Tentang Kemerdekaan (5)

Sumber ilustrasi: Freepik

22 Oktober 2025 11.45 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Bagian terdahulu (4), telah mengungkapkan makna kemerdekaan dengan basis teks adalah naskah Indonesia Menggugat. Kini kita akan menyelami teks “Mencapai Indonesia Merdeka” (MIM, 1933). Sebuah naskah yang dapat dikatakan sebagai “panduan” atau pedoman, untuk menyelenggarakan kerja-kerja perjuangan, dalam kerangka menghadapi suatu struktur yang pada dirinya memuat ketidakadilan atau bahkan penindasan terhadap rakyat (bangsa), yakni kapitalisme dan imperialisme. Secara jelas dikatakan: “Kita bergerak karena kita tidak sudi kepada stelsel kapitalisme dan imperial­isme, yang membikin kita papa dan membikin segundukan manusia teng­gelam dalam kekayaan dan harta, dan karena kita ingin sama-rata merasakan lezatnya buah-buah dari kita punya masyarakat sendiri.”

Bagi mereka yang mendalami teks, mungkin akan punya pemahaman yang kompleks dan kaya, yakni tentang bagaimana teks mengungkap kenyataan, meresponnya dan memberikan arah dan langkah apa yang sebaiknya dilakukan. Dalam kerangka itulah, kita mencoba menangkap pengertian kemerdekaan yang tersurat dan yang tersirat dari teks tersebut. Berikut ini adalah uraian yang menggambarkan bagaimana penelusuran dilakukan:

I.

Kemerdekaan merupakan gagasan yang berangkat dari ide dasar bahwa rakyat tidak bergerak semata-mata karena keinginan abstrak untuk “merdeka,” melainkan karena dorongan konkret untuk membebaskan diri dari sistem ekonomi dan politik yang menindas. Ir. Soekarno menempatkan kapitalisme dan imperialisme sebagai dua kekuatan yang secara struktural menjerat kehidupan rakyat: satu menciptakan ketimpangan sosial, dan satu lagi meneguhkan dominasi ekonomi-politik luar atas bangsa jajahan. Dalam kerangka ini, kemerdekaan menjadi semacam syarat mutlak yang harus dicapai agar transformasi sistem tersebut menjadi mungkin.

Kutipan di atas, sangat jelas memperlihatkan bahwa akar gerakan kemerdekaan adalah penolakan terhadap struktur ketidakadilan yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme dan imperialisme. Penjajahan tidak hanya dipandang sebagai dominasi politik, tetapi juga sebagai sistem ekonomi global yang menciptakan kesenjangan dan kemiskinan. Dengan demikian, gerakan kemerdekaan bukan sekadar perebutan kedaulatan formal, melainkan upaya untuk merobohkan tatanan yang secara sistematis memiskinkan rakyat.

“Kita, oleh karenanya, harus bergerak untuk menggugurkan stelsel kapitalisme dan imperialisme! Dan syarat yang pertama untuk menggugurkan stelsel kapitalisme dan imperialisme? Syarat yang pertama ialah: kita harus merdeka.”

Kita dapat mengatakan bahwa pernyataan tersebut merupakan suatu pernyataan teoretik yang penting. Kemerdekaan tidak diletakkan sebagai hasil akhir perjuangan, melainkan sebagai syarat awal yang niscaya bagi perubahan sosial-ekonomi. Artinya, tanpa kemerdekaan politik, rakyat tidak memiliki instrumen kekuasaan untuk menumbangkan struktur kapitalisme dan imperialisme. Dalam batas tertentu, kemerdekaan berkedudukan sebagai pra-kondisi kausal—suatu kondisi yang mendahului dan memungkinkan tindakan selanjutnya.

Lebih jauh, dikatakan:
“Kita harus merdeka agar supaya kita bisa leluasa bercancut-taliwanda menggugurkan stelsel kapitalisme dan imperialisme. Kita harus merdeka, agar supaya kita bisa leluasa mendirikan suatu masyarakat baru yang tiada kapitalisme dan imperialisme.”

Ungkapan “leluasa bercancut-taliwanda” menandakan kebebasan praksis—kebebasan yang memberi rakyat kemampuan untuk bertindak secara mandiri tanpa belenggu struktur kolonial. Di sini kemerdekaan tidak sekadar dimaknai sebagai kebebasan negatif (bebas dari penjajahan), tetapi juga sebagai kebebasan positif (kebebasan untuk bertindak, mencipta, dan membangun masyarakat baru). Dengan demikian, kemerdekaan merupakan peralatan sejarah yang membuka kemungkinan bagi transformasi bangsa.

Makna yang tersirat dari keseluruhan bagian ini adalah bahwa perjuangan politik untuk kemerdekaan tidak dapat dipisahkan dari perjuangan ekonomi dan sosial. Dalam logika MIM, kapitalisme dan imperialisme adalah sistem yang saling menopang—yang satu melahirkan dominasi politik, yang lain mempertahankannya melalui ketimpangan ekonomi. Maka, kemerdekaan berfungsi sebagai langkah pertama untuk menghancurkan keseluruhan sistem itu secara struktural.

Dalam kerangka ini, kemerdekaan bukanlah “hadiah,” melainkan “syarat.” Suatu syarat yang harus direbut karena tanpa penguasaan politik sendiri, tidak ada ruang bagi rakyat untuk menata kehidupan sosial-ekonomi sesuai dengan cita-cita keadilan. Dapat ditegaskan bahwa kemerdekaan sebagai titik pangkal sejarah: kondisi yang memberi daya bagi rakyat untuk tidak sekadar membebaskan diri dari penjajahan, tetapi juga menciptakan masyarakat baru yang egaliter dan berdaulat secara sosial-ekonomi.

II.

Pada bagian akhir di atas, dikatakan bahwa yang hendak dituju oleh perjuangan bukan hanya “bebas dari”, akan tetapi kemampuan untuk membentuk suatu tatanan baru, suatu tranformasi atas system yang ada. Oleh sebab itulah, kemerdekaan dalam optik ini punya makna sebagai kondisi yang memungkinkan rakyat, khususnya kaum bawah (baca: yang tertindas), untuk bertindak secara bebas dan aktif dalam merealisasikan cita-cita masyarakat baru tanpa kapitalisme dan imperialisme. Kemerdekaan dipahami sebagai praksis kebebasan kolektif—yakni keadaan di mana rakyat terbebas dari belenggu struktural yang menghambat kemampuannya untuk berpikir, bergerak, dan membangun.

Secara jelas dikatakan bahwa:
“Kemerdekaan adalah s y a r a t yang maha penting untuk menghilangkan kapitalisme dan imperialisme, s y a r a t yang penting untuk mendirikan masyarakat yang sempurna.”

Pernyataan ini menunjukkan bahwa kemerdekaan tidak hanya merupakan alat untuk menghancurkan sistem lama, tetapi juga sebagai wadah penciptaan bagi sistem baru. Artinya, kemerdekaan memberi rakyat ruang sosial-politik yang sebelumnya tertutup oleh kekuasaan kolonial. Kemerdekaan membuka jalan bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan keadilan, kesetaraan, dan kemandirian.

Ir. Soekarno dengan metafora yang kuat untuk menggambarkan hal ini:
“Gedung Indonesia Sempurna… hanyalah bisa didirikan di atas buminya Indonesia yang Merdeka… jikalau pandemen-pandemennya tertanam di dalam tanahnya Indonesia yang Merdeka.”

Metafora “Gedung Indonesia Sempurna” merujuk pada masyarakat ideal, yaitu suatu tatanan sosial di mana semua rakyat dapat “bernaung”, menikmati “kerezekian dan kekulturan sendiri”, dan tidak lagi hidup dalam kesenjangan. Dalam konteks ini, kemerdekaan dimaknai sebagai tanah tempat berpijak—yakni kondisi material dan simbolik yang memungkinkan seluruh struktur sosial baru bisa dibangun secara autentik. Tanpa tanah kemerdekaan itu, segala cita-cita akan runtuh karena tidak memiliki fondasi yang kokoh.

Lebih lanjut, Ir. Soekarno menekankan pentingnya kebebasan rakyat sebagai pelaku aktif pembangunan:
“Gedung Indonesia Sempurna itu juga hanyalah bisa didirikan oleh Marhaen Indonesia, bilamana Marhaen adalah leluasa mendirikannya, – tidak terikat oleh ini, tidak terikat oleh itu, – yakni bilamana Marhaen, dan tidak fihak lain, mempunyai kemerdekaan gerak-bangkit yang tak terhalang-halang.”

Di sinilah makna kemerdekaan sebagai kebebasan rakyat untuk bertindak menjadi sangat jelas. Yang dimaksud dengan kemerdekaan bukanlah status formal kemerdekaan negara, tetapi kebebasan praksis—yaitu kemampuan Marhaen untuk bergerak, membangun, dan menggenggam nasibnya sendiri tanpa intervensi pihak lain, baik asing maupun domestik. Penggunaan istilah “gerak-bangkit” mengindikasikan dinamika kesadaran kolektif yang aktif dan progresif.

Sekali lagi, kemerdekaan dalam konteks ini bukan hanya “kemerdekaan dari” (freedom from) penindasan, tetapi juga “kemerdekaan untuk” (freedom to) mencipta dan menyusun masyarakat yang baru. Maka, kemerdekaan yang ditekankan bukanlah kebebasan pasif, melainkan ruang partisipatif yang memungkinkan rakyat menjadi pelaku transformasi sosial.

Di atas itu semua, MIM menegaskan bahwa ruang tersebut harus dijaga agar tidak direbut kembali oleh kekuatan-kekuatan yang anti-Marhaen, seperti kaum borjuis atau ningrat lokal. Ini menunjukkan bahwa kemerdekaan adalah arena yang rentan: arena dimaksud bisa menjadi kosong secara substantif apabila tidak diisi oleh kekuatan rakyat. Oleh karena itu, kemerdekaan memerlukan perlindungan struktural agar kebebasan rakyat tidak diambil alih oleh elite yang akan menciptakan bentuk-bentuk penindasan baru.

III.

Pada sisi yang lain, kemerdekaan juga dapat dipahami sebagai wujud penguasaan politik oleh rakyat (Marhaen). Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa tidak cukup hanya bangsa yang Merdeka, akan tetapi harus dipastikan pula bahwa kekuasaan dalam bangsa merdeka itu dipegang oleh kelas sosial yang mewakili kepentingan rakyat tertindas, bukan oleh elite-elite yang justru dipandang tidak sejalan dengan cita-cita keadilan sosial.

Ir. Soekarno menyatakan secara eksplisit:
“Marhaen tidak sahaja harus mengikhtiarkan Indonesia Merdeka, tidak sahaja harus mengikhtiarkan kemerdekaan-nasional, t e t a p i juga h a r u s menjaga yang di dalam kemerdekaan-nasional itu kaum Marhaenlah yang memegang kekuasaan, – dan bukan kaum burjuis Indonesia, bukan kaum ningrat Indonesia, bukan kaum musuh-Marhaen bangsa Indonesia yang lain-lain.”

Kita dapat membaca bahwa pernyataan tersebut menegaskan dua hal: pertama, bahwa perjuangan kemerdekaan tidak selesai dengan pencapaian kemerdekaan nasional; dan kedua, bahwa terdapat persaingan internal dalam bangsa itu sendiri mengenai siapa yang akan mengelola hasil dari kemerdekaan. Dengan kata lain, kemerdekaan adalah arena politik yang harus diisi oleh kekuatan rakyat, bukan diserahkan kepada golongan elite yang hanya mengganti wajah penjajah dengan penindasan dari dalam.

Ir. Soekarno menggunakan istilah “memegang teguh-teguh politieke macht” untuk menggambarkan bahwa yang dipertaruhkan dalam kemerdekaan adalah siapa yang berkuasa dan untuk kepentingan siapa kekuasaan itu dijalankan. Tidak cukup rakyat menjadi objek yang dibebaskan; rakyat harus menjadi subjek yang berkuasa.

Dinyatakan pula:
“bahwa k e t i g a Marhaen harus menjaga, yang di dalam Indonesia Merdeka itu Marhaen lah yang menggenggam politieke macht, menggenggam kekuasaan pemerintahan.”

Pernyataan ini mempertegas bahwa makna substantif kemerdekaan terletak pada penguasaan langsung atas alat-alat negara oleh rakyat kecil. Bagi Ir. Soekarno, kemerdekaan formal bisa menjadi kosong apabila isi kekuasaannya dikendalikan oleh kelas sosial yang tidak merepresentasikan kepentingan rakyat.

Dengan demikian, kemerdekaan adalah keadaan politik yang berpihak kepada rakyat, bukan hanya karena bebas dari penjajahan, tetapi karena tatanan kekuasaannya memungkinkan rakyat menentukan arah pembangunan, kebijakan, dan hukum yang mempengaruhi kehidupannya. Hal ini merefleksikan prinsip kedaulatan rakyat dalam arti yang material, bukan simbolik.

Makna ini juga memperlihatkan bahwa perjuangan kemerdekaan merupakan proses dua tahap: pertama, merebut kemerdekaan dari penjajah asing; kedua, mempertahankan kemerdekaan itu agar tidak dikendalikan oleh elite domestik yang menindas. Tanpa tahap kedua ini, kemerdekaan menjadi peralihan kekuasaan, bukan transformasi sosial.

IV.

Lebih dari sekedar “penguasaan”, kemerdekaan dipandang sebagai momen yang menegaskan bahwa kekuasaan adalah milik rakyat. Makna kemerdekaan dalam optik ini melampaui batas pemahaman yang bersifat statis atau legal-formal. MIM menyampaikan dengan tegas bahwa kemerdekaan harus diposisikan sebagai alat transformatif—yakni jembatan menuju terciptanya tatanan sosial baru yang bebas dari sistem ketimpangan kapitalisme dan dominasi imperialisme. Dalam kerangka ini, kemerdekaan bukan tujuan akhir, melainkan sebuah proses menuju cita-cita sosial yang revolusioner.

Ir. Soekarno menyatakan secara langsung:
“Bahwa pertama tujuannya pergerakan Marhaen haruslah suatu masyarakat zonder kapitalisme dan imperialisme, bahwa kedua jembatan ke arah masyarakat itu adalah kemerdekaan negeri Indonesia…”

Kutipan ini menunjukkan bahwa kemerdekaan adalah medium historis yang memungkinkan peralihan dari masyarakat tertindas menuju masyarakat adil. Masyarakat ideal yang dimaksud adalah masyarakat yang “zonder”—tanpa—kapitalisme dan imperialisme. Dalam hal ini, kemerdekaan adalah syarat pengantara, bukan puncak akhir. Sebagaimana telah dikatakan bahwa kemerdekaan adalah alat perjuangan, bukan hasil perjuangan itu sendiri.

Kemerdekaan, oleh karena itu, harus diperlakukan sebagai peristiwa strategis dalam rangkaian proses pembebasan. Ir. Soekarno nampak dengan sadar meletakkan kemerdekaan dalam posisi sebagai jembatan, bukan sebagai tujuan terminal. Tanpa kesadaran ini, perjuangan kemerdekaan akan mudah dibajak oleh kelompok-kelompok yang hanya mengganti struktur kekuasaan tanpa mengubah fondasi sosial-ekonominya.

Dalam perspektif ini, kemerdekaan tidak boleh diartikan sebagai pemulihan status bangsa semata, tetapi sebagai langkah untuk merevolusi tatanan sosial, yang berarti menghapus akar struktural ketidakadilan, serta menciptakan kondisi sosial yang memungkinkan distribusi kekayaan dan kekuasaan secara setara. Maka, kemerdekaan menuntut kelanjutan. Artinya, bahwa kemerdekaan harus memungkinkan perubahan mendasar terhadap relasi kekuasaan dan ekonomi.

Kutipan ini mempertegas hal tersebut:
“Inilah bentukan-bentukan dari kita punya pergerakan, yang harus sangat kita perhatikan.”

Dengan frasa tersebut, Soekarno tidak sekadar merumuskan tujuan, melainkan juga menyusun struktur gerakan yang berlandaskan visi kemerdekaan sebagai proses transformasi. Ada kehati-hatian strategis agar gerakan tidak berhenti pada simbol atau euforia kemerdekaan, tetapi terus melaju menuju tatanan masyarakat baru yang bebas dari penindasan dalam segala bentuknya.

Melalui rumusan ini, kemerdekaan menjadi landasan dialektis—yakni titik persilangan antara kehancuran sistem lama dan penciptaan sistem baru. Kita memahaminya sebagai bukan sekadar pemutusan hubungan dengan penjajahan, melainkan pemunculan kemungkinan historis bagi rakyat untuk mengorganisir kembali seluruh aspek kehidupan nasional secara berdaulat, setara, dan adil.

V.

Kemerdekaan sebagai sarana menuju transformasi sosial yang revolusioner. Jika hadir dalam momen ketika teks terbit, maka akan dapat dirasakan suasana dan getaran perjuangan, yang membuat kita akan mengerti secara lebih dekat, apa sebenarnya makna dari susunan aksara tersebut, terutama ketika berjumpa dengan beberapa istilah yang kurang sering digunakan dalam masyarakat. Apa yang sangat jelas adalah bahwa bagi mereka yang ada dalam “penindasan” tentu saja waktu menjadi penting. Perubahan segera merupakan apa yang paling diimpikan atau yang paling diharapkan.

Tidak mengherankan jika istilah revolusi demikian popular dan dapat dengan cepat ditangkap maknanya. Dan persis, dengan kesadaran akan kebutuhan perubahan yang cepat, juga disadari bahwa perubahan dengan sifat yang demikian itu, juga punya potensi untuk berubah arah dalam segera. Oleh sebab itulah, kemerdekaan tidak hanya harus dicapai, tetapi harus dijaga dan dipertahankan dari kemungkinan perampasan kembali oleh kekuatan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat Marhaen.

Dalam konteks ini, kemerdekaan dimaknai bukan sebagai peristiwa historis yang selesai, melainkan sebagai kondisi yang terus-menerus harus dipelihara melalui penguasaan kekuasaan politik oleh rakyat, agar hasil perjuangan tidak dibajak oleh golongan lain. Ir. Soekarno menyatakan: “Kaum Marhaen lah yang di dalam Indonesia Merdeka itu harus memegang teguh-teguh politieke macht, jangan sampai bisa direbut oleh lain-lain golongan bangsa Indonesia yang musuh kaum Marhaen.”

Pernyataan ini mengandung makna yang mendalam: kemerdekaan sebagai arena kuasa yang terbuka terhadap perebutan, bahkan oleh elemen-elemen internal bangsa sendiri. Artinya, bahaya terhadap cita-cita kemerdekaan tidak hanya datang dari luar (penjajah), tetapi juga dari dalam (kelas penguasa yang tidak merepresentasikan rakyat). Dalam logika ini, mempertahankan kemerdekaan berarti memastikan bahwa kekuasaan tetap berada di tangan rakyat, bukan berpindah ke kelas borjuis atau aristokrat lokal yang hanya mengganti wajah penjajahan.

Dengan demikian, kemerdekaan bukan hanya pembebasan dari dominasi, melainkan juga penataan kekuasaan yang harus dikontrol secara sadar oleh rakyat. Jika kekuasaan jatuh ke tangan golongan yang berseberangan dengan kepentingan Marhaen, maka kemerdekaan itu menjadi semu—sekadar perpindahan elite, bukan pembebasan sejati.

Lebih jauh Ir. Soekarno menyatakan: “Bahwa pertama tujuannya pergerakan Marhaen haruslah suatu masyarakat zonder kapitalisme dan imperialisme, bahwa kedua jembatan ke arah masyarakat itu adalah kemerdekaan negeri Indonesia, bahwa ketiga Marhaen harus menjaga, yang di dalam Indonesia Merdeka itu Marhaen lah yang menggenggam politieke macht, menggeng¬gam kekuasaan pemerintahan.”

Tiga rumusan tersebut merupakan fondasi ideologis dari pergerakan. Yang ketiga—yakni pentingnya menggenggam kekuasaan pemerintahan—menunjukkan bahwa kemerdekaan tidak berarti apa-apa jika kontrol atas negara tidak berada di tangan rakyat. Dalam pengertian ini, kemerdekaan adalah wadah politik yang harus secara aktif diisi dan dijaga oleh rakyat sebagai pemegang sah kekuasaan.

Makna yang tersirat sangat jelas: setelah kemerdekaan diraih, tantangan berikutnya adalah memastikan bahwa struktur kekuasaan tidak direbut oleh kekuatan anti-rakyat. Kemerdekaan adalah keadaan terbuka, bukan keadaan stabil. Bisa diisi dengan kebebasan atau sebaliknya, dikosongkan maknanya oleh kekuasaan yang eksploitatif dan antidemokratis.

Kemerdekaan, oleh karena itu, memerlukan kesadaran politik yang terus-menerus hidup dalam rakyat. Tanpa itu, kemerdekaan akan menjadi medan manipulasi, bukan instrumen pembebasan. Soekarno ingin menegaskan bahwa menjaga kemerdekaan tidak hanya berarti menjaga kedaulatan dari kekuatan asing, tetapi juga menjaga kedaulatan rakyat dari kekuatan dalam negeri yang mengancam tatanan egaliter.

Apa yang dapat ditangkap dari kelima hal di atas? Secara menyeluruh, dapat dikatakan bahwa kemerdekaan dalam MIM bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan titik mula dari proses transformasi sosial-politik yang menyeluruh. Ia adalah alat perjuangan struktural yang harus dicapai, digunakan, dan dijaga oleh rakyat sendiri untuk membentuk masyarakat yang adil, tanpa penindasan, dan berlandaskan pada kedaulatan rakyat. Kemerdekaan yang dimaksud adalah kemerdekaan substantif, yang berpijak pada penguasaan kolektif atas kekuasaan dan sumber daya, serta dikawal oleh kesadaran dan gerakan rakyat yang terus hidup. [desanomia – 221025 – dja] (bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *