Makanan Ultra-Proses Tingkatkan Risiko Gangguan Mental?

Sumber ilustrasi: Freepik

18 September 2025 14.05 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Desanomia [18.09.2025] Selama bertahun-tahun, kesehatan mental lebih sering dikaitkan dengan faktor psikologis dan genetik. Akan tetapi penelitian terbaru menunjukkan bahwa pola makan memegang peranan yang jauh lebih penting daripada yang selama ini diperkirakan. Ilmuwan kini mengungkap hubungan yang semakin jelas antara asupan makanan harian dengan kondisi emosional seseorang, termasuk depresi, stres, dan kecemasan.

Bidang baru bernama psikiatri nutrisi mulai berkembang pesat. Para peneliti menyatakan bahwa pola makan tidak hanya memengaruhi kesehatan fisik, tetapi juga memainkan peran penting dalam fungsi otak dan stabilitas emosional. Dalam hal ini, makanan bukan sekadar sumber energi, melainkan dapat menjadi bagian dari strategi pemulihan dan pencegahan gangguan mental.

Penelitian telah menunjukkan bahwa diet yang tinggi makanan ultra-proses dan rendah kandungan gizi secara konsisten dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi terhadap depresi dan kecemasan. Studi dalam jurnal BMJ tahun 2024 mencatat bahwa konsumsi makanan ultra-proses dalam jumlah tinggi meningkatkan risiko kecemasan hingga 48 persen dan depresi sebesar 22 persen.

Sebaliknya, bukti semakin kuat bahwa memperbaiki pola makan dapat memperbaiki kondisi depresi berat. Penelitian yang ditinjau dalam Nutrition Reviews edisi Februari 2025 menyoroti bahwa diet Mediterania berpotensi mengurangi risiko gangguan mental seperti depresi, kecemasan, dan ADHD, terutama pada anak-anak dan remaja.

Peran makanan dalam kesehatan mental tidak lagi dipandang sebagai mitos. Peneliti menemukan bahwa banyak jalur biologis menghubungkan asupan nutrisi dengan kondisi mental seseorang. Salah satu faktor penting adalah peran makanan dalam mengatur peradangan, stres oksidatif, serta produksi neurotransmitter seperti dopamin dan serotonin, yang memengaruhi suasana hati secara langsung.

Kesehatan usus juga menjadi sorotan utama. Lebih dari 90 persen serotonin dalam tubuh ternyata diproduksi di usus, bukan di otak. Ini menempatkan mikrobioma usus sebagai pemain kunci dalam mengatur emosi dan respons stres. Dalam kondisi stres kronis, keseimbangan bakteri usus dapat terganggu dan menyebabkan respons peradangan yang kemudian berujung pada gangguan emosional.

Faktor lain yang tak kalah penting adalah keberadaan BDNF (brain-derived neurotrophic factor), protein yang bertanggung jawab atas pertumbuhan dan fleksibilitas sel otak. Penurunan BDNF telah dikaitkan dengan gejala depresi, sementara peningkatan kadar protein ini mendukung kemampuan otak untuk memperbaiki diri.

Selain itu, studi terhadap lebih dari 7.000 orang dewasa menunjukkan bahwa mereka yang rutin mengonsumsi sayuran, buah, kacang-kacangan, ikan, susu, dan jus buah memiliki tingkat stres yang lebih rendah dibandingkan mereka yang jarang mengonsumsinya. Data ini menunjukkan peran pola makan dalam memengaruhi persepsi terhadap stres sehari-hari.

Dalam hal strategi diet, pendekatan menyeluruh seperti diet Mediterania, DASH, dan MIND terbukti lebih efektif dibandingkan mengandalkan satu jenis makanan tertentu. Ketiga diet ini mendorong konsumsi tinggi sayuran, buah, biji-bijian, kacang, ikan, dan minyak sehat seperti minyak zaitun, yang semuanya mendukung fungsi otak dan mengurangi risiko gangguan mental.

Ikan berlemak seperti salmon, sarden, dan makarel, misalnya, merupakan sumber omega-3 dan nutrisi penting lain seperti zat besi, selenium, dan B12. Nutrisi tersebut membantu produksi neurotransmitter yang berperan dalam regulasi suasana hati. Studi terbaru juga menunjukkan bahwa konsumsi ikan lebih dari empat kali seminggu mampu menurunkan risiko depresi hingga 26 persen.

Makanan fermentasi seperti yogurt, kefir, dan kimchi diketahui membantu keseimbangan mikrobioma usus, sehingga berdampak positif terhadap kesehatan mental. Studi dari College of William and Mary menunjukkan bahwa konsumsi rutin makanan fermentasi berhubungan dengan gejala kecemasan sosial yang lebih rendah.

Sementara itu, sayuran dan buah berwarna cerah seperti bayam, kale, jeruk, dan buah beri kaya akan antioksidan yang dapat menurunkan stres oksidatif dan melindungi dari gejala depresi. Selain itu, konsumsi rempah seperti kunyit dan kayu manis menunjukkan potensi efek antidepresan melalui peningkatan kadar BDNF.

Kacang-kacangan dan biji-bijian, seperti almond, kenari, biji labu, dan biji bunga matahari, juga menunjukkan korelasi positif dengan kesehatan mental. Kombinasi lemak sehat, protein, serat, dan mineral penting seperti magnesium menjadikannya pilihan ideal untuk mendukung kestabilan emosi. Studi jangka panjang mencatat bahwa konsumsi segenggam kacang setiap hari dapat menurunkan risiko depresi sebesar 17 persen.

Bahkan cokelat hitam, selama dikonsumsi dalam jumlah wajar dan dengan kandungan kakao minimal 70 persen, dapat membantu mengurangi kelelahan mental dan meningkatkan vitalitas. Studi tahun 2024 dalam Scientific Reports menunjukkan perbaikan gejala depresi secara signifikan pada wanita paruh baya yang mengonsumsi cokelat hitam setiap hari selama delapan minggu.

Berbagai studi ilmiah kini mengonfirmasi bahwa makanan memiliki peran penting dalam menjaga dan memperbaiki kesehatan mental. Kombinasi antara diet bergizi seimbang dan pengobatan konvensional terbukti lebih efektif dalam mengelola gejala gangguan mental dibandingkan hanya mengandalkan satu pendekatan saja. Penekanan pada makanan kaya nutrisi, rendah proses, dan beragam warna telah menunjukkan hasil positif terhadap suasana hati, tingkat stres, dan bahkan risiko jangka panjang terhadap depresi dan kecemasan.

Studi-studi ini menunjukkan bahwa pola makan dapat menjadi bagian integral dalam strategi pencegahan dan pengobatan gangguan mental, sehingga edukasi kepada publik secara umum mengenai pentingnya asupan makanan yang tidak hanya menyehatkan tubuh, namun juga mampu menyeimbangkan fungsi otak dan emosi menjadi hal penting. Perubahan kecil di meja makan bisa menjadi langkah besar dalam memperbaiki kualitas hidup secara keseluruhan.

Diolah dari artikel:
“Scientists are uncovering surprising connections between diet and mental health” oleh Stacey Colino

Link: https://www.nationalgeographic.com/health/article/diet-mental-health-foods

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *