sumber ilustrasi: pixabay
29 Apr 2025 21.45 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Belum lama ini, media massa, mengutip laporan Bank Dunia berjudul Macro Poverty Outlook edisi April 2025, yang mengatakan bahwa data Bank Dunia: 60,3% Penduduk Indonesia Miskin (lihat: cnbcindonesia.com, 29 April 2025 10:40). Jika data tersebut dapat diterima, maka yang tampak sebenarnya lebih dari sekadar kondisi ekonomi individu, namun dapat dilihat sebagai penyingkapan atas ketimpangan sistemik yang membentuk struktur masyarakat. Di tengah narasi resmi yang menekankan keberhasilan pengentasan kemiskinan, angka tersebut sudah barang tentu mengganggu kenyamanan statistik dan memaksa kita merekonstruksi pemahaman tentang kesejahteraan. Jika lebih dari separuh populasi belum mencapai ambang minimum hidup layak menurut standar global menengah atas, maka sesungguhnya kita tengah berhadapan dengan masalah pembangunan yang lebih mendasar, bukan sekadar pembicaraan tentang kantong-kantong kemiskinan yang tersisa.
Ketimpangan yang dimaksud di sini bukan hanya dalam distribusi pendapatan, melainkan dalam distribusi peluang: kesempatan untuk mengakses pendidikan berkualitas, pekerjaan yang layak, layanan kesehatan yang adil, dan keamanan sosial yang stabil. Seseorang yang berada tepat di atas garis kemiskinan nasional mungkin tidak lagi tercatat sebagai miskin, namun kehidupannya tetap diliputi keterbatasan — mereka harus memilih antara menyekolahkan anak atau membeli obat, antara menabung atau makan layak. Dalam situasi seperti itu, kehadiran negara menjadi persoalan mendasar, bukan sebagai penyedia angka statistik, tetapi sebagai penjamin realisasi hak-hak sosial-ekonomi warga.
Ketika angka 60,3% diinterpretasikan sebagai krisis ketimpangan struktural, maka pendekatan kebijakan yang hanya fokus pada garis kemiskinan absolut menjadi usang. Pendekatan tersebut cenderung menormalisasi standar hidup yang minim dan membatasi ambisi negara terhadap kesejahteraan kolektif. Mengentaskan orang dari garis “lama” tidak cukup jika mereka tetap hidup dalam keterbatasan fungsional. Maka, pertanyaannya bergeser dari “siapa yang paling miskin?” menjadi “mengapa begitu banyak yang tidak sejahtera?”, yang mengharuskan kita menggali lebih dalam ke akar persoalan: struktur ekonomi yang terkonsentrasi, kebijakan redistributif yang lemah, pasar tenaga kerja yang tidak inklusif, serta sistem pendidikan dan kesehatan yang belum menyentuh banyak kalangan secara setara.
Angka tersebut, dalam batas-batas tertentu dapat dipakai sebagai sarana refleksi untuk melihat kembali pembangunan dalam dimensi partisipasi. Ketika sebagian besar penduduk tidak mampu menjalani kehidupan yang memungkinkan mereka berkontribusi penuh dalam masyarakat, baik sebagai warga negara, pekerja, atau pembelajar, maka demokrasi sosial pun kehilangan substansinya. Tidak adanya akses terhadap mobilitas sosial vertikal membuat kemiskinan menjadi lebih dari sekadar status ekonomi; ia menjadi reproduksi ketidakberdayaan antargenerasi. Dalam kerangka ini, statistik berubah menjadi diagnosis struktural, dan intervensi kebijakan tak bisa lagi bersifat karitatif atau simbolik.
Dengan demikian, angka itu bukan sekadar ukuran deviasi dari norma statistik, tetapi ukuran deviasi dari janji republik itu sendiri: bahwa setiap warga negara berhak hidup layak, aman, dan bermartabat. Maka, angka tersebut patut dibaca sebagai seruan untuk mendistribusikan kembali perhatian kebijakan, bukan hanya terhadap yang berada di bawah garis, tetapi terhadap yang belum mendapat akses untuk berkembang. Kesemuanya itu adalah undangan untuk menyusun kembali pembangunan, bukan dalam bentuk grafik makroekonomi, tetapi dalam wujud hidup sehari-hari masyarakat yang bermakna, aman, dan setara. Dalam hal ini, angka menjadi bahasa moral, dan statistik menjadi argumen etis untuk membangun negara yang lebih adil.
***
Apabila sebagian besar warga masih hidup di bawah ambang kesejahteraan yang layak menurut standar global menengah atas, maka kita harus mengakui bahwa masalah kemiskinan tidak dapat diselesaikan semata-mata melalui distribusi bantuan atau ekspansi konsumsi. Sebaliknya, kita perlu membongkar logika pusat–pinggiran yang selama ini memaksa aliran manusia, sumber daya, dan nilai menuju kota-kota besar. Urbanisasi yang tidak terkendali bukan hanya fenomena demografis; ia adalah cerminan dari ketimpangan struktural yang membuat desa menjadi tempat untuk “ditinggalkan”, bukan tempat untuk “hidup”.
Dalam konteks ini, desa seharusnya tidak lagi diperlakukan sebagai ruang pasif yang menunggu intervensi pusat, melainkan sebagai subjek aktif yang mampu merumuskan sendiri arah pembangunannya. Kemiskinan di desa seringkali tidak hanya soal ketiadaan uang, tetapi mungkin semacam lemahnya daya untuk mengorganisasi produksi, mengelola sumber daya, menentukan harga diri kolektif. Dalam konteks ini pula, upaya untuk memperlambat atau bahkan menahan laju urbanisasi bukanlah upaya regresif, melainkan langkah strategis untuk membangun kapasitas hidup dan ekonomi rakyat dari tingkat paling dasar. Segala yang bersifat top down, bukan saja tidak menjawab, melainkan telah terbukti justru menurunkan kapasitas warga.
Jika pembangunan desa ditujukan untuk membangun kembali basis produksi local, dari pertanian yang berorientasi pada nilai tambah, kerajinan yang berbasis budaya lokal, hingga industri mikro yang menopang kebutuhan domestik dan regional, maka desa harus dipahami sebagai tempat bekerja, belajar, dan bermakna. Pembentukan basis produksi ini harus diiringi dengan sistem distribusi dan konsumsi yang mengutamakan sirkulasi ekonomi lokal. Dalam ekosistem semacam ini, penciptaan lapangan kerja bukan bergantung pada ekspansi modal eksternal, tetapi pada penguatan jaringan solidaritas dan kemampuan kolektif desa untuk mengelola kebutuhan dan sumber dayanya sendiri. Pada titik ini pula, konsep desa cukup pangan dapat diinisiasi menjadi langkah strategis desa.
Dengan diberdayakannya desa sebagai pusat ekonomi yang menyadari keberadaanya dalam realitas sosial-ekologi setempat, maka konsep tentang kemiskinan pun dapat diredefinisi secara lokal. Tidak semua standar harus datang dari pusat atau lembaga global; masyarakat desa dapat menentukan sendiri apa yang dianggap layak dan cukup berdasarkan kearifan lokal dan kapasitas ekologis mereka. Di sinilah letak pentingnya pendekatan epistemologi dari bawah: mempercayai bahwa warga desa memiliki pengetahuan untuk merumuskan kebutuhannya, mendefinisikan kesejahteraan, dan merancang masa depan.
Lebih dari itu, pembangunan desa juga memiliki potensi besar untuk menurunkan pengeluaran rumah tangga. Ketika akses terhadap pangan, air bersih, energi, dan layanan dasar dapat disediakan secara lokal, maka biaya hidup bisa ditekan secara signifikan. Dengan menurunnya pengeluaran yang bersifat konsumtif dan eksternal, warga desa dapat menyisihkan lebih banyak untuk tabungan, pendidikan anak, atau investasi kecil. Pada saat yang sama, negara dapat mengalihkan sebagian beban subsidi atau bantuan sosial kepada dukungan strategis untuk memperkuat infrastruktur produksi dan kapasitas kelembagaan desa.
Transformasi desa seperti ini akan menciptakan pola pembangunan yang lebih seimbang antara wilayah. Ia tidak menuntut semua orang untuk pindah ke kota demi kehidupan yang lebih baik, tetapi menciptakan kondisi agar “kehidupan yang lebih baik” bisa dibangun dan dinikmati di desa itu sendiri. Desa bukan lagi sekadar latar belakang bagi pembangunan nasional, tetapi menjadi fondasi nyata dari transformasi sosial yang berkelanjutan dan manusiawi. Dalam skema ini, bukan urbanisasi yang dikejar, tetapi desanisasi pembangunan: meletakkan kembali pusat perhatian pada ruang hidup yang dekat dengan bumi, komunitas, dan sejarah.
Dengan kata lain, pembangunan desa bukan hanya strategi ekonomi, tetapi juga strategi moral dan kultural untuk memulihkan relasi yang lebih adil antara manusia, ruang, dan negara. Menahan laju urbanisasi bukan berarti menutup kemungkinan mobilitas, melainkan membuka kemungkinan baru bagi warga untuk tidak perlu pergi demi hidup yang layak. Di sinilah makna kecukupan, keadilan dan keberlanjutan dihidupi oleh warga: ketika itulah kita yakin bahwa warga akan dapat meletakkan masa depannya didesanya sendiri, bukan sebagai beban negara, tetapi sebagai lokus pembaruan sosial yang tak henti memberi kehidupan.
***
Apabila langkah di atas dimungkinkan, maka upaya memperlambat laju urbanisasi dapat dimaknai sebagai langkah strategis untuk mengembalikan fungsi desa sebagai tempat bermukim yang produktif dan bermartabat. Tantangan berikutnya adalah bagaimana membangun dasar epistemologis dari transformasi tersebut. Desa tidak cukup hanya diberdayakan secara ekonomi dan infrastruktur, tetapi harus ditempatkan sebagai subjek pengetahuan: produsen makna, nilai, dan cara hidup yang sah dan setara. Dalam kerangka ini, pemberdayaan desa akan mencapai bentuk terdalamnya hanya jika disertai dengan pengakuan penuh bahwa desa adalah penghasil pengetahuan, bukan sekadar penerima atau objek dari pengetahuan luar.
Selama ini, pengetahuan yang digunakan untuk merancang pembangunan desa sering datang dari luar: dunia akademik, lembaga teknokratis, LSM, hingga institusi internasional. Sementara itu, pengetahuan lokal yang terwujud dalam praktik hidup sehari-hari, kearifan ekologis, dan sistem sosial tradisional sering kali diposisikan sebagai “informasi tambahan” atau bahkan dianggap usang. Pengingkaran epistemik semacam ini menempatkan desa dalam posisi inferior secara kognitif, sehingga logika pembangunan yang dibawa ke desa sering tidak nyambung dengan konteks lokal. Akibatnya, banyak intervensi kebijakan gagal menyentuh akar masalah karena terputus dari realitas yang hidup di lapangan.
Maka, mentransformasi struktur pengetahuan ini adalah prasyarat penting untuk menjadikan desa sebagai pusat perubahan. Ketika desa diakui sebagai produsen pengetahuan, yang mengetahui dengan baik tanahnya, airnya, cuacanya, budayanya, dan cara hidup warganya, maka pengetahuan yang selama ini dianggap informal akan memperoleh legitimasi epistemik. Di titik ini, desa tidak lagi hanya berbicara dalam bahasa pengalaman, tetapi juga dalam bahasa kebijakan. Pengalaman hidup di desa menjadi sumber utama bagi perumusan strategi pembangunan yang kontekstual, adil, dan berkelanjutan.
Dari sinilah terbuka peluang bagi terbentuknya relasi baru antara desa dan dunia akademik: relasi gotongroyong, bukan instruksional atau eksploitatif. Akademisi dapat menjadi mitra reflektif yang membantu merekam, menganalisis, dan memperluas jangkauan pengetahuan desa tanpa mencabutnya dari akarnya. Sebaliknya, desa menyediakan ruang praktik dan kompleksitas hidup yang tak bisa ditiru oleh laboratorium atau ruang kelas. Dari gotongroyong ini, lahirlah bentuk pengetahuan yang bersifat intersubjektif dan transformatif, dalam hal ini pengetahuan tidak sekadar menjelaskan realitas, tetapi berakar di dalamnya, menjadikannya sebagai dasar kebijakan yang hidup dan dinamis.
Pengetahuan semacam ini akan memampukan kebijakan untuk lebih tanggap terhadap konteks sosio-ekologi setempat. Apa yang relevan di dataran tinggi belum tentu cocok untuk pesisir. Apa yang berlaku di desa agraris belum tentu berhasil di desa nelayan atau desa hutan. Oleh karena itu, kebijakan tidak bisa seragam dan prosedural, tetapi harus partisipatif dan adaptif. Ketika pengetahuan lokal menjadi bagian dari proses penyusunan kebijakan, maka partisipasi warga bukan lagi sekadar memenuhi syarat administratif, melainkan bagian integral dari proses pembentukan makna dan arah pembangunan.
Dalam konfigurasi semacam ini, kebijakan dan partisipasi tidak lagi berjarak. Keduanya menjadi pasangan yang saling menguatkan. Kebijakan tidak dipaksakan dari atas, tetapi tumbuh dari bawah sebagai hasil interaksi antara pengalaman warga, pembacaan akademik, dan refleksi kolektif. Partisipasi tidak lagi bersifat simbolik, tetapi menjadi wadah artikulasi aspirasi, nilai, dan strategi yang sesuai dengan realitas sosio-ekologi setempat yang dihadapi warga. Desa bukan hanya dilibatkan, tetapi diakui sebagai ruang otoritatif dalam pengambilan keputusan yang menyangkut nasibnya sendiri.
Transformasi desa sebagai produsen pengetahuan akan melahirkan pergeseran mendasar dalam cara kita memahami pembangunan. Hal ini tentu menuntut kerendahan hati epistemologis dari para perancang kebijakan dan pengambil keputusan, untuk belajar dari praktik hidup warga desa dan mengakui validitas pengetahuan yang dibangun dari keterlibatan langsung dengan tanah, musim, dan sejarah. Pada sisi yang lain, hal tersebut juga mengajarkan bahwa kesejahteraan bukan sekadar hasil dari distribusi materi, tetapi buah dari keterlibatan penuh dalam proses politik dan intelektual tentang bagaimana hidup bersama secara adil dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, pengakuan terhadap desa sebagai produsen pengetahuan bukan hanya langkah menuju pembangunan yang lebih efektif, tetapi juga jalan menuju keadilan epistemik. Sesuatu yang memungkinkan terbangunnya ekosistem sosial yang lebih setara, di mana desa tidak hanya diperhatikan, tetapi juga didengarkan; tidak hanya disuplai, tetapi juga dipercaya. Ketika desa dapat berbicara dengan pengetahuan yang diakuinya sendiri, dan ketika dunia akademik serta negara bersedia mendengarnya, maka pembangunan menjadi proses timbal balik yang membebaskan, bukan sekadar proyek birokratis, tetapi perjalanan kolektif menuju kehidupan yang lebih utuh, lebih baik dan lebih bermakna. [Desanomia – 29.4.25 – TM]