Desa: Ekologi, Ekonomi, dan Epistemologi

Sumber ilustrasi: unsplash

21 Mei 2025 07.40 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Apa yang pada edisi lalu ditulis sebagai “Kebangkitan Epistemologi Desa”, rupanya membawa implikasi yang lebih luas, jika pemikiran tersebut diterima, yakni pergeseran perspektif dalam melihat keberadaan dan kehadiran desa. Dalam pandangan mainstream, desa dipandang dan diketakkan sebagai objek administratif, ruang geografis, atau unit statistik yang sah untuk diintervensi secara teknokratis. Pendekatan ini, meskipun menawarkan kemajuan dalam hal infrastruktur dan layanan dasar, namun tidak bisa diingkari bahwa dengan itu, tidak lagi tampak kenyataan desa yang lebih mendalam dan eksistensial. Jika dimungkinkan, kita ingin mengatakan terjadinya pengaburan kenyataan bahwa desa adalah satuan kehidupan yang menyimpan “kompleksitas ontologis” yang tak dapat direduksi hanya pada angka-angka atau rencana pembangunan. Atas hal tersebut, kita perlu membangun pandangan yang tidak hanya menilai desa dari fungsinya dalam sistem birokrasi pembangunan, melainkan desa sebagai subyek utuh, yang memiliki cara berada yang khas. Ini adalah upaya untuk memulihkan kedudukan desa sebagai subjek utuh dalam arsitektur keberadaan.

Untuk itu, pertanyaan mendasarnya tidak lagi tentang “apa yang dimiliki desa?” melainkan “bagaimana desa ada dalam dunia ini?” Suatu pergeseran perspektif dari pendekatan instrumentalis menuju pendekatan “subyek utuh” atau pendekatan yang dalam studi filsafat mungkin lebih dekat dengan pendekatan ontologis. Pada titik ini, kita tidak lagi melihat desa sebagai tempat atau kawasan, melainkan sebagai modus keberadaan tertentu yang menyatukan kehidupan ekologis, ekonomi, dan epistemik dalam satu tarikan napas eksistensial. Ekonomi dan ekologi bukanlah faktor-faktor eksternal yang dapat ditambahkan atau dikurangi sesuai kebutuhan pembangunan; sebaliknya, keduanya merupakan bagian intrinsik dari cara desa hadir dan hidup. Desa bukanlah sesuatu yang bisa dijelaskan hanya melalui fungsi atau perannya dalam pembangunan(isme), melainkan sebagai formasi kehidupan yang menyimpan logika, ritme, dan rasionalitas sendiri yang tak terpisah dari alam dan pengalaman hidup kolektifnya.

Penyingkapan realitas ini menuntut kita untuk memandang ekologi dan ekonomi sebagai dimensi dalam struktur keberadaan desa, bukan sekadar sebagai domain kebijakan. Ekologi desa tidak sekadar berfungsi sebagai latar atau sumber daya yang tersedia, tetapi merupakan jaringan keterhubungan yang “membentuk dan membatasi” cara hidup komunitas. Ekologi dalam desa adalah tanah yang tidak hanya ditanami, tetapi juga dihormati; sungai yang tidak hanya mengalirkan air, tetapi juga makna; dan hutan yang tidak hanya menghasilkan kayu, tetapi juga menampung mitos kolektif. Sementara itu, ekonomi desa tidak dapat disamakan begitu saja dengan sistem pasar modern, melainkan mode interaksi nilai yang khas, di mana pertukaran bukan hanya soal komoditas, melainkan relasi yang lebih kompleks, yang langsung tersambung dengan seluruh relasi dalam hidup bersama. Pengetahuan, atau epistemologi desa, tidak muncul sebagai sistem abstrak yang mengatur kedua dimensi ini dari luar, melainkan tumbuh dari dan bersama mereka. Suatu refleksi dari hidup yang dijalani, bukan dari logika yang diterapkan.

Dengan demikian, epistemologi desa membawa kita pada perluasan makna pengetahuan: dari sekadar knowing kepada being. Pengetahuan dalam desa tidak terlepas dari keberadaan, tetapi bagian dari cara berada. Validitas pengetahuan desa tidak diuji melalui laboratorium, tetapi melalui keberlanjutan hidup. Dalam pengertian ini, epistemologi desa adalah titik masuk untuk menyibak keberadaan itu sendiri. Melalui pemahaman terhadap cara desa mengetahui, kita sekaligus dituntun untuk memahami bagaimana desa ada: dalam hubungan dengan tanahnya, dalam kerja dan distribusi nilainya, serta dalam cara ia menjaga dan mewariskan pengetahuan. Epistemologi, ekonomi, dan ekologi, dengan demikian, adalah tiga dimensi dari keberadaan desa yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Dari pemahaman ini, kita sampai pada sebuah pandangan bahwa desa harus dipahami sebagai realitas berdimensi ekologi, ekonomi, dan epistemologi, dalam satu kesatuan eksistensial. Ketiganya bukanlah komponen-komponen yang dapat dianalisis secara terpisah, tetapi adalah modus eksistensial yang membentuk dan membatasi satu sama lain. Dalam pemahaman ini, kita dapat membaca desa sebagai sistem kehidupan yang utuh dan organik, di mana cara berada menjadi dasar bagi cara mengetahui dan cara mengorganisasi kehidupan. Dengan dasar itu, kita akan masuk dalam eksplorasi lebih jauh: pertama, tentang bagaimana ketiga dimensi tersebut bekerja sebagai dasar eksistensial desa; dan kedua, tentang bagaimana interaksi antara ketiganya melahirkan apa yang disebut sebagai kultur, sosial, dan politik.

***

Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa hal tentang pembangunan, pengetahuan, dan keberlanjutan desa, direduksi menjadi sekadar satuan administratif atau kawasan geografis yang pasif. Reduksi ini tidak hanya menyederhanakan realitas kompleks desa, tetapi juga mengaburkan kontribusi substansialnya sebagai ruang hidup yang kaya makna. Paradigma pembangunan yang bersifat sentralistik dan top-down menempatkan desa sebagai obyek intervensi teknokratik, bukan sebagai subyek historis dan ontologis yang memiliki cara hidup, sistem nilai, dan cara mengetahui yang khas. Oleh karena itu, sebagaimana telah disebutkan di atas, kita perlu menyusun kembali pandangan kita, sedemikian sehingga desa terlihat jelas sebagai suatu (struktur) kehidupan yang utuh. Dalam kerangka ini kita mengusulkan pemahaman bahwa desa merupakan formasi realitas yang mencakup tiga dimensi utama: ekologi, ekonomi, dan epistemologi.

Pertama, dimensi ekologi menempatkan desa sebagai ruang hidup (ruang bermukim) yang berakar pada keterikatan ekologis yang dalam. Desa bukan sekadar lokasi fisik yang dihuni manusia, tetapi sebuah ekosistem kehidupan di mana manusia dan alam terhubung secara intim dan timbal balik. Hubungan ini bukan relasi eksploitatif seperti yang dominan dalam logika industrial modern, melainkan relasi koeksistensi yang penuh penghargaan terhadap ritme dan keseimbangan alam. Dalam kehidupan desa, musim, cuaca, siklus tanam dan panen, hingga orientasi ruang, semuanya menunjukkan bagaimana relasi ekologis membentuk kesadaran kolektif komunitas. Ekologi dalam konteks ini bukan semata kondisi material, tetapi juga simbolik: tanah bukan hanya lahan, melainkan tanah-tumpah darah; sungai bukan hanya sumber air, melainkan alur kehidupan. Maka, ekologi desa bukan sekadar latar dari kehidupan sosial, melainkan elemen konstitutif dari cara desa memahami dan menata keberadaannya.

Kedua, dimensi ekonomi dalam desa tidak dapat dipahami melalui kerangka teori ekonomi modern yang bersifat formal dan abstrak. Ekonomi desa bersifat konkret, berbasis relasi, dan tertanam dalam jaringan sosial yang hidup. Sistem pertukaran dalam desa tidak selalu dimediasi oleh uang atau harga, melainkan oleh ikatan sosial, norma kekerabatan, dan tanggung jawab kolektif. Logika ekonomi desa lebih mendekati prinsip kecukupan, keadilan dan keberlanjutan (keseimbangan), ketimbang prinsip akumulasi dan efisiensi. Dalam optik ideal, praktik seperti gotong royong, simpan pinjam antar warga, pembagian hasil panen, dan kegiatan kerja bersama mencerminkan bagaimana ekonomi desa merupakan sirkulasi nilai yang tidak terpisah dari moral hidup bersama. Dalam artian ini, ekonomi desa merupakan praksis nilai, bukan hanya mekanisme produksi dan konsumsi. Sesuatu yang berfungsi untuk memastikan keberlangsungan hidup bersama dalam kecukupan dan keadilan, serta kemanusiaan.

Ketiga, dimensi epistemologi menjadi aspek yang paling sering terabaikan dalam pembacaan modern atas desa. Padahal, desa adalah ruang epistemik yang aktif, tempat di mana pengetahuan diproduksi, disebarkan, dan diwariskan. Pengetahuan desa tidak netral, tetapi terikat secara erat dengan pengalaman hidup dan keterlibatan langsung dengan dunia. Pengetahuan tidak dipahami sebagai akumulasi informasi, melainkan sebagai hasil dari interaksi antara manusia dan realitas sehari-hari. Boleh dikatakan bahwa pengetahuan desa bersifat “tertatam” dan “kontekstual”, tidak dipisahkan dari tubuh yang bekerja, dari alam yang dihadapi, dan dari komunitas yang berbagi pengalaman. Dalam konteks ini, epistemologi desa adalah bentuk rasionalitas yang terlibat secara eksistensial, di mana kebenaran diuji dalam praksis hidup, bukan dalam abstraksi laboratorium. Format pengetahuan ini umumnya bersifat naratif: petuah, cerita rakyat, peribahasa, dan ritus, yang semuanya menjadi medium transmisi pengetahuan dan nilai. Validitas pengetahuan desa bukan pada sistem formalnya, melainkan pada kemampuannya menjaga kehidupan, keberlanjutan, dan “harmoni desa” (tentu dalam makna yang memuat pula kompleksitas desa).

Dengan memahami desa melalui tiga dimensi ini, ekologi, ekonomi, dan epistemologi, kita memperoleh pandangan yang lebih utuh dan mendalam tentang keberadaan, makna dan seluruh potensi desa. Kita menyadari bahwa desa bukanlah entitas yang tertinggal, melainkan sistem kehidupan yang memiliki rasionalitas dan kosmologi sendiri. Justru dalam keadaan dunia seperti sekarang ini, yang tengah dikepung berbagai masalah, seperti perubahan iklim, ketimpangan ekonomi, dan kesenjangan pengetahuan, desa (dengan seluruh kehadirannya) sangat mungkin menjadi sumber inspirasi bagi alternatif peradaban yang lebih manusiawi. Pada titik inilah kita ingin melihat bahwa politik, sosial dan kultur, pada dasarnya adalah hal yang muncul dalam interaksi ekologi, ekonomi dan epistemologi.

***

Refleksi di atas, yang melihat desa sebagai entitas tridimensional, yakni ekologi, ekonomi, dan epistemologii kita sampai pada suatu kenyataan lain bahwa interaksi ketiga dimensi tersebut, melahirkan apa yang ingin disebut di sini sebagai bentuk-bentuk realitas sekunder yang membentuk struktur kehidupan bersama. Politik, sosial, dan kultur dalam desa tidak hadir sebagai kategori yang terpisah atau otonom, melainkan merupakan bentuk yang dimunculkan dari dialektika antar dimensi utama. Dengan kata lain, desa bukan sekadar tempat berlangsungnya aktivitas sosial, politik, dan kultural, tetapi merupakan ruang di mana ketiga realitas tersebut lahir secara organik dari interaksi antara cara hidup ekologis, ekonomi berbasis relasi, dan epistemologi yang mengakar dalam pengalaman dunia-hidup.

Pertama, dimensi sosial desa dapat dipahami sebagai hasil dari pertemuan antara ekologi dan ekonomi. Cara komunitas mengelola ruang ekologis dan mendistribusikan nilai-nilai ekonomi menentukan konfigurasi relasi sosial di dalamnya. Relasi kerja, pola kepemilikan dan distribusi lahan, serta sistem pertukaran menciptakan struktur peran, hierarki, dan bentuk-bentuk solidaritas sosial. Ekologi menjadi penentu ritme sosial, musim tanam dan panen menentukan intensitas interaksi, waktu berkumpul, dan ritual komunitas, sementara ekonomi membentuk pola relasi, termasuk potensi ketimpangan. Dalam konteks ini, struktur sosial desa tidak bersifat statis atau normatif, tetapi responsif terhadap perubahan ekologis dan dinamika distribusi nilai. Jaringan sosial, institusi lokal seperti musyawarah atau kerja bakti, adalah bentuk konkret dari artikulasi sosial yang bersumber dari praksis ekologis dan ekonomi.

Kedua, kultur desa merupakan ekspresi simbolik dari relasi ekologis yang dimaknai secara epistemik. Di sinilah tampak bagaimana kultur lahir dari interaksi antara ekologi dan epistemologi. Pengalaman ekologis yang mendalam, dengan tanah, air, hutan, dan musim, tidak hanya menghasilkan pengetahuan teknis, tetapi juga membentuk sistem makna yang hidup dalam bentuk mitos, cerita rakyat, simbolisme ritual, dan norma-norma sosial. Kultur desa dalam kerangka ini dipahami sebagai konstruksi interpretatif atas pengalaman dunia-hidup. Misalnya, larangan menebang pohon tertentu atau pantangan terhadap sungai tertentu bukan sekadar takhayul, tetapi representasi epistemik dari relasi ekologis yang dipelihara dalam kerangka budaya. Dengan demikian, kultur desa adalah narasi bersama tentang bagaimana hidup dijalani dan dimaknai, berdasarkan interaksi konkret dengan alam yang dimediasi oleh pengetahuan yang hidup dan “tertata”.

Ketiga, politik desa muncul dari relasi antara ekonomi dan epistemologi. Politik dalam desa bukan sekadar urusan lembaga administratif atau pemilihan kepala desa, melainkan merupakan cara komunitas mengatur dirinya berdasarkan distribusi nilai dan klaim pengetahuan. Akses terhadap sumber daya ekonomi kerap kali ditentukan oleh siapa yang memiliki legitimasi epistemik, siapa yang dianggap tahu, berpengalaman, dan bijak. Di sisi lain, pengetahuan digunakan baik untuk membenarkan status quo maupun untuk mengorganisasi resistensi. Dalam konteks ini, politik desa mencerminkan dinamika kekuasaan yang dibentuk oleh relasi antara nilai ekonomi dan struktur pengetahuan. Oleh karena itu, memahami politik desa memerlukan pemahaman terhadap bagaimana otoritas epistemik terbentuk dan digunakan untuk mengatur akses serta pengambilan keputusan kolektif. Politik desa bukan sekadar arena konflik atau konsensus, tetapi ruang di mana nilai, pengetahuan, dan kehidupan bersama dipertaruhkan dan dinegosiasikan.

Dari ketiga artikulasi, sosial, kultur, dan politik, tampak bahwa desa merupakan formasi kehidupan yang kompleks dan mandiri. Makin jelas bahwa desa tidak dapat direduksi menjadi satu dimensi saja, dan tidak dapat dimengerti melalui kategori-kategori modern yang terpisah-pisah. Sebaliknya, desa harus dipahami sebagai entitas yang menyatukan ekologi, ekonomi, dan epistemologi dalam jalinan yang menghasilkan struktur sosial, ekspresi budaya, dan organisasi politik yang khas. Dalam kerangka ini, pembangunan desa bukan lagi berfokus pada soal infrastruktur atau administratif, tetapi soal pengakuan dan pemulihan struktur ontologis yang membentuk desa sebagai sistem kehidupan yang utuh. (bersambung). [Desanomia – 21.5.25 – TM]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *