Lebih

Sumber ilustrasi: Pixabay

2 Oktober 2025 08.40 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Jika ada kesempatan, baik juga membuka kamus, untuk mengenali dari dekat, kata “lebih”. Apa itu lebih? Pernahkah dalam hidup kita membuat refleksi tentang makna dan akibat yang dibentuk dari kata tersebut? Darimana kata itu berasal? Mengapa manusia dan kehidupannya membutuhkan suatu keterangan yang hanya dapat dijelaskan dengan kata lebih? Apakah lebih merupakan cermin dari kenyataan, atau cermin dari kehendak yang membentuk kenyataan? Sudah barang tentu pertanyaan-pertanyaan ini akan menyita waktu dan pikiran, jika hendak direnungkan lebih seksama. Sebagai iuran untuk siapa saja yang ingin mencoba merenungkannya, sembari minum kopi atau teh, atau minuman lainya, berikut ini adalah bahan yang mungkin bisa digunakan.

***

Kamus memang sangat membantu manakala kita membutuhkan kejelasan akan maksud dan makna dari suatu kata, atau istilah. Meskipun di jaman kini, kamus barangkali telah sangat jarang dikunjungi. Bukan hanya telah tersedia peralatan baru, akan tetapi juga telah banyak kosakota baru yang belum termuat dalam kamus. Bahkan, kamus bahasa kini telah muncul dalam versi online, sehingga menggali makna tidak lagi membutuhkan ruang perpustakaan, tetapi bisa dimana saja dan kapan saja.

Apa yang ditulis oleh kamus tentang kata lebih? Ditulis disana, bahwa lebih/le·bih/ a 1 lewat dari semestinya (tentang ukuran, banyaknya, besarnya, dan sebagainya): 2 (ber)sisa; ada sisanya; 3 (dalam perbandingan menyatakan) sangat (daripada; 4 kira-kira sekian bertambah sedikit; 5 bertambah. Pengertian ini memperlihatkan bahwa lebih selalu menunjuk pada “melampaui” dari suatu takaran yang dianggap biasa, wajar, atau dasar. Dengan kata lain, makna dasar dari lebih adalah penyimpangan dari titik acuan tertentu—baik dalam bentuk kelebihan kuantitatif, sisa setelah pemakaian, ataupun intensifikasi kualitas dalam relasi perbandingan.

Secara demikian, lebih bukanlah suatu konsep netral, tetapi sebaliknya. Ada asumsi diam-diam yang bekerja. Suatu asumsi tentang adanya ukuran semestinya, takaran yang normal, atau standar dasar yang menjadi titik rujukan. Artinya, keberadaan “lebih” selalu mengandaikan sesuatu yang diukur, dibandingkan, atau diperhitungkan terhadap sesuatu yang lain. Tidak berdiri sendiri. Selalu berada dalam hubungan, baik terhadap satuan, terhadap jumlah, terhadap keadaan, maupun terhadap nilai. “Lebih” bekerja sebagai operator komparatif, tetapi pada saat yang sama mengandung implikasi normatif: ada sesuatu yang “lebih”, maka ada pula yang “kurang”, ada yang “di luar semestinya”, maka ada pula yang “di dalam semestinya”.

Dari titik ini, dapat dibaca bahwa konsep lebih, meskipun tampak sebagai istilah biasa dalam bahasa, tetapi sesungguhnya membawa struktur makna yang sangat dalam. Setiap penggunaan kata lebih melibatkan operasi penilaian, pengukuran, dan pengklasifikasian. Bahkan dalam penggunaan sehari-hari, kata ini tidak hanya menjelaskan, tetapi juga menetapkan: bahwa sesuatu melebihi—dan karena itu bisa lebih unggul, lebih baik, lebih penting, atau sebaliknya, lebih buruk.

Pemahaman ini tentu membawa konsekuensi yang tidak sederhana. “Lebih” tidak bisa dipisahkan dari struktur nilai yang tersembunyi dalam bahasa. Dalam masyarakat yang hidup berdasarkan sistem ukuran, target, dan hasil, “lebih” menjadi salah satu poros penggerak tindakan dan orientasi hidup. Lebih bukan sekadar kata keterangan, tetapi menjadi prinsip dasar dalam cara manusia menilai dirinya, orang lain, serta dunia. Dari sini, terlihat bahwa “lebih” bukan hanya bersifat deskriptif, melainkan sekaligus performatif—membentuk cara hidup.

Dengan kesadaran ini, refleksi atas “lebih” dapat dimulai. Yang dipertanyakan bukan hanya bagaimana kata ini digunakan, tetapi apa yang mungkin telah ditata, dibentuk, dan digerakkan oleh kehadirannya. Sebab dalam kehadirannya yang tampak sederhana, tersembunyi sebuah kekuatan struktural yang membentuk arah hidup manusia modern: untuk bertambah, untuk melebihi, untuk tidak cukup. Berikut beberapa hal yang dapat dikatakan muncul sebagai akibat dari kinerja konsep “lebih”:

Pertama, keberhasilan berubah menjadi posisi dalam skala. Keberhasilan tidak lagi hanya dipahami sebagai pemenuhan hakikat atau pencapaian internal, tetapi sebagai status yang diukur dalam perbandingan. Sesuatu dianggap berhasil bukan karena kebenarannya pada dirinya, melainkan karena melampaui yang lain. Konsep keberhasilan menjadi selalu bergerak, tak pernah selesai, karena selalu ada batas baru yang harus dilewati. “Lebih” menciptakan keberhasilan yang cair dan tidak pernah final.

Kedua, struktur nilai menjadi hierarkis. Segala hal tidak lagi berdiri otonom dengan nilai yang melekat pada dirinya, melainkan diletakkan dalam urutan bertingkat. Baik, indah, benar, bijaksana, bahkan spiritualitas, dinilai bukan karena kualitasnya yang esensial, tetapi berdasarkan “tingkat” dalam perbandingan. Nilai menjadi relatif terhadap yang lebih tinggi, dan sesuatu yang tidak dapat diperingkat sering dianggap tak bernilai.

Ketiga, hidup diarahkan ke atas sebagai gerakan wajib. Hidup dilihat sebagai garis vertikal: naik dari yang kurang menuju yang lebih, dari rendah ke tinggi, dari kecil ke besar. Prinsip ini membentuk narasi bahwa manusia yang baik adalah manusia yang bergerak naik, bukan yang berhenti atau “menyelam” ke dalam. Ketenangan, keberhentian, atau keutuhan dipandang sebagai kelemahan, bukan sebagai kualitas.

Keempat, waktu diubah menjadi jalur progresif. Waktu tidak lagi sekadar ritme perubahan, tetapi jalur linier menuju peningkatan tanpa akhir. Masa lalu ditempatkan sebagai yang kurang, masa kini sebagai titik transisi, masa depan sebagai janji akan yang lebih baik. Dalam skema ini, setiap momen hanya berarti sejauh mengantar ke momen berikutnya. “Lebih” mengubah waktu menjadi beban, bukan ruang untuk hadir.

Kelima, relasi manusia menjadi medan perbandingan. Kehadiran orang lain bukan lagi sekadar perjumpaan, tetapi cermin bagi perbandingan. Identitas dibentuk dalam relasi kompetitif: sejauh mana seseorang lebih unggul, lebih pandai, lebih berpengaruh. Relasi kehilangan keintimannya dan berubah menjadi arena evaluasi. “Lebih” menanamkan logika kompetisi bahkan dalam ruang yang seharusnya penuh kasih dan solidaritas.

Keenam, proses kehilangan nilai dibanding hasil. Proses tidak lagi dihargai sebagai ruang pembentukan makna, tetapi diukur dari hasil akhir yang lebih tinggi. Belajar bukan untuk memahami, tetapi untuk mencapai nilai lebih baik. Bekerja bukan untuk mencipta, tetapi untuk memperoleh posisi lebih tinggi. “Lebih” menjadikan hasil sebagai satu-satunya tolok ukur yang sah, dan proses sebagai instrumen semata.

Ketujuh, identitas menjadi proyek peningkatan. Diri tidak lagi dipahami sebagai kehadiran yang utuh, melainkan sebagai sesuatu yang harus terus di-upgrade. Seseorang bukan lagi “siapa”, tetapi “sejauh mana lebih” dibanding sebelumnya atau dibanding orang lain. Identitas menjadi konstruksi eksternal yang diukur, dipoles, dan dinilai tanpa akhir. “Lebih” mengubah eksistensi menjadi proyek yang tak pernah selesai.

Kedelapan, kekurangan menjadi titik tolak yang permanen. Karena “lebih” hanya dapat ada jika ada “kurang”, hidup terus dimulai dari rasa tidak cukup. Bahkan ketika tercapai keberhasilan, segera muncul standar baru yang menegaskan kembali kekurangan. Perasaan ini menjadi struktur laten yang menggerakkan dunia: selalu kurang, selalu mengejar. “Lebih” menciptakan ketidakpuasan permanen yang sulit diatasi.

Kesembilan, etika berubah menjadi etika kompetitif. Kebaikan tidak lagi dimaknai sebagai kesahajaan atau kesesuaian dengan diri, melainkan sebagai “lebih baik” dari orang lain. Moralitas kehilangan sifatnya yang dialogis dan reflektif, berubah menjadi alat perbandingan. “Lebih” menggeser nilai etis menjadi nilai performatif: bukan apa yang benar, tetapi seberapa unggul dibanding standar yang lain.

Kesepuluh, dunia dipahami sebagai objek optimalisasi. Segala sesuatu—alam, tubuh, waktu senggang, bahkan hubungan personal—dipandang sebagai sesuatu yang dapat dan harus dioptimalkan. Segalanya dilihat dari perspektif peningkatan, bukan keberadaan. Alam menjadi sumber daya untuk dimanfaatkan lebih banyak, tubuh menjadi mesin yang harus lebih efisien, waktu menjadi aset yang harus lebih produktif. “Lebih” menghapus misteri dan keutuhan dunia, mengubahnya menjadi instrumen peningkatan tanpa akhir.

Apakah kesemuanya itu hanya suatu deskripsi yang tidak ada dalam kenyataan? Masing-masing kita tentu bisa berdebat. Jika saja konsep “lebih” telah menjadi bagian dari struktur berpikir, maka secara spontan, akan muncul perbandingan. Akan sangat sulit membiarkan suatu pikiran berdiri tegak atas dirinya. Namun, jika konsep “lebih” telah bisa dibuat menepi, maka mungkin akan muncul gambar lain yang tidak terduga sebelumnya. Silakan menikmati refleksi, agar lebih mampu melihat dari dekat, sosok “lebih”. Dan setelahnya, jika mungkin, lihatlah kembali struktur berpikir yang kita gunakan, apakah telah terbangun dari batu-bata “lebih”, atau tidak. Anda ada dimana? [desanomia – 021025 – dja]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *