Sumber ilustrasi: pixabay
Oleh: Untoro Hariadi
31 Mei 2025 15.35 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Tulisan “Desa: Satu Wilayah dan Hanya Itu” (desanomia.id 27/5/25) menghadirkan satu kesadaran penting: bahwa desa bukan ruang kosong yang siap dibentuk sesuai ambisi modernisasi, tetapi entitas hidup dengan batas-batas yang tidak bisa dinegosiasikan. Namun, kesadaran ini masih belum cukup jika tidak dilengkapi dengan pembacaan atas relasi kuasa yang membentuk ilusi pertumbuhan dan narasi pembangunan yang menutup kemungkinan lain dari hidup desa.
Ketika pembangunan didefinisikan hanya sebagai penambahan fasilitas, kenaikan pendapatan, atau keterhubungan dengan jaringan digital, maka seluruh aspek kehidupan desa direduksi ke dalam angka-angka statistik yang tidak pernah benar-benar mencerminkan kualitas hidup. Di balik klaim efisiensi dan akselerasi, ada penghapusan cara pandang alternatif yang lebih mengakar dan lebih selaras dengan ritme ekologis desa. Ini bukan sekadar soal pendekatan yang berbeda, tetapi soal keberpihakan: berpihak pada keberlanjutan atau pada kehendak pertumbuhan yang melampaui daya dukung.
Kritik terhadap pembangunan desa sering kali berhenti pada teknis pelaksanaan atau efisiensi kebijakan. Padahal, sebagaimana ditunjukkan dalam tulisan tersebut, yang harus dikritik adalah asumsi dasarnya: bahwa desa mesti mengejar standar pertumbuhan tertentu agar dianggap berhasil. Ini adalah warisan logika modern yang tidak mempersoalkan “untuk siapa” dan “dari mana” ukuran keberhasilan itu berasal.
Ketika pembangunan dijadikan satu-satunya jalan untuk menjawab tantangan zaman, desa terjebak dalam arena kompetisi yang tidak ia ciptakan sendiri. Bahkan, ukuran keberhasilan seperti pertumbuhan ekonomi desa atau kenaikan indeks pembangunan manusia sering kali tidak menyentuh akar persoalan struktural, seperti ketimpangan kepemilikan tanah, migrasi paksa anak muda, atau rusaknya sistem pangan lokal. Hal-hal mendasar ini justru kerap tersembunyi di balik slogan “desa mandiri” yang secara semantik terdengar indah, tetapi secara praksis rentan dimanfaatkan oleh kepentingan pasar dan negara.
Namun, satu hal yang perlu diperkuat adalah bahwa keterbatasan itu bukan sekadar soal ruang atau fisik geografis. Ia juga mencakup dimensi pengetahuan dan cara hidup. Ruang desa dibentuk bukan hanya oleh tanah dan tata batas administratif, tetapi oleh relasi sosial, nilai kultural, dan pengetahuan lokal yang mengikat manusia dengan tanahnya.
Tanpa pengakuan terhadap sistem pengetahuan lokal, intervensi pembangunan cenderung bersifat eksploitatif, bukan kolaboratif. Misalnya, dalam pengelolaan air, sistem irigasi tradisional seperti “subak” di Bali atau “pengelolaan sendang” di Jawa mengandung kearifan ekologis yang sudah teruji oleh waktu. Namun ketika diganti dengan pendekatan teknokratis semata, keberlanjutan justru terganggu. Keterbatasan bukan kelemahan; ia adalah bentuk kedewasaan ekologis yang dibentuk oleh sejarah panjang interaksi manusia dengan lingkungannya.
Konstitusi sosio-ekologis yang disebut dalam artikel adalah gagasan penting yang bisa menjadi alat refleksi kritis terhadap pendekatan pembangunan saat ini. Namun, konstitusi ini tidak akan hidup tanpa keberanian untuk mengatakan tidak pada narasi besar pembangunan dari luar. Kita perlu menegaskan bahwa regenerasi tidak bisa berlangsung dalam sistem yang menjadikan desa sebagai objek eksploitasi data, buruh murah, atau sekadar pasar produk-produk digital.
Konstitusi ini harus diterjemahkan dalam keberanian warga untuk menolak proyek yang mencederai keseimbangan desa, serta dalam kemauan pemerintah untuk lebih banyak mendengar dan lebih sedikit mengatur. Konstitusi ini tidak bisa dikodifikasi begitu saja dalam aturan formal, tetapi hidup dalam praktik keseharian warga: cara mereka menanam, berbagi hasil, mengelola konflik, dan merawat sumber daya. Ia adalah hukum hidup yang tidak tertulis, tetapi menjadi sandaran eksistensial desa selama berabad-abad.
Konsep regenerasi pun seharusnya tidak dilihat sebagai respons pasif atas kerusakan. Ia justru harus dimaknai sebagai tindakan aktif untuk menyusun ulang cara hidup yang berpihak pada keberlanjutan dan keadilan ekologis. Ini artinya, regenerasi juga adalah tindakan politik. Menolak proyek tambang, mempertahankan hutan adat, membangun kembali pasar desa, hingga menanam varietas lokal yang terlupakan—semuanya adalah bentuk perlawanan terhadap sistem yang menolak keberbatasan dan menyembah pertumbuhan.
Dalam konteks ini, regenerasi bukanlah pekerjaan segelintir aktivis, tetapi tugas kolektif seluruh warga desa yang berani menata ulang arah hidupnya. Ia menuntut rekonstruksi nilai dan relasi: bagaimana produksi dikembalikan ke skala komunitas, bagaimana konsumsi dikendalikan agar tidak berlebihan, dan bagaimana relasi antar manusia dijaga agar tidak terpecah oleh logika kompetisi ekonomi yang individualistik.
Tulisan ini menyentuh aspek filosofis penting dari keberadaan desa. Namun, agar tidak terjebak pada romantisme batas, ia perlu diiringi dengan keberanian praksis: memperjuangkan hak atas tanah, menolak privatisasi air, hingga memperkuat posisi desa dalam menghadapi kuasa modal. Kesadaran akan batas baru berarti ketika ia menuntun kita untuk bertindak. Kesadaran tanpa keberanian politik hanya akan menjadi kesedihan yang dibaca ulang terus-menerus.
Jika batas hanya menjadi objek kontemplasi tanpa diterjemahkan dalam gerakan dan kebijakan, maka ia justru akan diperalat oleh kekuatan eksternal yang menjadikan “keterbatasan” sebagai alasan untuk intervensi tanpa batas. Maka penting untuk menyatukan kesadaran, keberanian, dan strategi; tidak sekadar bertahan dalam ruang-ruang refleksi, tapi turun ke lapangan untuk membela tanah, air, dan budaya dari ancaman kapitalisme yang menyamar dalam bentuk bantuan, proyek, dan investasi.
Maka, batas bukan akhir. Ia justru adalah awal dari penataan ulang hidup, dari cara membangun dengan arah yang berbeda—bukan lebih banyak, tetapi lebih cukup; bukan lebih luas, tetapi lebih dalam. Desa tidak membutuhkan pertumbuhan tak terbatas. Ia membutuhkan penghormatan. Karena di balik sawah yang tinggal setengah, sungai yang makin dangkal, dan anak muda yang pergi mencari kerja di kota, ada panggilan untuk membangun hidup yang tidak terus menerus mengorbankan yang lokal demi yang global.
Di sinilah kita perlu mendengar ulang suara desa yang sering kali teredam oleh narasi besar: suara yang tidak bicara tentang kompetisi, tetapi tentang kesinambungan; suara yang tidak mengejar kecepatan, tetapi kedalaman. Desa yang merdeka adalah desa yang tahu siapa dirinya, tahu batasnya, dan tahu bagaimana merawat hidup di dalam batas itu dengan penuh tanggung jawab.
Penutup
Kesadaran bahwa desa adalah ruang terbatas seharusnya bukan menjadi alasan untuk menyerah pada stagnasi, melainkan dasar untuk membangun bentuk hidup yang lebih bijak, lestari, dan adil. Dalam keterbatasan itulah, kita dipanggil untuk tidak mengeksploitasi, tetapi merawat; tidak menaklukkan, tetapi menyatu. Regenerasi menjadi bukan sekadar pemulihan lingkungan, tetapi juga pemulihan martabat desa sebagai ruang hidup yang utuh.
Kita tidak memerlukan desa yang menjadi kota kecil, melainkan desa yang tahu batasnya dan tetap hidup penuh makna di dalam batas itu. Inilah makna hidup dalam konstitusi sosio-ekologis: bukan hukum yang dibuat-buat, tetapi hukum yang diwarisi dari kebijaksanaan hidup bersama alam. Hanya dengan menghormati batas, kita bisa menjaga masa depan yang layak dihuni, bukan hanya untuk manusia, tetapi juga untuk tanah, air, tumbuhan, dan segala kehidupan yang menyatu di dalam desa.
Dr. Untoro Hariadi
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Janabadra