“Konservasi” Desa

Sumber ilustrasi: unsplash

5 Juni 2025 07.45 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Dalam suatu percakapan yang membahas “Desanisasi Kota” (edisi 30 Mei 2025), berkembang ide yang unik, namun berpotensi menimbulkan salah paham jika dilihat dari kosakata yang digunakan, yakni “konservasi” desa. Mengapa dianggap mudah mendatangkan salah mengerti? Tentu karena istilah ini pada kebanyakan dimaknai sebagai upaya untuk melestarikan atau melindungi sumber daya alam dan warisan budaya. Ini melibatkan tindakan untuk menjaga keanekaragaman hayati, habitat, dan nilai-nilai budaya agar tetap lestari untuk generasi mendatang.

Yang melihat dengan kacamata kritis, akan melihat bahwa ide tersebut bisa menyesatkan, karena dianggap menempatkan desa bukan sebagai komunitas, melainkan semata-mata sebagai obyek. Proyek ini malah bisa dipandang sebagai upaya mengeksklusi komunitas itu sendiri. Atau semacam pembatalan atas kenyataan dimana desa merupakan ruang hidup. Hal ini tidak lepas dari pandangan yang mengatakan setiap upaya konservasi adalah upaya “top down”. Suatu program yang sepenuhnya telah diatur dari atas, dan ketika datang ke bawah, telah merupakan “juknis” dengan indicatok kongkrit.

Pandangan yang demikian itu, tentu tidak dapat dibenarkan ketika diucapkan. Karena memang suatu kehati-hati dibutuhkan, mengingat apa yang disebut sebagai “kotanisasi” desa demikian nyata terasa. Penyeragaman berlangsung secara “sunyi”. Mulai dari produk harian yang sama, tokoh-toko yang sama, pakaian yang sama, kuliner yang relatif sama, dan berbagai hal lainnya. Akibatnya, yang disebut keunikan, makin lama makin sekedar narasi, yang tidak mudah dijumpai dalam kenyataan sehari-hari di desa. Bersikap kritis atas ide konservasi, merupakan keharusan.

Adapun ide konservasi itu sendiri, yang hendak diajukan adalah pandangan yang memahami konservasi desa sebagai sebuah pendekatan yang menempatkan desa sebagai subjek yang perlu dijaga keberlanjutannya, baik dari aspek ekologis, sosial, budaya, maupun ekonomi. Konsep ini, agar lebih mudah dipahami, mungkin langsung dikontraskan dengan “desa konservasi”. Akan dikatakan bahwa berbeda dengan istilah “desa konservasi” yang berorientasi pada peran desa sebagai penjaga kawasan konservasi formal, konservasi desa berangkat dari gagasan bahwa desa itu sendiri—dalam segenap dimensi kehidupannya—layak untuk dilindungi dari ancaman eksternal yang datang dari urbanisasi, industrialisasi, dan ekspansi kapital yang tidak terkendali.

Maksud dari konservasi desa bukanlah membekukan desa dalam kondisi tradisional atau menghambat modernisasi, melainkan memastikan bahwa setiap transformasi yang terjadi tetap menghormati keseimbangan ekologis, mempertahankan nilai-nilai budaya lokal, serta mendukung keberlanjutan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat desa. Dalam kerangka ini, konservasi desa bertujuan untuk melindungi ruang hidup yang selama ini menyediakan pangan, air bersih, dan stabilitas lingkungan yang menopang kehidupan secara nasional. Desa bukan hanya penopang logistik bagi kota, tetapi juga fondasi dari sistem sosial-ekologis yang lebih besar dan saling bergantung.

Argumentasi mendasar yang melandasi urgensi konservasi desa dapat ditinjau dari beberapa dimensi. Pertama, dari aspek pangan. Desa-desa di Indonesia merupakan penghasil utama pangan nasional. Konversi lahan pertanian menjadi kawasan industri, perumahan, atau tambang dalam jangka panjang mengancam ketahanan pangan dan menimbulkan ketergantungan terhadap impor. Konservasi desa, dalam hal ini, menjadi strategi menjaga ruang produksi pangan tetap tersedia dan berfungsi optimal.

Kedua, dari aspek ekologi. Haru diakui bahwa banyak desa berlokasi di wilayah yang memainkan peran penting dalam siklus hidrologi dan pelestarian biodiversitas. Ketika ruang desa rusak akibat eksploitasi sumber daya alam yang eksesif atau pembangunan tanpa kontrol tata ruang, maka akan muncul dampak sistemik seperti banjir, kekeringan, erosi, hingga penurunan kualitas udara dan air. Konservasi desa berarti menjaga fungsi-fungsi ekologis yang tidak hanya bermanfaat bagi desa itu sendiri, tetapi juga bagi kawasan urban yang bergantung pada stabilitas lingkungan pedesaan.

Ketiga, dari dimensi sosial-budaya. Desa menyimpan sistem nilai, struktur sosial, dan pengetahuan lokal yang bersifat kolektif dan berkelanjutan. Kehidupan sosial desa umumnya ditandai oleh keterikatan komunal yang kuat dan sistem ekonomi yang berbasis gotong royong. Desa-desa di beberapa pulau, seperti di Pulau Bali, Papua, Nusa Tenggara, Jawa dan beberapa yang lain, memperlihatkan kuatnya nilai-nilai dengan seluruh karakteristiknya yang muncul dalam kebiasaan dan tata hidup masyarakat desa. Kesemuanya itu, merupakan basis kultural dalam kerangka keberagaman. Karena itu, ketika desa mengalami tekanan untuk menyerupai kota secara fisik dan sosial, maka yang terjadi adalah pelemahan struktur sosial dan hilangnya pengetahuan lokal yang selama ini menjadi benteng terhadap krisis sosial-ekologis. Konservasi desa, dengan demikian, juga merupakan konservasi terhadap keragaman budaya bangsa.

Keempat, konservasi desa merupakan strategi untuk menahan tekanan demografis dan sosial di perkotaan. Urbanisasi yang tidak terkendali mengakibatkan konsentrasi penduduk di kota-kota besar, menciptakan ketimpangan pembangunan, serta munculnya permukiman informal, kemiskinan, dan pengangguran. Sementara di sisi lain, desa mengalami depopulasi dan kekosongan tenaga kerja produktif. Konservasi desa menciptakan daya tarik dan daya dukung agar masyarakat tetap bisa hidup dan berkembang di wilayah asalnya, tanpa harus kehilangan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang layak.

Dengan demikian, konservasi desa tidak semata-mata menjadi agenda lingkungan atau budaya, melainkan strategi nasional untuk menciptakan keseimbangan wilayah, keberlanjutan sumber daya, dan ketahanan sosial-ekologis. Ini adalah bentuk investasi jangka panjang yang tidak hanya mencegah kerusakan, tetapi juga membangun fondasi yang kokoh bagi keberlangsungan hidup bangsa. Konservasi desa, pada akhirnya, adalah perlindungan terhadap kehidupan itu sendiri. [Desanomia – 5.6.25 – TM]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *