2024 sebesar 222. Semakin menegaskan bahwa transasi ritel mengalami pelemahan dan penurun daya beli masyarakat yang diprediksi terus terjadi sepanjang tahun ini (Nurdiansyarani, 2025).
Degradasi moralitas dan kejenuhan hidup perkotaan menimbulkan fenomena urbanisasi terbalik. Tekanan dari rutinitas yang monoton, kualitas udara yang memburuk, kemacetan yang melelahkan serta tingkat kejenuhan yang tiggi membuat banyak masyarakat kota mulai melihat desa sebagai tempat yang menawarkan ketenangan dan gaya hidup yang lebih sehat. Mayoritas penduduk Indonesia kini tinggal di kota, namun desa tetap menjadi tempat yang menarik bagi mereka yang ingin melarikan diri dari tekanan urban.
Desa: Ruang Baru untuk Tumbuh dan Bertahan
Meskipun lebih dari 56% penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan (BPS, 2020), desa mulai menarik perhatian sebagai tempat alternatif untuk membangun kehidupan yang lebih seimbang. Potensi desa yang selama ini kurang diperhatikan, mulai dari lahan pertanian, sumber daya air, energi terbarukan, hingga kekayaan budaya lokal, menjadi sumber daya strategis yang dapat mendukung kehidupan berkelanjutan. Urbanisasi yang selama ini ditopang oleh narasi kemajuan ekonomi, pada kenyataannya menciptakan ketimpangan antara pusat dan pinggiran.
Desa, yang dianggap tidak menawarkan banyak peluang, justru memiliki modal alam dan sosial yang sangat kuat jika dikembangkan secara tepat. Dalam konteks ini, pendekatan pembangunan berbasis lokal (local-based development) menjadi sangat relevan untuk mendorong transformasi desa. Akses terhadap teknologi digital, pelatihan kewirausahaan, serta infrastruktur dasar yang memadai dapat membuka peluang baru bagi anak muda untuk berkarya di desa tanpa harus kehilangan konektivitas global.
Paradoks antara Sumber Daya Desa dan Daya Tarik Kota
Desa memiliki sumber daya alam yang melimpah, seperti air, lahan, dan pangan, banyak masyarakat memilih untuk pindah ke kota. Hal ini menunjukkan adanya paradoks antara potensi sumber daya desa dan daya tarik kota. Menurut Lee (1966), migrasi adalah hasil dari interaksi antara faktor pendorong dan penarik. Dalam konteks ini, meskipun desa menawarkan sumber daya alam, faktor pendorong di desa dan faktor penarik di kota lebih kuat mempengaruhi keputusan migrasi.
Untuk memahami fenomena ini, pendekatan teori Push-Pull Migration yang dikembangkan oleh Everett S. Lee (1966) dapat dijadikan kerangka konseptual. Teori ini menjelaskan bahwa migrasi terjadi karena adanya kombinasi antara faktor pendorong (push) dari tempat asal dan faktor penarik (pull) dari tempat tujuan. Dalam konteks Indonesia, migrasi dari desa ke kota tidak hanya dipicu oleh daya tarik kota, tetapi juga oleh tekanan dan keterbatasan yang ada di desa.
Faktor pendorong yang paling mencolok di desa adalah keterbatasan lapangan kerja, terutama di luar sektor pertanian. Di banyak wilayah perdesaan, kegiatan ekonomi masih bergantung pada pertanian subsisten yang pendapatannya relatif rendah dan tidak stabil. Hal ini mendorong masyarakat usia produktif untuk mencari pekerjaan di kota, yang dinilai lebih menjanjikan secara finansial (BPS, 2023). Selain itu, minimnya akses terhadap fasilitas pendidikan dan kesehatan di desa memperkuat alasan keluarga untuk berpindah ke kota demi mendapatkan layanan publik yang lebih baik.
Di sisi lain, faktor penarik kota menjadi alasan kuat mengapa masyarakat memilih menetap di wilayah urban. Kota dianggap sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, tempat berbagai jenis pekerjaan tersedia, baik di sektor formal maupun informal. Urbanisasi juga sering diasosiasikan dengan mobilitas sosial yang lebih besar, peluang pendidikan tinggi, serta akses yang lebih luas terhadap teknologi dan informasi (Firman, 2017). Gaya hidup modern yang melekat pada kehidupan perkotaan memberikan daya tarik tersendiri, terutama bagi generasi muda yang menginginkan kemandirian dan aktualisasi diri.
Demikian juga, realitas kota tidak selalu sesuai dengan harapan. Kota-kota besar di Indonesia kini dihadapkan pada berbagai persoalan serius seperti kemacetan, padatnya pemukiman, meningkatnya kriminalitas, serta pencemaran lingkungan yang memburuk setiap tahunnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat di kota tidak diimbangi oleh pembangunan infrastruktur yang memadai, yang pada akhirnya justru menciptakan permasalahan sosial baru. Meski demikian, tekanan hidup di kota belum cukup kuat untuk mendorong arus balik migrasi ke desa (urbanisasi terbalik), karena desa masih belum mampu memberikan jaminan kesejahteraan yang setara.
Paradoks ini menegaskan bahwa meskipun desa memiliki keunggulan ekologis dan potensi sumber daya lokal, daya tarik kota tetap lebih besar karena berkaitan langsung dengan kebutuhan dasar manusia: penghidupan yang layak dan mobilitas sosial. Dalam kerangka teori Lee, kekuatan faktor “pull” kota lebih dominan daripada “push” dari desa. Ini menandakan bahwa kebijakan pembangunan di Indonesia masih belum cukup untuk membalikkan tren urbanisasi atau menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan baru yang menarik. Namun kenyataan menunjukkan bahwa kota menghadapi beban sosial dan ekonomi yang semakin nyata; biaya hidup tinggi, tekanan kompetitif yang ekstrem, dan alienasi sosial. Sebaliknya, desa mulai menawarkan gaya hidup yang lebih manusiawi, murah, dan dekat dengan nilai-nilai kolektivitas. Dalam konteks ini, fenomena urbanisasi terbalik—kembalinya penduduk kota ke desa—menjadi tren yang patut diperhatikan. Dengan kebijakan yang tepat, perpindahan ini bisa menjadi solusi strategis untuk pemerataan pembangunan dan penguatan ekonomi nasional.
Menelisik Fenomena Kwichon di Korea Selatan
Selama beberapa dekade terakhir, Korea Selatan telah menjadi saksi urbanisasi yang sangat signifikan, yang telah mengkonsentrasikan pertumbuhan ekonomi, pendidikan, dan aspek sosial di area perkotaan, terutama di kota besar seperti Seoul, Busan, dan Incheon. Namun, belakangan ini muncul perubahan dalam tren migrasi yang menarik perhatian para ahli sosial, yaitu fenomena kwichon, di mana banyak penduduk, terutama generasi muda, kembali ke desa setelah tinggal di kota. Fenomena ini semakin terasa, terutama pasca-pandemi COVID-19, yang membuat individu mulai menilai kembali nilai-nilai dan gaya hidup mereka.
Dalam konteks teori migrasi Push-Pull yang diperkenalkan oleh Everett Lee pada tahun 1966, pergerakan migrasi terjadi akibat adanya elemen pendorong di tempat asal serta elemen penarik di lokasi tujuan. Kota-kota besar di Korea Selatan terkenal dengan tingginya biaya hidup, persaingan dalam mencari kerja, harga hunian yang selangit, dan tekanan sosial yang intens. Elemen-elemen inilah yang berfungsi sebagai faktor pendorong yang mendorong generasi muda untuk meninggalkan kota. Sebaliknya, desa-desa kini semakin dipandang sebagai tempat tinggal yang menarik, yang menawarkan lingkungan yang lebih baik, biaya hidup yang lebih terjangkau, dan kesempatan untuk menciptakan kehidupan yang lebih mandiri dan berkelanjutan—ini menjadi faktor penarik.
Pergerakan kwichon juga didorong oleh perubahan dalam struktur sosial dan kemajuan teknologi. Pandemi COVID-19 mempercepat penerapan kerja jarak jauh, sehingga banyak pekerjaan dapat dilakukan tanpa terikat pada lokasi tertentu. Hal ini memberikan kesempatan bagi banyak orang untuk menetap di desa sambil tetap menjalankan profesi mereka. Selain itu, keinginan untuk lebih dekat dengan alam, menghasilkan makanan sendiri, serta mencari keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan juga semakin memperkuat niat generasi muda untuk pindah ke desa. Studi yang dikembangkan oleh Choi dan Rhee (2022) mengungkapkan bahwa mayoritas migran muda urban-to-rural di Korea Selatan merasakan peningkatan kualitas hidup, meskipun menghadapi tantangan adaptasi budaya dan sosial.
Pemerintah Korea Selatan pun mendukung perkembangan ini melalui berbagai kebijakan. Melalui program Kembalinya Ke Pedesaan, pemerintah memberikan insentif berupa pelatihan dalam pertanian modern, dukungan modal usaha, dan pengembangan infrastruktur digital bagi warga kota yang ingin tinggal di desa. Bahkan, beberapa daerah menawarkan hunian dengan harga terjangkau atau sewa yang rendah untuk menarik penduduk baru. Upaya ini bertujuan untuk mengatasi masalah demografi di desa, yang selama ini didominasi oleh populasi usia lanjut dan mengalami penurunan jumlah penduduk secara drastis (Kang, 2021).
Meskipun fenomena ini membawa banyak manfaat, seperti revitalisasi pedesaan, peningkatan ketahanan pangan, serta pemerataan pertumbuhan ekonomi, kwichon juga menghadapi berbagai tantangan. Perbedaan nilai dan gaya hidup antara penduduk lama dan pendatang baru kadang menimbulkan ketegangan sosial. Selain itu, tidak semua penduduk kota bisa beradaptasi dengan budaya dan ritme kehidupan desa yang sangat berbeda dari kehidupan urban. (Park, 2020)
Fenomena kwichon mencerminkan pergeseran dalam nilai sosial di Korea Selatan, di mana desa kini tidak lagi dianggap sebagai lambang kemunduran, melainkan sebagai tempat masa depan yang menawarkan kualitas hidup yang lebih baik. Dengan dukungan teknologi yang progresif dan kebijakan yang suportif, migrasi kembali ke desa memiliki potensi untuk menjadi strategi pembangunan yang berkelanjutan di tengah masalah urbanisasi dan ketimpangan wilayah. Pemerintah Indonesia dapat mengambil pelajaran dari fenomena ini, dengan menyesuaikan strategi pembangunan desa agar sesuai dengan konteks lokal.
Ekonomi Riil dan Kemandirian Desa
Dalam beberapa dekade terakhir, perekonomian global sangat bergantung pada kebijakan moneter dan fiskal, sementara sektor riil—khususnya di pedesaan—sering terabaikan. Namun, prediksi krisis perkotaan akibat inflasi, pengangguran, dan ketergantungan impor pangan mempertegas pentingnya ekonomi desa yang berbasis sumber daya alam (Bappenas, 2022). Lahan subur, ketersediaan air, energi terbarukan, dan produksi pangan lokal menjadi modal dasar bagi putaran ekonomi riil di luar sistem keuangan formal.
Putaran ekonomi riil di desa—melalui pemanfaatan sumber daya alam dan produksi berbasis lokal—dapat menjadi solusi alternatif dalam menghadapi ketidakpastian global. Pertama, Lahan pertanian dan hutan adalah aset utama desa. Kedua, ketersediaan air, ketersediaan air ini menjadi modal utama desa memproduksi pangan secara mandiri. Desa yang mandiri pangan dapat mengurangi ketergantungan pada kota, sekaligus menciptakan nilai ekonomi melalui penjualan surplus. Ketiga, potensi energi seperti energi mikrohidro, biogas, dan surya di pedesaan sangatlah besar. Misal seperti masyarakat di Desa Urutsewu, Boyolali sudah tak lagi menggunakan gas elpiji melainkan memanfaatkan biogas yang dihasilkan dari limbah produksi tahu dan kotoran sapi. Ekonomi riil desa berbasis lahan, air , energi, dan pangan menawarkan solusi berkelanjutan menghadapi krisis perkotaan, Dengan memperkuat sirkulasi ekonomi lokal seperti koperasi, jika dikelola secara transparan dan profesional, desa akan jadi contoh praktik ekonomi yang inklusi dan berkelanjutan.
Individualisme Kota vs Komunalisme Desa
Perbedaan moralitas dan struktur modal sosial antara masyarakat kota (yang cenderung individualis) dan desa (yang bersifat komunal) memengaruhi pembangunan ekonomi berkelanjutan. Dengan menggunakan teori modal sosial Robert Putnam (1993), coretan ini menganalisis bagaimana jaringan sosial, norma timbal balik, dan kepercayaan (trust) di pedesaan menjadi pondasi ekonomi kolektif yang berkelanjutan, sementara individualisme perkotaan justru melemahkan ikatan sosial. Lebih lengkap, Putnam membedakan dua jenis modal social; Pertama, ikatan erat dalam kelompok homogen, Kedua, jaringan longgar antar kelompok heterogen. Di desa, bonding social capital mendorong adanya kolektivisme ekonomi seperti sistem bagi hasil pertanian. Selain itu juga meningkatkan partisipasi dalam pengambilan keputusan biasanya melalui musyawarah desa.
Di sisi lain, kota cenderung mengandalkan transaksi formal daripada kepercayaan antar pribadi dan kurang partisipasi dalam kegiatan sosial atau biasa disebut sebagai bowling alone sehingga menciptakan perilaku ketergantungan pada pasar karena minimnya sistem saling bantu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa modal sosial komunal desa dinilai lebih adaptif untuk pembangunan yang berkelanjutan dibandingan individualisme kota. Dengan mempertahankan bonding social capital, desa tidak hanya menjaga keberlanjutan ekologis tetapi juga menciptakan kolektivitas ekonomi.
Arah Baru Pemuda
Coretan ini saya pribadi sebagai penulis khususnya generasi muda, mengajak agar generasi muda mulai kembali ke desa sebagai arah hidup baru di tengah krisis yang dihadapi global. Jadikan kembali desa sebagai soko guru perekonomian negara; menjadi ruang strategis untuk membangun kehidupan yang berkelanjutan, bermakna dan kolektif. Melalui kekuatan potensi yang ada dan dengan ditopang sumber daya manusia dari kota ke desa maka terjadilah hubungan timbal balik saling menguntungkan.
Ditambah coretan ini juga ditujukan untuk pemerintah. Pemerintah memiliki peran yang sangat sentral untuk menciptakan ekosistem desa. Upayakan untuk membangun akses kemudahan untuk masyarakat desa, konektivitas antar desa dengan dukungan suprastruktur yang harus jadi perhatian pemerintah. Melewati upaya kolaborasi yang saling menopang, maka tak khayal, cita-cita kita bersama menjadikan desa sebagai soko guru perekonomian ini dapat terwujud dengan baik. Mari kita jadikan desa bukan hanya sebagai masa lalu, tetapi sebagai masa depan Indonesia yang lebih adil dan seimbang.
Daftar Pustaka
Bappenas. (2022). Laporan Ketahanan Ekonomi Desa. Jakarta: Kementerian PPN.
Badan Pusat Statistik. (2020). Sensus Penduduk 2020 (SP2020). BPS.
Badan Pusat Statistik. (2023). Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2023. BPS.
Choi, J., & Rhee, Y. (2022). Rural migration and sustainable living: Youth perspectives on life after COVID-19. Korean Journal of Social Research, 44(1), 88–103.
Firman, T. (2017). The urbanisation of Java, 2000–2010: Towards ‘the island of mega-urban regions’. Asian Population Studies, 13(1).
Kang, H. (2021). Revitalizing rural Korea: Policy approaches to counter urban concentration. Journal of Urban-Rural Studies, 39(2), 55–71.
Lee, E. S. (1966). A theory of migration. Demography, 3(1), 47–57.
Nurdiansyarani, R.E. (2025). Pakar ekonomi soroti deflasi tahunan 2025: Dampak perekonomian Indonesia. UNAIR. https://unair.ac.id/pakar-ekonomi-soroti-deflasi-tahunan-2025-dampak-perekonomian-indonesia/
Park, S. Y. (2020). The social integration challenges of urban-to-rural migrants in Korea. Rural Society & Culture, 31(4), 203–219.
Putnam, R. (1993). Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy. Princeton University Press.
Panji Dafa Amrtajaya
Pembelajar