Sumber ilustrasi: pixabay
3 Juni 2025 15.25 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [03.6.2025] Kabar terbaru dari ekonomi Indonesia. Surplus neraca perdagangan Indonesia pada April 2025 tercatat hanya sekitar USD 160 juta jatuh ke level terendah dalam lima tahun terakhir, di tengah lonjakan impor yang signifikan. Data ini dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin (2/6), bersamaan dengan kabar bahwa inflasi domestik melambat pada bulan Mei.
Capaian tersebut jauh di bawah prediksi median analis Reuters sebesar USD 3,04 miliar, dan menjadi yang terkecil sejak April 2020. Untuk perbandingan, surplus pada bulan Maret sebelumnya tercatat sebesar USD 4,33 miliar, memperlihatkan kontraksi tajam dalam waktu satu bulan.
Indonesia, sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, telah mencatat surplus perdagangan bulanan secara konsisten selama lima tahun terakhir. Namun angka April menunjukkan bahwa momentum tersebut tengah menghadapi tekanan serius, terutama dari sisi impor yang melonjak.
Impor Indonesia naik sebesar 21,84% secara tahunan (YoY) menjadi USD 20,59 miliar, melampaui jauh prediksi analis sebesar 7,75%. Kenaikan paling signifikan tercatat pada barang modal, yang bisa mencerminkan peningkatan aktivitas produksi, namun juga menandakan peningkatan ketergantungan terhadap barang impor.
Sementara itu, ekspor Indonesia hanya naik 5,76% YoY menjadi USD 20,74 miliar, sesuai ekspektasi median survei. Namun ekspor produk pertambangan anjlok lebih dari 20%, terdampak langsung oleh penurunan harga batu bara global yang merupakan salah satu komoditas andalan ekspor nasional.
Pengiriman barang ke Amerika Serikat pada April mencapai USD 2,08 miliar, tetapi sebagian di antaranya terdampak oleh tarif 10% yang diberlakukan oleh Washington awal April. AS adalah mitra dagang utama Indonesia, dan Jakarta saat ini tengah bernegosiasi dengan Washington untuk meredakan ketegangan tarif, terutama menjelang pemberlakuan tarif tambahan pada Juli mendatang.
Kebijakan tarif ini merupakan bagian dari kebijakan proteksionis era Trump yang kembali memanas, dan memberi efek berantai ke mitra dagangnya — termasuk Indonesia.
Menurut ekonom Bank Central Asia (BCA), Barra Kukuh Mamia, lonjakan impor yang tak terduga sebagian besar berasal dari peningkatan pasokan barang dari China dan Singapura. Dirinya menilai bahwa lonjakan ini terkait disrupsi perdagangan global akibat kebijakan tarif AS terhadap China, yang berimbas pada re-routing ekspor China ke negara lain seperti Indonesia.
Akan tetapi Mamia menekankan bahwa dampak ini kemungkinan bersifat sementara, mengingat Presiden Trump telah menangguhkan tarif terhadap China pada bulan Mei lalu sehingga arus barang berpotensi kembali normal dalam bulan-bulan mendatang.
Di sisi lain, BPS juga mencatat bahwa inflasi tahunan Indonesia pada bulan Mei menurun menjadi 1,60%, dibandingkan 1,95% pada April. Angka ini lebih rendah dari prediksi pasar yang memperkirakan inflasi akan bertahan di kisaran 1,94%.
Inflasi inti pada bulan April juga tercatat 2,4%, sedikit lebih rendah dari proyeksi 2,5%. Angka ini masih berada dalam kisaran target Bank Indonesia (1,5%-3,5%), bahkan mendekati batas bawah, sehingga memberi ruang bagi pelonggaran moneter.
Faktor utama yang menahan inflasi tetap rendah adalah kenaikan produksi beras nasional. BPS memperkirakan produksi beras pada periode Januari–Juli akan mencapai 21,76 juta ton metrik, naik hampir 15% secara tahunan. Ini membantu menjaga harga pangan tetap stabil, meski harga barang impor meningkat. Sejak September 2024, Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga tiga kali, memanfaatkan kondisi inflasi yang terkendali untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Penurunan tajam surplus dagang Indonesia mencerminkan bahwa ekonomi global kini memasuki fase tekanan yang lebih tinggi, terutama akibat konflik dagang dan volatilitas harga komoditas. Ketergantungan Indonesia terhadap ekspor bahan mentah, seperti batu bara dan produk tambang, menjadi titik lemah yang sangat rentan terhadap fluktuasi pasar luar negeri.
Kenaikan impor yang besar bisa menjadi sinyal positif bila terjadi karena pertumbuhan permintaan domestik atau investasi. Namun dalam konteks saat ini, lonjakan tersebut justru dipicu oleh perpindahan rute perdagangan akibat ketegangan tarif AS–China, yang bisa saja bersifat temporer dan menimbulkan tekanan jangka pendek pada neraca transaksi berjalan Indonesia.
Kondisi ini menunjukkan bahwa proteksionisme masih menjadi ancaman nyata terhadap stabilitas perdagangan internasional, dan negara-negara berkembang seperti Indonesia berada di posisi yang lebih rentan. Ketika tarif dan kebijakan dagang besar diberlakukan sepihak oleh kekuatan ekonomi utama, negara-negara yang berada di jalur rantai pasok akan terkena dampak langsung maupun tidak langsung.
Untuk menghadapi ketidakpastian ini, Indonesia perlu mendorong diversifikasi ekspor, memperluas pasar non-tradisional, serta mempercepat hilirisasi industri agar tidak terus bergantung pada komoditas mentah. Selain itu, menjaga stabilitas inflasi dan mendorong permintaan domestik akan menjadi kunci untuk mempertahankan momentum pertumbuhan dalam jangka menengah. (NJD)
Sumber: Reuters