A W E T

Kapan anda terakhir kali menggunakan kata “awet” dalam percakapan – baik langsung maupun menggunakan media. Jika dalam waktu dekat ini, apa yang sedang anda bicarakan sehingga kata “awet” digunakan? Apakah anda sedang memamerkan barang atau benda milik anda yang telah berusia belasan tahun namun masih digunakan? Misalnya, anda memamerkan sepatu yang anda beli kira-kira lima belas tahun yang lalu, dan hingga kini masih digunakan, masih baik, nyaman dan menawan? Ataukah sebaliknya, dimana kata “awet” telah tidak ada dalam kosakata yang anda simpan. Bahkan mungkin, sebelumnya anda tidak pernah mengenal kata tersebut? Barangkali anda menganggap bahwa kata tersebut merupakan “barang” usang yang tidak perlu diawetkan?

Jika kita pergi menengok ke dunia advertensi, periksalah, apakah masih ada produk yang menawarkan “keawetannya”? Atau sebaliknya, dimana produsen berlomba-lomba menawarkan “kebaruan”. Meskipun mungkin produk tersebut adalah produk lama, namun yang ditonjolkan ada hal baru dalam produk tersebut. Mulai dari kemasannya, atau mungkin ada kandungan baru dalam produk tersebut. Dalam kasus pasta gigi, kita barangkali dapat menunjukkan bagaimana produk pasta gigi dengan merk tertentu, secara konsisten menawarkan kebaruan dari produknya. Mungkin anda telah menggunakan produk tersebut sejak kecil hingga dewasa, namun hari-hari ini, yang ditampilkan ada kebaruannya, bukan dirinya yang telah lama ada.

Pemandangan serupa, barangkali akan ditemukan pula di dunia kuliner. Perlombaan kebaruan muncul dimana-mana. Panganan-panganan dituntut untuk tampil dengan kemasan baru, dengan wajah baru. Warung-warung berusaha menyajikan menu-menu yang baru, selain menu andalannya. Lidah bergerak ke arah makanan yang viral. Meskipun barangkali panganannya adalah panganan yang sama, namun suasana dengan pengunjung yang ramai, membuat yang berkunjung seakan-akan menemukan peristiwa baru. Mereka rela antri bermeter-meter, barangkali pertama-tama bukan karena sang kuliner, melainkan karena ada kisah baru yang bisa dibawanya pulang.

Dari beberapa contoh sederhana tersebut, apakah dapat dikatakan bahwa kata “awet”, sebenarnya tengah mengalami krisis relevansi? Kata “awet” diam-diam tersingkir dari percakapan. Jika demikian itu, apa sebenarnya yang tengah terjadi? Apakah kenyataan tersebut merupakan suatu petunjuk, bahwa perubahan tengah berlangsung.

Konsumsi dan Keberlanjutan

Apakah tersingkirnya kata “awet” merupakan peristiwa alamiah, seiring dengan datangnya generasi baru? Ataukah, peristiwa tersebut, merupakan konsekuensi yang tidak terelakkan dari pergerakan roda produksi. Awet, dalam batas tertentu, lebih merujuk pada pengendalian konsumsi. Dan tentu saja, hal tersebut, tidak kompatibel dari motif atau kepentingan menjaga keberlangsungan gerak produksi, atau bahkan ambisi akselerasi produksi demi mencapai pertumbuhan ekonomi.

Sebagaimana telah menjadi pengetahuan umum, bahwa kultur konsumtif dihidupi dan digerakkan oleh tenaga utamanya yakni keinginan. Dalam hal ini, yang terus dikreasi adalah metode untuk terus-menerus membangkitkan keinginan dan karena itu, segala barang konsumsi harus terus diganti. Dalam sistem ini, awet bukan keutamaan, melainkan hambatan. Semakin barang bertahan, semakin lama konsumen tidak membeli; semakin tahan suatu produk, semakin rendah laju perputaran pasar. Di negeri dimana konsumsi menjadi faktor kunci dalam pertumbuhan ekonomi, maka awet bukan kawan, melainkan lawan.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa nilai awet—yang dulu merupakan kualitas unggul—kini dianggap tak kompatibel dengan logika pasar. Iklan tidak lagi menawarkan keawetan sebagai kelebihan, melainkan menawarkan kebaruan sebagai kebutuhan. Kata “awet” menghilang dari bahasa sehari-hari, karena gaya hidup konsumen telah diatur untuk selalu bergerak ke produk selanjutnya. Kata “awet” menghilang dari iklan, karena pasar tidak ingin kita terikat terlalu lama pada satu benda. Kata “awet” kehilangan relevansi budaya, karena masyarakat tak lagi membangun relasi jangka panjang dengan barang, tempat, atau bahkan relasi sosial. Dunia seakan-akan tidak memberi tempat bagi pemeliharaan, kesetiaan, dan penghargaan terhadap waktu. Bahkan mungkin, awet menjadi simbol kemunduran, bukan kedekatan atau kepercayaan.

Jika boleh dibawa kepada horizon yang lebih strategis, yakni keterkaitannya dengan keberlangsungan lingkungan, maka mungkin problem baru sedang bergerak. Hilangnya keawetan dalam praktik konsumsi menciptakan ancaman nyata terhadap keberlanjutan, baik dari segi ekologis, sosial, maupun spiritual. Satu, sampah – sisa dari barang-barang tidak awet. Ketika barang didesain untuk tidak bertahan, maka dunia akan dibanjiri: (i) Produk rusak dalam waktu singkat, (ii) Barang usang karena tren berubah, (iii) Limbah yang tidak mudah terurai. Semuanya menumpuk menjadi jejak ekologis dari cara hidup yang menolak keawetan. Budaya konsumtif yang menghapus “awet” pada dasarnya adalah budaya yang mengorbankan masa depan untuk sesuatu yang “instan”.

Dua, memudarnya etika pemeliharaan. Dalam masyarakat “lama”, ada nilai luhur dalam merawat: merawat rumah, pakaian, hubungan, alat-alat kerja. Nilai itu tumbuh dari kesadaran bahwa waktu membawa makna, dan bahwa yang bertahan patut dihormati. Namun dalam masyarakat yang kehilangan “awet”, tindakan merawat menjadi tidak ekonomis. Mengganti dianggap lebih praktis daripada memperbaiki. Akibatnya: kerajinan terancam hilang, tradisi perawatan memudar, dan rasa tanggung jawab terhadap benda dan dunia menurun drastis.

Tiga, perubahan dalam ritme dan relasi manusia dan alam. Keawetan adalah bentuk ritme lambat yang memungkinkan manusia dan alam saling selaras. Ketika semuanya harus cepat diganti, kehidupan menjadi: (i) rapuh dalam ritme, yang berpotensi menimbulkan hidup yang mudah menimbulkan kelelahan dan stres, (ii) potensi keterputusan dengan alam, karena siklus konsumsi jauh lebih cepat daripada siklus regenerasi alam, dan (iii) makin terasing dengan makna, karena tidak ada waktu untuk tinggal bersama sesuatu hingga ia menjadi bagian dari kita. Tanpa “awet”, dunia tidak sempat berakar. Dan tanpa akar, tidak ada kehidupan yang berkelanjutan.

Sosial dan Politik

Dalam relasi sosial, gambar yang relatif sama juga akan terlihat. Relasi sosial semakin mirip interaksi antar “akun”: cepat tersambung, cepat terputus. Ikatan keluarga, persahabatan, bahkan cinta—semuanya terancam menjadi versi hubungan yang tidak didesain untuk bertahan. “Awet” seakan-akan menjadi nilai yang “berat”. Ia memerlukan kesabaran, pengorbanan, ruang untuk diam, ruang untuk berubah bersama. Akan tetapi dunia kita seperti tengah terselenggara untuk suatu kecepatan. Relasi yang awet terlalu lambat bagi dunia yang ingin segera beralih ke episode berikutnya.

Dalam politik lukisan yang sama, mungkin dengan mudah ditemukan. Dulu, politik adalah soal visi jangka panjang, pembentukan struktur yang bertahan, tanggung jawab terhadap masa depan. Kini, politik adalah soal citra, performa, viralitas – dan isitas. Seorang aktor politik yang tidak memperbarui dirinya dengan cepat, yang tampil sama dari waktu ke waktu, akan dianggap usang. Bukan karena ideologinya gagal, tetapi karena tampilannya membosankan. Perubahan politik pun bisa terjadi bukan karena krisis substansial, tapi karena publik jenuh terhadap wajah yang sama. Ketika keawetan tidak lagi punya tempat dalam politik, maka yang dipertaruhkan bukan sekadar pencitraan —tetapi kemampuan politik untuk bertanggung jawab pada sejarah.

Lantas

Apakah seluruh pergeseran atau perubahan tersebut merupakan hal baik atau buruk? Memang tidak bisa disembunyikan bahwa dari cara melihat masalah, yang dalam hal ini adalah tersingkirnya kata “awet”, telah terasa bahwa pandangan tersebut datang dari cara pandang lama – cara pandang yang merindukan kata “awet”. Tetapi, apakah sejarah memang menghendaki “awet” tetap eksis, atau sebaliknya, bahwa memang dunia harus berubah. Jika demikian itu adanya, apakah dalam gerak perubahan, tidak ada tempat bagi refleksi dan makna? Apakah perubahan benar-benar telah menutup jalan kembali?

Untuk menjawabnya, mungkin menarik jika kita meminjam peristiwa mudik untuk menjadi arena refleksi. Apakah mudik pada hari-hari ini adalah peristiwa kembali? Yakni suatu ritus yang sarat makna emosional, eksistensial, bahkan spiritual. Ataukah mudik hanya menjadi bagian dari modus mobilitas. Suatu “pulang” yang bukan untuk menetap, tetapi sekadar pemberhentian dalam arus hidup yang terlalu cepat. Mudik, tapi tidak benar-benar kembali. Kembali ke kampung, bukan untuk “pergi” ke masa lalu, tapi ke tempat lain yang bisa memberi kita pengalaman baru dan foto baru. Yang sungguh dikejar bukan lagi kesinambungan, tetapi perbedaan. Bukan makna, tapi momen. Lantas? [Desanomia – 5.4.25 – TM]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *