Sumber ilustrasi: freepik
7 Juni 2025 13.30 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Perjalanan panjang ide kesejahteraan umum telah dengan jelas mengungkapkan bahwa kesejahteraan umum tidak dengan sendirinya terwujud hanya karena telah dituliskan dalam teks konstitusi: Pembukaan UUD ’45. Secara teoritik, tempat kedudukan dari ide tersebut, telah memberikan hak dan kewajiban. Hak pada sisi warga. Dan kewajiban konstitusional pada sisi negara. Bahkan jika dibaca dengan lebih seksama, bahwa dasar adanya negara adalah suatu kehendak mencapai atau mewujudkan kesejahteraan umum. Perjalanan bangsa, memperlihatkan bahwa hal tersebut tidak cukup. Usaha bersama tetap dibutuhkan, dan bahkan dapat dikatakan juga merupakan suatu tanggungjawab bersama.
Dengan mengandaikan bahwa ide tersebut telah menjadi pengetahuan umum dan telah menjadi kepentingan nasional, maka soal berikutnya adalah dengan apa bangsa memastikan bahwa agenda tersebut benar-benar direalisasikan melalui gerak langkah pembangunan. Pertanyaan ini merupakan wakil dari semangat kerjasama dan bukan dalam makna kontestasi. Oleh sebab itu, sangat wajar jika dikatakan bahwa kesejahteraan umum tidak pernah lahir dari kebijakan yang netral atau sistem yang bekerja secara otomatis. Sangat disadari bahwa dalam riil kehidupan, dinamika selalu ada dan konflik kepentingan secara inheren bekerja dalam struktur kebijakan. Apakah kesemuanya itu akan senantiasa begitu dan tidak mungkin diubah?
Bagi kita kesejahteraan umum merupakan hasil dari sebuah proyek kolektif, yang menuntut kehadiran kesadaran bersama dan tindakan bersama. Dalam konteks kekitaan, proyek ini hanya dapat berhasil bila bertumpu pada persatuan publik, bukan sebagai slogan seremonial atau simbol-simbol eksklusif, melainkan sebagai koalisi aktif warga negara dalam mengatasi masalah-masalah bersama. Dan di tengah lanskap sosial kita yang terfragmentasi, bentuk paling nyata dari persatuan publik itu terwujud sebagai persatuan desa-desa. Mengapa demikian? Karena pada sebagian besar wilayah, syarat-syarat yang memungkinkan kesejahteraan umum tersedia dengan baik, seperti tenaga kerja, lahan dengan kesuburannya dan seluruh sumberdaya untuk produksi bahan kebutuhan pokok.
Desa merupakan fondasi kehidupan sosial-ekonomi Indonesia. Di sinilah mayoritas rakyat hidup, bekerja, dan menghadapi persoalan mendasar kesejahteraan: kemiskinan, keterbatasan akses pendidikan, layanan kesehatan, dan sumber daya produktif. Namun, kenyataannya, desa-desa sering dibiarkan berjalan sendiri, menghadapi tantangan struktural tanpa jejaring solidaritas lintas wilayah. Persatuan desa-desa bukan hanya gagasan geografis, melainkan gagasan strategis, sebuah bentuk organisasi sosial yang memulihkan kembali proyek kesejahteraan sebagai kerja bersama yang melibatkan semua elemen republik.
Mengapa persatuan diperlukan untuk mencapai kesejahteraan umum? Karena tanpa kerja sama lintas komunitas, setiap desa hanya akan menjadi unit yang terisolasi, terbebani oleh kelemahan sumber daya, ketergantungan terhadap pasar eksternal, dan minimnya kapasitas negosiasi terhadap pusat kekuasaan. Dalam situasi ini, desa tidak punya posisi tawar. Ketimpangan melebar, pembangunan terpolarisasi, dan kesejahteraan hanya menjadi mimpi sebagian kecil kawasan.
Sebaliknya, jika desa-desa bersatu, dalam kerjasama horizontal berbasis kebutuhan bersama, pengalaman bersama, dan tujuan bersama, maka kekuatan kolektif itu akan membentuk infrastruktur sosial-politik baru: sebuah agenda bersama yang dibangun dari bawah, bukan dari pusat ke pinggiran. Ini bukan nostalgia desa-isme, melainkan strategi kebangsaan yang berakar pada kenyataan: bahwa mayoritas warga tinggal di desa, dan bahwa masa depan negara ini bergantung pada kemampuannya memfasilitasi kerja sama antar-desa dalam mewujudkan kemandirian ekonomi desa.
Kerja sama antar-desa adalah antitesis dari paradigma kompetisi yang telah lama mendominasi logika pembangunan. Selama ini, desa-desa dipaksa bersaing: memperebutkan dana, proyek, investor, atau bahkan pengakuan administratif. Kompetisi ini bukan hanya tidak adil, karena tidak semua desa memiliki modal awal yang sama, tetapi juga memecah kesadaran kolektif. Desa tidak saling menguatkan, melainkan saling mengalahkan. Maka kesenjangan bukan kegagalan teknis, tetapi gejala dari gagalnya imajinasi kolektif.
Untuk itu, mewujudkan persatuan desa-desa sebagai kerangka persatuan nasional berarti membangun platform kerja sama antar komunitas: dalam produksi pangan, distribusi barang, sistem energi alternatif, pendidikan kerakyatan, sistem keuangan berbasis komunitas, dan perencanaan pembangunan lintas wilayah yang partisipatif. Ini bukan kerja negara semata, tetapi kerja etis rakyat dalam semangat gotong royong.
Persatuan ini juga membutuhkan arsitektur kelembagaan baru. Dibutuhkan bentuk baru dari forum desa lintas kabupaten, sistem keuangan antar-desa, dan bahkan sistem informasi bersama untuk pertukaran data, tenaga, dan sumber daya. Otoritas dapat memfasilitasi, tetapi yang terpenting adalah munculnya kesadaran warga desa bahwa kesejahteraan satu desa bergantung pada nasib desa lain. Dalam dunia yang saling terhubung, kemandirian tidak bisa dimaknai sebagai isolasi, tetapi sebagai kemampuan membentuk jejaring solidaritas yang produktif dan berkelanjutan.
Persatuan desa-desa bukanlah jalan pintas, tetapi ia adalah fondasi kuat menuju kesejahteraan yang adil, berdaulat, dan bermartabat. Ketika desa-desa bersatu, maka yang terbangun bukan sekadar integrasi administratif, tetapi persatuan dalam makna politik dan moral: sebuah bangsa yang memilih hidup bersama, karena menyadari bahwa hanya dengan kerja sama, kehidupan bersama bisa bertahan dan bermakna. (bersambung) [Desanomia – 7.6.25 – TM]