Sumber ilustrasi: Freepik
10 Oktober 2025 12.35 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Apa yang dimaksud dengan kelimpahan likuiditas? Dari sudut pandang umum (publik), barangkali dapat dikatakan bahwa keadaan kelimpahan likuiditas terjadi ketika volume uang dalam sistem keuangan “meningkat drastis”, baik melalui ekspansi moneter bank sentral, pelonggaran kebijakan kredit, akumulasi dana di sektor perbankan dan pasar modal, atau mungkin tindakan otoritas fiskal yang bersifat moneter.
Kondisi yang demikian itu, dalam kacamata mainstream, ditandai oleh rendahnya suku bunga, meningkatnya cadangan perbankan, dan melimpahnya dana yang siap dialirkan ke berbagai sektor. Likuiditas yang berlimpah dapat menciptakan kesan awal bahwa sistem ekonomi sedang dalam kondisi sehat dan siap tumbuh.
Pada fase awal, kelimpahan likuiditas menciptakan perasaan stabilitas dan optimisme. Pelaku usaha merasa memiliki lebih banyak akses pada pembiayaan, sektor perbankan menunjukkan kemampuan menyalurkan kredit, dan rumah tangga merasakan kemudahan dalam konsumsi serta pembiayaan. Sektor keuangan mengalami peningkatan aktivitas karena dana beredar dengan cepat ke dalam instrumen investasi jangka pendek.
Namun, dalam kondisi struktural yang rapuh, kelebihan likuiditas tidak serta-merta mengalir ke sektor produksi. Banyak dana tersimpan sebagai cadangan atau dialokasikan ke aset non-produktif seperti properti, saham, atau komoditas. Hal ini menciptakan dislokasi antara ketersediaan dana dan kapasitas produksi riil. Ketika kredit menganggur dan investasi ragu-ragu, likuiditas menjadi tidak efektif sebagai motor pertumbuhan nyata.
Dampak jangka pendek dari kelimpahan likuiditas dapat berupa inflasi aset. Harga saham, tanah, dan logam mulia naik lebih cepat dari kemampuan produksi untuk mengimbanginya. Fenomena ini menguntungkan pemilik modal dan pemegang aset, namun menciptakan jurang akses bagi kelompok masyarakat tanpa kepemilikan. Ketimpangan ekonomi membesar seiring dengan naiknya nilai nominal kekayaan kelompok atas.
Sektor perbankan dapat mengalami tekanan yang paradoksal. Di satu sisi, dana simpanan meningkat. Di sisi lain, ketiadaan permintaan kredit produktif menyebabkan bank kehilangan peluang memperoleh margin keuntungan dari bunga pinjaman. Akibatnya, bank lebih memilih menempatkan dana dalam surat utang negara atau investasi jangka pendek yang aman, alih-alih mendukung sektor riil.
Jika kelimpahan likuiditas terus berlangsung tanpa didukung permintaan riil, maka konsumsi masyarakat cenderung terbentuk oleh ilusi daya beli. Kenaikan konsumsi yang tidak berbasis pada pendapatan produktif menciptakan siklus ketergantungan pada kredit konsumsi. Ketika momentum ekspansi melemah, risiko gagal bayar berpeluang meningkat, dan jika benar terjadi, sektor keuangan akan mengalami tekanan yang lebih besar.
Dalam sistem moneter terbuka, kelimpahan likuiditas dalam negeri dapat mendorong arus modal keluar. Investor mencari imbal hasil lebih tinggi di pasar luar negeri, apalagi jika nilai tukar domestik menunjukkan volatilitas. Tekanan terhadap mata uang meningkat, dan intervensi moneter menjadi semakin mahal karena cadangan devisa perlu digunakan untuk menstabilkan kurs.
Pada tahap tertentu, kelebihan likuiditas memperbesar potensi spekulasi dan pembentukan gelembung harga. Ketika dana tidak menemukan ruang produktif, modal mencari keuntungan dari selisih harga yang semu. Gelembung ini rapuh dan mudah pecah begitu ekspektasi pasar berubah. Krisis kepercayaan dapat muncul secara tiba-tiba, menular cepat ke seluruh sektor ekonomi.
Dampak jangka panjang dari kelimpahan likuiditas yang tidak diikuti restrukturisasi sektor produksi adalah stagnasi yang terakumulasi. Sistem ekonomi tetap berputar di permukaan, tanpa perubahan fondasi yang signifikan. Sektor usaha mikro dan kecil tetap kesulitan akses terhadap pembiayaan, sementara sektor besar justru mengalami kelebihan dana tanpa arah.
Ketika dana terus berputar di sektor keuangan dan bukan di produksi, struktur ekonomi menjadi terpisah antara dunia uang dan dunia kerja. Nilai tukar, harga saham, dan indikator pasar menunjukkan pemulihan, namun lapangan kerja dan kapasitas produksi nasional tidak mengalami peningkatan sepadan. Ini menciptakan ekonomi dua kecepatan yang sulit dipersatukan kembali.
Daya beli masyarakat jangka panjang tergerus oleh inflasi yang tidak disadari. Harga barang kebutuhan pokok naik seiring dengan meningkatnya biaya produksi dan distribusi yang dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tukar dan tekanan eksternal. Sementara itu, pendapatan riil rumah tangga tidak bergerak karena stagnasi produktivitas.
Di tingkat kebijakan, otoritas moneter menghadapi dilema yang semakin kompleks. Setiap upaya menarik likuiditas melalui pengetatan moneter dapat memicu kepanikan pasar dan memperlambat pertumbuhan. Namun, mempertahankan likuiditas longgar terlalu lama akan memperbesar risiko ketidakseimbangan sistemik. Ruang kebijakan menjadi sempit dan penuh konsekuensi.
Ketika sistem fiskal tidak mampu menyerap dan mengalirkan likuiditas ke sektor produktif, maka otoritas fiskal kehilangan daya distribusinya. Investasi publik menjadi tumpul, dan program-program strategis tidak berjalan optimal karena keterbatasan implementasi, bukan karena kekurangan dana. Dana melimpah, tetapi tidak mampu membangkitkan kapasitas produksi masyarakat luas.
Ketimpangan antara pusat dan pinggiran semakin terasa. Wilayah dengan infrastruktur dan akses perbankan yang baik menyerap likuiditas lebih besar, sementara wilayah miskin dan terpencil tetap kekurangan modal produktif. Ketimpangan spasial ini memperdalam fragmentasi ekonomi nasional dan memperlemah kohesi sosial.
Kelimpahan likuiditas, jika dibiarkan sebagai strategi tunggal tanpa pembenahan sistem produktif dan distribusi nilai, akan berakhir sebagai siklus yang menciptakan kemakmuran semu. Dalam jangka panjang, bukan hanya stabilitas ekonomi yang terancam, tetapi juga legitimasi sistem keuangan dan kebijakan publik yang gagal menjangkau kehidupan nyata masyarakat. [desanomia – 101025 – dja]