Kesejahteraan Umum (4)

Sumber ilustrasi: freepik

8 Juni 2025 16.55 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Tiga ulasan sebelumnya telah memberi kejelasan, baik substansi, syarat dan kekuatan yang mungkin untuk menggerakkan realisasi kesejahteraan umum. Apa yang dapat dikatakan di sini adalah bahwa jika kesejahteraan umum adalah tujuan bersama yang mengikat republik ini secara moral dan politis, maka cara mewujudkannya pun harus mencerminkan nilai-nilai dasar demokrasi: partisipasi, kedaulatan rakyat, dan solidaritas. Dalam kerangka tersebut, agenda kesejahteraan tidak dapat disusun secara top-down oleh negara semata, melainkan harus lahir dari bawah, dari ruang-ruang hidup masyarakat yang paling konkret: desa.

Sebagaimana telah kerapkali disampaikan bahwa desa bukan sekadar unit administratif, tetapi ekosistem kehidupan yang mengandung seluruh dimensi publik: sosial, ekonomi, ekologis, dan kultural. Oleh karena itu, menyusun agenda kesejahteraan umum secara bottom-up berarti menjadikan desa-desa sebagai titik tolak, bukan sekadar titik distribusi. Yang dibangun bukan hanya infrastruktur, tetapi arah dan logika pembangunan itu sendiri.

Untuk mewujudkan hal ini, dibutuhkan kerangka aksi kolektif yang menyatukan negara, masyarakat, dan dunia usaha dalam satu kesatuan langkah strategis. Kerangka tersebut setidaknya memuat tiga tahapan utama:

Pertama, menggali agenda kesejahteraan di tingkat komunitas. Pada tahap ini, desa menjadi aktor utama dalam merumuskan kebutuhan, potensi, dan visi masa depan mereka sendiri.

  • Negara: Bertugas menyediakan ruang legal, kelembagaan, dan pendampingan teknis. Perluasan peran Bappeda dan Kemendes untuk memfasilitasi perencanaan partisipatif, bukan memaksakan skema pembangunan seragam.
  • Masyarakat: Melalui forum musyawarah desa, kelompok tani, BUMDes, dan komunitas adat, masyarakat menyusun agenda prioritas: akses pangan, energi, air bersih, pendidikan, kesehatan, hingga kedaulatan ekonomi lokal.
  • Korporasi: Didorong hadir sebagai mitra etik. Bukan sebagai investor pengambil alih, tetapi sebagai penyokong teknologi, logistik, dan modal sosial berbasis skema bisnis inklusif, seperti koperasi produsen, skema CSR transformatif, dan fair trade.

Hasil utama tahap ini adalah rumusan agenda kesejahteraan versi desa, yang otentik, realistis, dan berpijak pada pengalaman hidup nyata.

Kedua, konsolidasi dalam forum desa dan dialog antar desa. Tahap ini menekankan pentingnya konsolidasi horizontal antar-desa untuk membentuk kesadaran dan aksi kolektif – baik dalam format forum maupun dialog.

  • Negara: Memfasilitasi terbentuknya forum lintas desa, lintas kecamatan, hingga kabupaten. Peta spasial dan tematik antar wilayah perlu disatukan dalam sistem informasi terbuka yang dapat menjadi dasar perencanaan terpadu.
  • Masyarakat: Membangun solidaritas antar-desa melalui program kolaboratif: pertanian lintas desa, pasar bersama, manajemen bencana terpadu, pengelolaan air dan energi berbasis kawasan. Di sinilah logika gotong royong lintas wilayah tumbuh.
  • Korporasi: Melakukan redefinisi rantai pasok. Korporasi tidak hanya membeli dari desa, tetapi menjadi bagian dari sistem produksi dan distribusi yang adil dan partisipatif. Skema profit-sharing, co-branding lokal, dan logistik terdesentralisasi menjadi kunci.

Hasil utama tahap ini adalah integrasi lintas desa menjadi kekuatan sosial-ekonomi regional, yang memperbesar daya tawar politik masyarakat dalam menyusun kebijakan di level kabupaten dan provinsi.

Ketiga, konvergensi menuju agenda nasional. Tahap terakhir adalah konversi hasil-hasil forum dan dialog desa menjadi peta besar agenda nasional, di mana negara mengonsolidasikan dan menyelaraskan kebijakan makro dengan kebutuhan riil masyarakat.

  • Negara: Menata ulang mekanisme perencanaan pembangunan nasional (seperti Musrenbangnas) agar benar-benar mencerminkan agregasi aspirasi komunitas. RPJMN tidak disusun dari simulasi makro, melainkan dari sintesis aspirasi mikro. Negara juga harus mengarahkan APBN sebagai alat penyebaran keadilan fiskal, bukan hanya stabilitas ekonomi.
  • Masyarakat: Berperan aktif dalam menyusun kebijakan melalui forum publik, partisipasi dalam penyusunan indikator kinerja pemerintah, dan pengawasan alokasi anggaran. Di sinilah masyarakat desa menjadi warga negara penuh, bukan sekadar penerima manfaat.
  • Korporasi: Turut bertanggung jawab dalam merealisasikan agenda nasional berbasis etika publik. Mereka harus tunduk pada prinsip: bahwa keuntungan tidak boleh dicapai dengan merusak struktur sosial-ekologis desa. Negara dan masyarakat dapat memberi insentif bagi korporasi yang menjadikan kesejahteraan publik sebagai bagian dari strategi inti bisnisnya.

Hasil utama tahap ini adalah terbangunnya satu visi nasional yang disusun dari bawah, yang bukan hanya merekatkan agenda kesejahteraan umum dengan realitas rakyat, tetapi juga memulihkan legitimasi demokrasi ekonomi.

Dari ketiga tahap tersebut, maka dapat dikatakan bahwa agenda kesejahteraan umum tidak lagi menjadi proyek “atas”, melainkan perwujudan konkret dari politik kehidupan sehari-hari warga negara. Desa-desa tidak lagi diposisikan sebagai entitas pasif yang menunggu pembangunan, tetapi sebagai penyusun utama arah republik. Forum desa-desa dalam kerangka bottom-up bukan hanya strategi teknis, tetapi juga deklarasi moral: bahwa hidup bersama harus dimulai dari saling merawat, dan bahwa kesejahteraan adalah buah dari koalisi publik yang dibangun oleh rakyat itu sendiri. (bersambung) [Desanomia – 8.6.25 – TM]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *