Sumber ilustrasi: Pixabay
28 Juli 2025 09.00 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [28.07.2025] Optimisme telah lama dipahami sebagai kecenderungan psikologis seseorang untuk mengharapkan hasil yang baik dari situasi hidup. Akan tetapi dalam kerangka masyarakat modern, optimisme tidak lagi sekadar disposisi batin atau ciri kepribadian individual dan telah menjadi bagian dari lanskap sosial yang lebih besar dan bahkan memberi imbalan atas cara berpikir yang penuh harapan ini. Di balik dominasi individu optimis dalam berbagai sektor, dari ekonomi hingga politik, tersembunyi struktur sosial yang memfasilitasi kesuksesan mereka dan secara bersamaan memarginalkan mereka yang bersikap pesimis.
Fenomena ini bukan hanya hasil dari “pikiran positif” semata namun juga merupakan bagian dari konstruksi nilai yang dijalankan oleh masyarakat modern. Optimisme kini berfungsi bukan hanya sebagai sikap personal, namun merupakan sebuah bentuk kekuatan sosial yang memiliki nilai tukar nyata dalam relasi ekonomi dan budaya. Sehingga untuk memahami mengapa orang optimis lebih mungkin sukses dibandingkan orang pesimis maka kita perlu melihat tidak hanya ke dalam diri individu namun juga ke arah sistem yang mengelilinginya.
Optimisme memiliki efek langsung terhadap tindakan oleh karena mereka yang bersikap optimis melihat dunia sebagai ruang kemungkinan. Dalam perspektif ini kegagalan tidak dilihat sebagai akhir namun bagian dari proses menuju pencapaian. Cara pandang semacam ini menciptakan dorongan untuk bertindak dan mengambil keputusan yang penuh dengan risiko. Dalam sistem ekonomi kapitalistik yang berbasis pada pertumbuhan dan inovasi sikap optimisme ini sangat dihargai.
Pesimisme, disisi lain, memproduksi efek sebaliknya. Individu yang pesimis cenderung melihat masa depan dengan kecurigaan dan ketidakpastian. Dalam benak mereka dunia tidak dipandang sebagai ladang peluang, melainkan suatu ladang ancaman. Konsekuensi dari pemikiran pesimisme ini kerap menghambat tindakan sejak dalam pikiran dan dalam struktur sosial yang mengedepankan efisiensi serta ekspansi sikap ini dipandang tidak produktif. Dalam sistem seperti ini bukan hanya tindakan yang dinilai namun juga potensi untuk bertindak. Optimisme menjadi semacam filter budaya yang menentukan siapa yang layak melangkah lebih jauh dan siapa yang tidak.
Lebih dari itu, optimisme telah diserap menjadi bagian dari wacana dominan dalam masyarakat modern. Di dalam dunia pendidikan, budaya populer, atau bahkan program-program pengembangan diri, secara eksplisit mengedepankan “growth mindset”, “positive thinking”, dan “leadership spirit”. Nilai-nilai ini tidak netral oleh karena membentuk standar normatif tentang seperti apa individu yang diharapkan. Oleh karenanya menjadi optimis bukan lagi pilihan bebas, melainkan tuntutan kultural yang harus dipenuhi agar dapat mengakses sumber daya, kepercayaan, dan jaringan sosial yang berpengaruh.
Perlu dicatat bahwa dominasi optimisme bukanlah hasil dari proses netral. Keadaan ini merupakan produk sistem nilai yang memberi imbalan pada jenis kesadaran tertentu, sembari menyingkirkan bentuk kesadaran lain. Pesimisme yang bisa jadi merupakan bentuk refleksi rasional dan realistis terhadap dunia yang penuh ketidakpastian sering kali dipinggirkan atau direduksi menjadi kelemahan mental. Dalam kerangka ini masyarakat tidak sekadar memfasilitasi optimisme namun juga menciptakan narasi bahwa hanya mereka mampu berpikir positif yang pantas untuk sukses.
Di balik perbedaan nasib antara individu optimis dan pesimis, terdapat suatu dinamika kekuasaan yang lebih dalam. Optimisme beresonansi dengan nilai-nilai dominan seperti keberanian, harapan, kemajuan. Karena itu, individu optimis tampak lebih “selaras” dengan sistem yang ada, sehingga lebih mudah diterima dan diangkat. Sebaliknya, individu yang pesimis sering diposisikan sebagai ancaman terhadap tatanan harapan kolektif. Padahal dalam banyak kasus pesimisme bisa menjadi respon yang wajar terhadap ketimpangan sosial atau keterbatasan sistemik yang nyata.
Kesuksesan orang optimis tidak hanya berasal dari sikap atau usaha pribadi, tetapi juga didukung oleh sistem sosial yang lebih menyukai cara pandang penuh harapan. Optimisme dianggap selaras dengan nilai-nilai dominan seperti pertumbuhan, kemajuan, dan kepercayaan bahwa semua orang punya kesempatan yang sama. Oleh karenanya seorang optimis lebih mudah diterima dan diberi ruang untuk berkembang dalam masyarakat.
Sebaliknya, pandangan pesimis sering kali dianggap negatif meskipun bisa saja didasarkan pada kesadaran yang lebih realistis terhadap dunia. Dalam budaya yang mengagungkan semangat positif, kritik dan keraguan kerap disingkirkan. Perbedaan cara pandang ini menunjukkan bahwa siapa yang sukses atau gagal tidak hanya ditentukan oleh pilihan individu, tetapi juga oleh nilai-nilai sosial yang mendukung atau menghambatnya. (NJD)