Sumber ilustrasi: Pixabay
4 Juli 2025 10.20 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [04.07.2025] Sebuah tim ilmuwan dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) mengembangkan perangkat baru berbentuk “bubble wrap” berteknologi tinggi yang mampu menyerap uap air dari udara dan mengubahnya menjadi air minum, bahkan di tempat ekstrem seperti Death Valley, gurun paling kering di Amerika Utara. Temuan ini dipublikasikan dalam jurnal Nature Water pada 11 Juni lalu.
Teknologi ini disebut sebagai langkah signifikan menuju solusi air bersih global, karena tidak memerlukan listrik, memanfaatkan kelembapan udara malam hari, dan mampu bekerja di hampir semua lokasi dengan kandungan uap air.
Masalah kelangkaan air bersih merupakan tantangan global yang terus memburuk akibat perubahan iklim, pertumbuhan populasi, dan degradasi lingkungan. Sebelumnya, berbagai teknologi pemanen air atmosfer telah dikembangkan, namun banyak di antaranya bergantung pada sumber daya energi atau infrastruktur yang tidak tersedia di wilayah terpencil.
Konsep pemanen uap air bukanlah hal baru, tetapi sebagian besar teknologi serupa masih memiliki keterbatasan seperti efisiensi rendah, ukuran besar, atau kontaminasi hasil panen oleh bahan kimia tambahan. MIT mencoba menjawab kelemahan ini dengan pendekatan material dan desain baru.
Perangkat ini terdiri dari lapisan hydrogel, yang merupakan bahan superabsorben, yang dikapit di antara dua lapisan kaca seperti jendela. Hydrogel ini dirancang membentuk kubah-kubah kecil seperti gelembung bubble wrap yang mengembang saat menyerap uap air dari udara pada malam hari. Siang harinya, uap tersebut mengembun di permukaan kaca berlapis khusus yang tetap dingin, lalu menetes ke dalam sistem tabung penampung.
Selama pengujian selama tujuh hari di Death Valley, dimana lokasi tersebut bersuhu ekstrem dan kelembapan sangat rendah, perangkat ini menghasilkan sekitar 57 hingga 161,5 mililiter air per hari. Jumlah tersebut mungkin tampak kecil, namun para peneliti menekankan bahwa di lokasi dengan kelembapan lebih tinggi, hasilnya bisa meningkat secara signifikan.
Efisiensi perangkat ini didukung oleh desain permukaan melengkung dari hydrogel yang meningkatkan luas area penyerapan tanpa memperbesar ukuran keseluruhan perangkat. Selain itu, sistemnya bekerja secara pasif, tanpa bantuan kipas atau sumber energi eksternal.
Salah satu pencapaian penting lainnya adalah keberhasilan tim dalam mengatasi masalah kontaminasi garam litium, senyawa yang biasa digunakan dalam hydrogel untuk meningkatkan penyerapan, namun kerap larut ke dalam air dan membahayakan kesehatan manusia. Untuk mengatasi permasalahan ini, para peneliti menambahkan glycerol sebagai penstabil yang mampu menekan kebocoran litium hingga di bawah 0,06 ppm, batas aman yang ditetapkan oleh US Geological Survey.
Dalam aspek desain fungsional, panel air ini sangat modular. Satu panel tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, namun delapan panel berukuran 1 x 2 meter sudah diperkirakan mampu menyuplai air bersih bagi satu keluarga. Dikarenakan desainnya yang ramping dan dipasang secara vertikal membuat panel ini menjadi sangat efisien ruang.
Peneliti utama sekaligus profesor teknik mesin dan teknik sipil-lingkungan MIT, Xuanhe Zhao, menjelaskan bahwa teknologi ini bisa diperluas dan dimodifikasi untuk skala yang lebih besar. Dirinya mengatakan bahwa mereka membayangkan suatu hari nanti panel-panel ini dapat dipasang dalam jumlah besar sebagai sumber air terbarukan di daerah yang kekurangan air.
Dalam uji coba awal panel air tersebut juga menunjukkan daya tahan dan efisiensi tinggi tanpa memerlukan pemeliharaan rutin atau sumber energi tambahan. Artinya teknologi ini dapat dipakai dalam jangka panjang di lokasi-lokasi minim infrastruktur.
Perangkat ini menawarkan pendekatan realistis terhadap masalah akses air minum, khususnya di wilayah rawan kekeringan, daerah konflik, atau lokasi bencana. Selain itu, dikarenakan tidak membutuhkan energi, teknologi ini dapat digunakan dan dikembangkan di negara berkembang dengan jaringan listrik terbatas.
Meski saat ini kapasitas per panel masih terbatas, namun skalabilitas sistem dan biaya yang relatif rendah, bahkan diperkirakan bisa menutup biaya produksinya dalam waktu kurang dari sebulan dibandingkan harga air kemasan di AS, menjadikannya opsi menarik untuk pengembangan lebih lanjut.
Langkah selanjutnya bagi tim MIT adalah melakukan pengujian lebih luas di berbagai kondisi lingkungan ekstrem. Ini bertujuan untuk mengevaluasi kinerja sistem di daerah tropis, lembap, maupun berpolusi, guna mengetahui potensi adopsi global dari teknologi ini.
Dengan menggabungkan sains material, rekayasa desain, dan pemikiran berkelanjutan, inovasi ini menunjukkan bagaimana teknologi sederhana namun cerdas dapat memberikan solusi nyata terhadap salah satu tantangan terbesar umat manusia, yakni mendapatkan akses terhadap air bersih. (NJD)
Diolah dari artikel:
“MIT’s high-tech ‘bubble wrap’ turns air into safe drinking water — even in Death Valley” oleh Damien Pine