Sumber ilustrasi: Freepik
28 Juli 2025 15.20 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [28.07.2025] Krisis air bersih bukan sekadar persoalan lingkungan namun merupakan masalah struktural yang menyentuh inti dari fungsi negara dan keberlanjutan masyarakat. Ketika air bersih menjadi langka atau hilang sama sekali negara menghadapi ancaman terhadap kesehatan publik dan juga terhadap stabilitas sosial, ketahanan ekonomi, dan legitimasi politiknya. Dalam konteks ini krisis air tidak dapat dilihat semata sebagai bencana alam atau kekeliruan teknis, melainkan sebagai gejala dari kegagalan sistemik dalam tata kelola, distribusi keadilan, dan perencanaan ekologis.
Secara ekologis air berperan sebagai penghubung utama antara sistem alam dan sistem manusia dan menopang pertanian, industri, sanitasi, dan keberlangsungan ekosistem. Ketika cadangan air bersih menipis maka seluruh fondasi ekologis kehidupan mulai terganggu. Diantaranya pertanian kehilangan daya produksi, hutan kehilangan kelembapan, dan populasi satwa air maupun darat terancam. Dampaknya juga tidak berhenti pada lingkungan. Degradasi ekologis ini segera beralih menjadi gangguan sosial dan ekonomi. Petani mengalami gagal panen, produksi pangan turun, harga naik, dan tekanan ekonomi meningkat. Sektor industri yang bergantung pada air sebagai bahan baku atau pendingin akan mengalami penurunan efisiensi, kenaikan biaya operasional, dan pada akhirnya, pemutusan hubungan kerja. Pengangguran pun meningkat, menciptakan ketegangan sosial yang meluas.
Pada tingkat sosial, krisis air memperburuk ketimpangan yang telah ada. Distribusi air yang tidak merata memperkuat pembelahan antara yang mampu membeli akses terhadap air bersih dan mereka yang bergantung pada sumber-sumber publik yang kian tercemar atau mengering. Ketika air menjadi komoditas langka, ia memperbesar jarak antar kelas, memperkuat marginalisasi, dan menciptakan ruang-ruang konflik, baik antarwilayah maupun antar kelompok sosial. Ketidakpuasan terhadap distribusi sumber daya ini pun sering berkembang menjadi ketidakpuasan politik dan memperlemah legitimasi negara sebagai penyedia layanan dasar.
Krisis air juga memengaruhi dimensi kesehatan publik secara langsung. Air yang tercemar atau tidak tersedia dapat menyebabkan peningkatan penyakit berbasis air seperti diare, tifus, dan kolera, serta menurunnya standar kebersihan rumah tangga dan fasilitas umum. Hal ini mengakibatkan beban pada sistem kesehatan nasional meningkat dan produktivitas tenaga kerja menurun. Kombinasi dari krisis pangan, kesehatan, dan pekerjaan ini menciptakan kondisi sosial yang rapuh, di mana ketidakstabilan menjadi kecenderungan yang tak terhindarkan.
Secara politik, kehabisan air mengikis otoritas negara dalam dua cara, secara internal dan eksternal. Secara internal, negara yang gagal menjamin air bersih bagi warganya kehilangan kepercayaan publik. Ketika hak-hak dasar tidak lagi dijamin, kekuasaan menjadi kosong secara moral, dan negara kehilangan kemampuannya untuk mengikat warga dalam kontrak sosial yang sah. Secara eksternal, negara yang kekurangan air cenderung bergantung pada bantuan atau intervensi dari pihak luar, baik dalam bentuk bantuan kemanusiaan, investasi teknologi, maupun impor air. Ketergantungan ini dapat mereduksi kedaulatan negara dan meningkatkan ketegangan geopolitik, khususnya jika sumber air yang tersisa bersifat lintas batas dan diperebutkan oleh beberapa negara sekaligus.
Dampak jangka panjang dari kehabisan air mencakup dislokasi penduduk, perpindahan besar-besaran dari wilayah yang mengering menuju wilayah yang masih memiliki sumber daya, yang pada gilirannya menimbulkan tekanan demografis baru. Dalam kasus ekstrem, ini dapat memunculkan bentuk-bentuk baru dari konflik horizontal maupun vertikal: konflik antarwarga, antara warga dan negara, atau bahkan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Kerapuhan institusi pun menjadi makin terlihat: negara yang kehilangan kapasitas ekologisnya akan kehilangan kapasitas ekonominya, dan pada akhirnya, kapasitas politiknya.
Dengan demikian, air bukan hanya soal keberadaan atau ketiadaannya, tetapi soal bagaimana negara mendesain relasi antara manusia, alam, dan kekuasaan. Krisis air adalah indikator paling jujur dari kualitas perencanaan jangka panjang, keberpihakan kebijakan publik, serta sensitivitas etis dari penguasa terhadap penderitaan rakyatnya. Negara yang bijak tidak menunggu air habis untuk bertindak, melainkan membangun sistem yang mampu menjaga air tetap mengalir, secara adil, efisien, dan berkelanjutan. Tanpa hal-hal ini negara perlahan kehilangan daya hidupnya, bukan hanya sebagai entitas politik, tetapi sebagai rumah bersama yang layak huni bagi warganya. (NJD)