Apakah Lesung Telah Hilang dari Desa?

Sumber ilustrasi: unsplash

Oleh: Siti Badriyah
31 Mei 2025 13.30 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Apakah pertanyaan tersebut valid untuk diangkat? Atau, apakah ada keabsahan untuk mempersoalkan keberadaan lesung? Apakah lesung merupakan “sesuatu” yang pada dirinya memiliki identitas tertentu? Benarkah desa adalah pemilik lesung? Dan jika lesung telah tidak ada lagi di desa, maka artinya ada yang mengambil, dibiarkan pergi, atau ada yang membelinya? Bagaimana masalah ini seharusnya dipahami?

***

Memang dibutuhkan riset yang menyeluruh untuk mengetahui asal-usul dari lesung. Baik bentuk, kegunaan maupun maknanya? Siapa penemu lesung? Bahkan, dibutuhkan pula suatu kajian tersendiri untuk mengetahui sejarah kata lesung. Apa pula makna dari kata tersebut, dan apakah makna yang kini hadir sepenuhnya adalah maknanya yang lama, ataukah telah ada perubahan yang diakibatkan perkembangan dan perubahan? Inilah adalah pokok soal tersendiri, yang sudah barang tentu tidak menjadi porsi ulasan singkat ini.

Malah ulasan ini hendak mengandaikan bahwa lesung, dalam bentuk dan maknanya yang kini dipahami adalah begitulah sejak awalnya. Suatu pengandaian yang mungkin untuk para ahli di bidang sejarah, Bahasa, mungkin arkeologi dan desalogi, akan dilihat sebagai langkah yang terlalu menyederhanakan. Anggapan tersebut akan diterima dengan penuh resiko, karena memang ulasan tidak akan masuk ke wilayah kompleks tersebut. Ulasan akan masuk ke dalam isu yang lebih sederhana dan kasat mata, yakni dalam beberapa dekade ini, khususnya setelah gagasan kemajuan yang bertubuh modernisasi, telah menghadirkan sesuatu ke desa, dan tanpa disadari mengekslusi apa yang ada: datang dan pergi.

***

Lesung adalah alat penting dalam tradisi pertanian masyarakat desa, yang digunakan untuk menumbuk padi agar terlepas dari kulit gabahnya. Terbuat dari batang kayu utuh yang dipahat memanjang menyerupai bentuk perahu kecil, lesung memiliki ukuran yang cukup besar: panjangnya sekitar dua meter, lebar setengah meter, dan kedalaman sekitar 40-an cm. Lubang memanjang di bagian tengahnya berfungsi sebagai wadah penumbukan padi. Alat penumbuknya disebut alu, yakni tongkat kayu panjang (sekitar 1,5 meter) yang digenggam dan dihentakkan ke dalam lesung secara berulang untuk menghancurkan kulit gabah. Proses ini biasanya dilakukan secara kolektif, dengan dua atau lebih orang menumbuk secara bergantian atau dengan ritme, menjadikan suara lesung sebagai bagian dari lanskap akustik tradisi pedesaan.

Para cerdik mengatakan bahwa dalam kehidupan masyarakat petani, lesung bukan hanya sekadar alat, melainkan bagian dari tata kehidupan dan pengetahuan lokal yang diwariskan lintas generasi. Setelah padi dipanen, dijemur, dan menjadi gabah, sebagian hasil disimpan di lumbung, dan sisanya diolah untuk konsumsi harian menggunakan lesung. Pada beberapa tradisi gabah diinjak terlebih dahulu agar butir padi terlepas dari tangkainya, lalu dimasukkan ke dalam lesung dan ditumbuk sampai kulitnya pecah dan terpisah dari isinya. Beras yang dihasilkan kemudian ditampi dengan nyiru untuk memisahkan sisa kulit ari. Dengan demikian, lesung diartikan sebagai simbol kemampuan produksi pangan sekaligus perangkat teknologi tradisi yang efektif, hasil dari penyesuaian manusia dengan lingkungannya melalui pengalaman bertani yang panjang dan kolektif. Lesung hadir dalam desa, menjadi bagian dari kehidupan pertanian.

***

Ketika pengunjung museum bertemu lesung, tentu saja akan mudah dijelaskan mengapa alat tersebut ada di sana. Dapat diduga bahwa keberadaannya dalam rangka untuk membangun narasi tentang cara hidup masyarakat di masa lalu. Dalam kasus ini, lesung tentu bukan pergi, bukan pula menjadi “obyek” jual beli, namun mungkin lebih masuk akal jika “dipinjam” atau menjadi kepenjangan dari “pemilik”nya, untuk menjadi sarana dalam partisipasi desa dengan tradisi pertaniannya dalam sejarah bangsa yang direpresentasikan oleh museum. Soal berikut adalah apakah narasi yang dihadirkan adalah benar-benar mewakili apa yang nyata ada, ataukah disana telah ada “edit”, yang dengan demikian ada yang ditampilkan dan ada yang dimangkirkan. Suatu diskusi tentu terbuka untuk digelar, dan siapapun bisa ambil bagian untuk mengajukan pandangan, kesaksian dan tentu mempersoalkan kesemuanya itu.

Apa yang mengundang diskusi dengan rasa ingin tahu yang lebih besar adalah ketika lesung ada di tempat lain, yang jika boleh disederhanakan bahwa kehadirannya lesung lebih sebagai “asesoris” atau bagian dari dekolarasi. Apakah itu di café, restoran, hotel atau sejenisnya. Lesung menjadi metode untuk membangun narasi tentang tempat tersebut yang merujuk kepada suasana dimana lesung seharusnya ada. Bahkan tidak jarang, untuk memperkuat narasi, tata ruang dilengkapi dengan foto atau lukisan pendukung, dan alat-alat lain. Apa yang dapat dikatakan di sini adalah bahwa desa seakan-akan hendak dihadirkan sebagai “latar”, entah dalam kerangka estetika, sejarah atau sekedar memberikan rasa nyaman dengan suasana pedesaan. Soalnya, apakah hal yang demikian itu merupakan suatu kekeliruan, ketidaktepatan, atau merupakan kewajaran, karena memang lesung telah tidak pada tempatnya?

***

Apa yang dimaksud bahwa lesung telah tidak pada tempatnya? Tentu saja pernyataan tersebut sangat terkait dengan anggapan bahwa ketika lesung telah tidak lagi ada di desa, sebagaimana yang digambarkan di atas, merupakan hal yang wajar. Mengapa? Karena mungkin secara efektif, lesung tidak lagi menjadi bagian dari peralatan produksi. Ketika kapasitas produksi dipersoalkan, ketika efisiensi diterapkan, ketika skala ekonomi menjadi ukuran, dan berbagai ide yang sebelumnya tidak dikenal, membuat peralatan lama menjadi makin kehilangan dasar untuk dipertahankan. Hal itulah yang memberi dasar bagi datangnya peralatan yang lebih cepat, lebih banyak, lebih efisien, lebih murah dan lebih menguntungkan. Kedatangan alat tersebut, dan penggunaannya, dengan sendirinya mengeksklusi yang selama ini digunakan, termasuk lesung. Dan dengan begitu lesung pergi ke tempat lain.

Apa makna dari peristiwa tersebut? (1) hilangnya keterlibatan otentik. Dengan tergantikannya lesung oleh mesin, relasi tubuh terhadap kerja berubah. Dari yang semula bersifat taktil dan ritmis, menjadi mekanis dan terpisah. Tidak lagi mengalami kerja, melainkan mengawasi kerja. Hilanglah pengalaman keberadaan yang menyatu dengan proses alam. (2) terputusnya lingkaran kehidupan tradisional. Lesung adalah bagian dari realitas sosio-ekologi setempat, yang hadir dalam musim, dalam ritual, dalam bunyi dan syair. Kehilangannya menyiratkan terputusnya keberlangsungan nilai-nilai yang hidup: gotong royong, kesabaran, penghayatan waktu sebagai siklus, bukan sebagai garis lurus menuju efisiensi. (3) transformasi makna benda: dari alat menjadi artefak. Ketika lesung berpindah dari dapur dan ladang ke museum dan hotel, maknanya bergeser dari alat keberlangsungan hidup menjadi simbol estetika atau nostalgia. Artinya tidak lagi “digunakan” dalam arti eksistensial, tetapi “dilihat”—menjadi objek representasi, bukan bagian dari praksis hidup. Atas kesemuanya itulah dapat dikatakan bahwa lesung telah tidak lagi pada tempatnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *