Kesejahteraan Umum (2)

Sumber ilustrasi: freepik

7 Juni 2025 09.15 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Apabila kita mengaju secara konsisten dan konsekuen pada perkataan “umum”, dan juga pada argumentasi yang telah dikembangkan pada artikel terdahulu [Kesejahteraan Umum, desanomia.id., 5 Juni 2025], maka menjadi sangat jelas, bahwa (1) menjadikan kesejahteraan umum menjadi agenda nasional; dan (2) langkah nasional mewujudkan kesejahteraan umum, adalah tidak mungkin berada dalam payung paradigma kompetisi. Apa maknanya? Yakni bahwa suatu kepentingan bersama hanya akan mungkin menjadi kepentingan bersama ketika masing-masing pribadi tidak dipandu oleh semangat mengalahkan, menandingi atau bahkan mengesklusi. Satu-satunya keutamaan dalam hidup berbangsa, bukanlah lebih dari yang lain, melainkan kemampuan untuk bekerjasama, atau punya kapabilitas untuk tumbuh bersama.

Pada titik ini, hendak ditegaskan bahwa agar kesejahteraan umum sungguh menjadi agenda publik, maka kita harus berani menggeser fondasi moral masyarakat dari kompetisi menuju kerjasama. Hal ini bukan sekadar pergeseran teknis dalam kebijakan, tetapi pergeseran paradigmatik dalam cara kita memahami manusia, masyarakat, dan tujuan hidup bersama. Kompetisi, sebagaimana diwariskan oleh logika akumulasi, bukan hanya metode seleksi, melainkan identitas sistemik yang membentuk cara kita berpikir, belajar, bekerja, bahkan membayangkan diri sendiri dan orang lain.

Dalam logika kompetisi, kehidupan sosial dibingkai sebagai perlombaan: ada pemenang, ada pecundang; ada yang layak mendapat lebih, ada yang pantas mendapat kurang. Maka, ketika kesenjangan terjadi, maka berpotensi bukan lagi dilihat sebagai problem keadilan, melainkan sebagai konsekuensi “alami” dari perbedaan kapasitas dan kerja keras. Kesenjangan dianggap adil karena dianggap hasil dari kompetisi yang sah.

Di sinilah letak masalahnya. Jika masyarakat diprogram untuk berkompetisi sejak dini—dalam pendidikan, pekerjaan, dan bahkan dalam relasi sosial, maka ketimpangan bukan hanya dihasilkan, tetapi juga dibenarkan. Dalam sistem seperti ini, sulit membayangkan kesejahteraan sebagai sesuatu yang bersifat kolektif dan merata. Kesejahteraan justru menjadi privilege eksklusif dari mereka yang “unggul,” sebagaimana diukur oleh standar yang ditentukan oleh sistem itu sendiri.

Lebih mendalam lagi, pendidikan sebagai institusi pembentuk warga negara, telah lama diseret ke dalam logika kompetisi ini. Ranking, ujian seleksi, akreditasi, hingga sistem zonasi, semuanya membentuk pola pikir bahwa nilai diri seseorang ditentukan oleh posisinya dalam hierarki hasil. Maka anak-anak dibesarkan bukan untuk menjadi warga yang solider, tetapi aktor yang siap menyingkirkan yang lain demi mencapai posisi teratas. Apa yang hilang? Yang hilang adalah pelatihan etis untuk hidup bersama. Pendidikan kehilangan rohnya sebagai pengasuh kebajikan bersama (keutamaan umum), dan menjadi pabrik stratifikasi sosial.

Jika kita menginginkan kesejahteraan umum menjadi kepentingan publik yang tulus, maka logika kompetisi harus dikoreksi secara fundamental. Bukan berarti menghapus segala bentuk penilaian atau usaha individu, tetapi mengembalikannya dalam kerangka solidaritas sosial. Dalam masyarakat yang adil, keunggulan individu bukan alasan untuk mendominasi, melainkan kekuatan untuk menopang yang lain. Ini sejalan dengan etos gotong royong yang menjadi akar budaya Indonesia. Sebuah cara hidup yang menganggap kehidupan bersama bukan sebagai medan persaingan, tetapi sebagai ladang saling menguatkan.

Dengan demikian, identitas publik tidak boleh dibentuk oleh semangat kompetisi, melainkan oleh prinsip gotong royong. Dalam gotong royong, tidak ada yang ditinggal karena kalah cepat, tidak ada yang dihukum karena tidak unggul. Yang ada adalah kesadaran bahwa manusia saling membutuhkan dan tumbuh bersama. Maka, pembicaraan tentang kesejahteraan umum tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan tentang struktur nilai yang melandasi sistem sosial kita.

Selama logika kompetisi masih mendasari sistem pendidikan, ekonomi, dan bahkan politik kita, kesenjangan akan terus muncul dan dianggap wajar. Maka, langkah menuju masyarakat sejahtera bukan hanya melalui distribusi ulang kekayaan, tetapi juga melalui rekonstruksi nilai, yaitu dengan menjadikan gotong royong, solidaritas, dan keadilan sebagai norma tertinggi dalam kehidupan bersama. (bersambung) [Desanomia – 7.6.25 – TM]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *