Reformasi

Sumber ilustrasi: freepik

Oleh: Pandu Sagara
22 Mei 2025 15.10 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Apakah Angkatan baru dapat membayangkan secara persis apa yang terjadi pada negerinya 80 tahun yang silam? Apa yang terjadi 60 tahun yang silam? Dan apa yang terjadi pada lebih seperempat abad yang silam? Bagaimana yang telah lalu diberi makna? Apakah setiap pemaknaan bersifat netral? Mungkinkah cara pandang baru?

Dari Kolonial ke Nasional

Tentu untuk bisa mengerti secara persis, atau sekurang-kurangnya lebih memaami, apa yang terjadi pada periode 80 tahun yang silam, dibutuhkan studi khusus. Suatu usaha yang tidak mudah. Tidak saja karena bahan studi yang tidak lengkap, tetapi juga karena bahan yang ada, dapat dikatakan tidak sepenuhnya “netral”. Ada momen-momen tertentu yang tidak terungkap, atau ada momen yang diungkapkan berlebihan.

Sebagai contoh. Ada yang mengatakan bahwa yang bekerja di masa lalu, adalah mereka yang ada di panggung besar, atau di tribun, yakni para petinggi, para pesohor atau mereka yang masuk dalam ketegori elit. Pandangan tersebut, pada akhirnya bertemu dengan kenyataan lain, ketika studi mengenai keberadaan mereka yang ada di lapis bawah dalam kerangka perjuangan emansipasi nasional, terungkap. Adalah ternyata arus bawah memberikan kontribusi besar, dalam menggerakkan sejarah.

Contoh yang lain adalah pandangan bahwa setiap perubahan merupakan produk dari usaha yang terencana, sistematis dan terukur. Dalam pandangan ini, pemikiran demikian penting posisinya. Karena kualitas perubahan akan dilihat, tidak pertama-tama pada perubahan itu sendiri, melainkan pada seberapa cermat pikiran mendeteksi kemungkinan-kemungkinan  yang dapat terjadi. Hal ini yang mungkin dapat menjelaskan mengapa sempat muncul “perdebatan” tentang “siap lebih dahulu” baru merdeka, dan “Merdeka sekarang”.

Dan akhirnya, perubahan terjadi dengan sumbangan terbesar dari kenyataan. Mengapa disebut terbesar, karena gerak kenyataan memberikan ruang kesempatan, atau suatu celah sejarah, yang membuat kemerdekaan menjadi mungkin. Apa yang disebut kemungkinan, adalah tindakan sejarah yang diambil oleh mereka yang terlibat di medan perubahan. Hasilnya adalah perubahan dari kekuasaan kolonial kepada kekuasaan nasional.

Apa yang paling diharapkan sebelum perubahan itu terjadi? Tiada lain dari segala yang berlangsung dan terselenggara di bawah kekuasaan kolonial tidak boleh terjadi lagi. Dan segala posisi yang semula ada dalam kendali penguasaan kolonial, dapat digantikan dengan elemen nasional. Perubahan dengan demikian bermakna kongkrit sebagai mengeksklusi penguasaan kolonial, dan seluruh manifestasinya.

Demokrasi Terpimpin ke Pembangunan

Setelah kemerdekaan, ada keinginan besar untuk sesegera mungkin mentransformasikan realitas. Namun, upaya tersebut membutuhkan beberapa hal pokok: (1) suatu kebebasan penuh, terutama dalam kerangka politik internasional. Masih ada tekanan dari luar, terutama oleh kenyataan bahwa yang kolonial masih berusaha menemukan cara untuk masuk kembali. Tekanan politik, sebagaimana nampak dalam sejumlah perundingan; dan (2) tekanan militer, lewat agresi, memperlihatkan bahwa ruang kesempatan untuk merealisasikan kemerdekaan, masih belum sepenuhnya tersedia. Hingga akhirnya pada akhir 1950an, setelah pengakuan kedaulatan, diperoleh situasi yang relatif lebih kondusif jika dilihat dari sudut tekanan luar. Akan tetapi hal ini tidak menutup dinamika internal, yang dalam banyak segi, mengurangi keleluasaan untuk mewujudkan ruang kemerdekaan yang berhasil direbut.

Pemilu yang berjalan pada medio 1950an, pada satu sisi menambah legitimasi keberadaan negara, yang baru berusia satu dasawarsa, namun di sisi lain, justru “meningkatkan” kompetisi di kalangan kekuatan-kekuatan sosial-politik. Apa yang terjadi di konstituante, secara jelas memperlihatkan bagaimana kompetisi berlangsung. Sebagian tentu melihat hal ini merupakan bagian dari kesehatan demokrasi. Sebagian yang lain justru sebaliknya, yakni menganggap keadaan tersebut justru menguras tenaga bangsa. Dua pandangan ini, diam-diam berkompetisi, dengan caranya masing-masing. Sampai akhirnya terjadi, momen yang sangat bersejarah, yakni terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Konstituente hasil pemilu dibubarkan, teks UUD kembali kepada teks UUD ’45, dan akhirnya terjadi penataan seluruh perangkat pemerintahan. Dan lebih penting lagi, bahwa untuk mewujudkan keinginan menyegerakan perubahan, diambil jalan dengan mengkonsolidasikan sekuruh kekuatan melalui garis politik Demokrasi Terpimpin.

Dalam hal membentuk kekuatan politik yang mengawal atau menyokong keberadaan dan kerja dari pemerintahan, telah berlangsung dengan sangat baik. Boleh dikatakan seluruh kekuatan terkonsolidasi dengan efektif. Hal yang nampaknya tidak dapat dikonsolidasi kekuatan politik resmi adalah kenyataan. Hal yang tidak terhindarkan adalah kinerja pembangunan yang tidak sebagaimana yang diharapkan. Ada jarak antara teks (rencana) dan kenyataan yang terselenggara. Kesulitan ekonomi menekan rakyat kebanyakan. Bahkan inflasi sangat tinggi, nilai uang merosot, barang kebutuhan sulit ditemukan, dan konflik sosial di lapis bahwa terjadi sangat intens. Sebagian mengatakan bahwa porsi politik sangat besar. Akibatnya rasa tidak suka pada politik makin mendalam, dan akibatnya ketidakpercayaan telah menjadi bagian dari kenyataan itu sendiri. Akhirnya, waktu tiba, peralihan terjadi. Secara sederhana peralihan dari poltik ke ekonomi. Politik hendak diakhiri, dan ekonomi dibangunkan.

Selama tiga dasawarsa politik dieksklusi dari arena. Sebagian melihat bahwa proyek tersebut berhasil melalui depolitisasi. Pendekatan keamanan diletakkan di pintu gerbang. Sebagai penjaga untuk memastikan pembangunan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pada akhirnya, pembangunan melahirkan apa yang mungkin tidak diharapkannya, yakni anak-anak pembangunan yang mampu melihat dengan terang, bahwa apa yang berlangsung tidak sepenuhnya berisi hal-hal baik. Masalah-masalah mulai muncul. Dan soalnya, sebagaimana periode sebelumnya, kenyataan adalah hal yang tidak sepenuhnya dapat diatur dan dikendalikan oleh yang berkuasa. Akhirnya, kenyataan melawan dengan cara menyingkap yang ditutupi.

Reformasi

Reformasi adalah momentum historis yang tidak hanya mengubah lanskap kelembagaan dan hukum, tetapi juga membentuk ulang kesadaran kolektif masyarakat tentang hak, kewajiban, serta peran negara. Reformasi 1998 menjadi tonggak penting yang membawa perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan, termasuk amandemen UUD 1945, penguatan prinsip demokrasi, dan keterbukaan informasi publik. Namun, dua dekade lebih sejak reformasi itu digulirkan, muncul pertanyaan kritis: apakah reformasi telah berhasil?

Pertanyaan ini seringkali dijawab dengan nada pesimistis, dan dinyatakan bahwa reformasi telah gagal mewujudkan cita-cita keadilan sosial, pemerintahan yang bersih, dan demokrasi substansial. Apakah cara berpikir ini satu-satunya cara berpikir yang sah untuk menilai hasil-hasil reformasi? Jika kita menganut demokrasi pemikiran, maka tentu ragam cara pandang akan terbuka untuk digunakan. Artinya, bahwa cara pandang yang melihat bahwa reformasi belum menghasilkan perubahan sebagaimana yang diharapkan adalah pandangan yang sah. Sebaliknya, pandangan di luar itu, juga dimungkinkan, sepanjang memang bukan pandangan yang dimaksudkan mengkhianati reformasi itu sendiri.

Dalam pandangan lain, apa yang sangat mungkin diabaikan adalah bahwa reformasi bukan hanya sebuah proses perubahan, tetapi sebuah penciptaan realitas baru. Dalam realitas baru inilah, kebutuhan dan harapan masyarakat mengalami transformasi yang tidak hanya meningkat secara kuantitatif, tetapi juga semakin kompleks secara kualitatif. Jika pada awal reformasi, tuntutan masyarakat terfokus pada penghapusan praktik otoritarianisme, desentralisasi kekuasaan, serta jaminan atas kebebasan berpendapat dan berserikat. Ketika tuntutan-tuntutan tersebut mulai terpenuhi melalui pembentukan lembaga-lembaga independen, pemilu yang bebas dan adil, serta kebebasan media, maka masyarakat pun mulai memasuki fase ekspektasi baru: mereka mulai menuntut pemerintahan yang tidak hanya demokratis secara prosedural, tetapi juga efektif, inklusif, dan responsif terhadap kebutuhan riil.

Perubahan ekspektasi ini adalah gejala yang lumrah dalam proses transisi politik. Ketika masyarakat mengalami peningkatan kesadaran akan hak-haknya, standar mereka terhadap negara pun ikut meningkat. Jika pada masa lalu masyarakat puas dengan kebebasan berbicara, kini mereka menuntut transparansi anggaran, partisipasi bermakna dalam perumusan kebijakan, serta hasil nyata dalam pengentasan kemiskinan dan pengurangan ketimpangan. Yang ironis adalah ketika reformasi justru dinilai gagal hanya karena tidak segera mampu memenuhi seluruh ekspektasi baru tersebut. Dalam logika ini, keberhasilan awal reformasi malah menjadi dasar untuk menghakiminya secara lebih keras.

Paradoks ini mencerminkan problem yang lebih dalam: ketidaksiapan dalam mengelola realitas baru pasca-reformasi. Pemerintah, elite politik, dan bahkan masyarakat sipil seringkali terjebak dalam euforia awal perubahan tanpa strategi jangka panjang untuk membangun kapasitas negara dan masyarakat secara berkelanjutan. Akibatnya, ketika ekspektasi meningkat tetapi kemampuan institusional negara belum sepenuhnya pulih atau berkembang, muncullah kesenjangan yang menciptakan rasa kecewa. Lebih jauh, rasa kecewa ini bisa berubah menjadi apatisme, sinisme, atau bahkan nostalgia terhadap masa lalu yang dianggap lebih stabil, meskipun tidak demokratis.

Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa penilaian terhadap keberhasilan reformasi tidak bisa semata-mata berbasis pada hasil akhir yang ideal. Akan tetapi juga perlu dibuka kemungkinan bagi cara pandang yang menempatkan reformasi sebagai proses bertahap yang terus bergerak di antara harapan dan kenyataan. Reformasi bukan proyek sesaat, tetapi sebuah proses panjang pembelajaran kolektif yang tak jarang penuh kontradiksi dan kemunduran sementara. Bahkan, apa yang tampak sebagai kemunduran pun bisa menjadi bagian dari koreksi dan penyeimbangan ulang sistem demokrasi yang dinamis.

Oleh karena itu, refleksi kritis terhadap reformasi harus diarahkan bukan untuk menegaskan kegagalannya, tetapi untuk membaca ulang dinamika harapan dan ekspektasi yang menyertainya. Reformasi perlu dinilai dalam konteks historisnya, dengan mempertimbangkan kompleksitas sosial-politik yang terus berkembang. Reformasi juga menuntut keberlanjutan dalam bentuk reformasi lanjutan, baik dalam sistem hukum, birokrasi, maupun budaya politik masyarakat.

Dalam kerangka ini, justru ketika masyarakat semakin kritis dan menuntut lebih banyak dari negara, itu bisa dibaca sebagai indikasi bahwa reformasi telah berhasil dalam satu aspek fundamental: membangkitkan kesadaran warga negara bahwa mereka adalah subjek politik yang sah, bukan sekadar objek kekuasaan. Ekspektasi yang tinggi bukan tanda kegagalan, melainkan tanda kehidupan politik yang lebih aktif dan sadar.

Namun demikian, harapan yang tidak dikelola dengan baik juga bisa berubah menjadi beban yang menggerus legitimasi sistem. Di sinilah pentingnya kepemimpinan yang mampu menjembatani antara kapasitas dan ekspektasi, antara idealisme dan realitas, antara tuntutan dan kemampuan. Jika tidak, maka reformasi akan terus terombang-ambing dalam penilaian yang tidak adil, dihargai ketika berhasil memenuhi harapan lama, tetapi disalahkan karena belum sanggup menjawab harapan yang baru.

Dalam sudut pandang ini, memahami reformasi sebagai pembentuk realitas baru adalah langkah awal menuju pemahaman yang lebih utuh dan adil terhadap proses perubahan sosial-politik. Reformasi bukanlah titik akhir, melainkan gerbang menuju serangkaian tantangan baru yang harus dihadapi dengan refleksi, strategi, dan kesabaran historis. Dalam kesadaran inilah, reformasi bisa terus dijaga nyalanya, bukan sebagai api yang padam, tetapi sebagai bara yang terus menyala dalam pergulatan demokrasi yang belum selesai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *