Meritokrasi

Sumber ilustrasi: Freepik

9 November 2025 14.30 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Tulisan bersambung tentang meritokrasi, buah karya Panji Dafa dan Rifki Syafa’at, sangat menggugah dan mengundang refleksi. Ulasan bukan respons langsung atasnya, melainkan terundang untuk ikut menyodorkan refleksi, dari sudut yang mungkin tidak terlalu persis. Begini kira-kira:

Tidak dipungkiri bahwa gagasan meritokrasi telah menjadi ide yang punya tempat tersendiri, terutama bila kita bicara tentang organisasi atau institusi. Pada kebanyakan mata memandang bahwa meritokrasi merupakan sistem modern yang progresif, netral dan menjanjikan keadilan melalui pengakuan atas usaha dan kemampuan individual. Sistem ini tampak (baca: ditampakkan) sebagai emansipasi dari struktur sosial tradisional yang kaku, khususnya feodalisme, yang mendasarkan status sosial pada garis keturunan, penguasaan atas asset tanah, dan sejarah. Soalnya, apakah benar “yang lama” sepenuhnya digantikan dengan “yang baru”? Mungkin di sinilah diskusi perlu dibuka selebar-lebarnya.

Dalam sistem lama, posisi sosial diwariskan secara turun-temurun, tanpa mempertimbangkan kapasitas atau usaha. Bahkan “yang akan tiba” (dan belum tentu tiba), telah punya kedudukan tersendiri. Oleh sebab itu, ketika lahir disambut dengan upacara besar, dengan biaya yang sulit dibayangkan rakyat kebanyakan. Suatu status dianggap sebagai takdir yang sah dan tidak perlu dipersoalkan. Dalam konteks ini, ketimpangan tidak dipersoalkan dan bahkan dibenarkan melalui narasi sakralitas, seperti kehendak adi manusia atau keturunan suci. Kesemuanya itu, menempatkannya di atas, sementara rakyat kebanyakan ada di bawah. Hirarki menjadi realitas, yang diterima begitu saja, seakan-akan merupakan struktur dasar kehidupan.

Rupanya gerak sosial memungkinkan “koreksi” atau transformasi. Modernitas datang, dan tampak muka, seolah datang membawa emansipasi dengan menawarkan mobilitas sosial yang berbasis prestasi. Di beberapa negeri, yang mengalami kenyataan dekadensi dan penurunan kapasitas yang membahayakan bangunan yang lebih besar, telah membuat terobosan dengan membuka jalur pendidikan untuk suatu mobilitas sosial. Secara sederhana dirumuskan demikian: untuk berada di tribun, ada kuota bagi rakyat kebanyakan melalui jalur tes. Mungkin ini adalah benih bagi pendidikan, dalam kerangka penempatan tenaga dalam struktur tertentu, yang sebelumnya didominasi oleh keturunan, atau garis keluarga.

Secara cepat-cepat, kita dapat mengatakan bahwa gagasan meritokrasi, dalam batas tertentu mengganti garis keturunan dengan metrik performa. Gelar akademik, nilai ujian, produktivitas kerja, dan reputasi profesional menjadi alat ukur yang menggantikan gelar berbasis keturunan. Beberapa pihak melihat inilah jalan “fair” untuk mencapai keadilan. Oleh sebab itu, mereka yang percaya, akan cara kerja gagasan ini, menempatkan pendidikan sebagai pintu utama. Dan perlahan-lahan, Pendidikan menjelma menjadi hirarki tersendiri, yang mungkin tidak disadari, atau bahkan mungkin dikonstruksi demikian itu. Kini, “sekolah dimana”, telah menjadi status tersendiri.

Kenyataan inilah yang mengundang sebagian pihak, bertanya secara lebih kritis. Apakah meritokrasi adalah suatu sistem yang netral? Apakah akses terhadapnya berada dalam ruang yang netral. Pada kenyataannya, anak-anak dari keluarga berpendidikan dan berkecukupan memiliki keuntungan struktural dalam mengakses sumber daya yang mendukung performa tinggi. Mereka yang terlibat di dalamnya, tentu dapat memberikan kesaksian. Bahwa sebenarnya, tata baru yang dianggap membawa emansipasi, dalam kenyataan membawa serta corak lama. Yakni suatu bentuk baru pewarisan, namun suatu sistem pewarisan yang tidak terlihat sebagai privilese, tetapi dianggap sebagai hasil dari “kerja keras”.

Perubahan ini tidak hanya struktural, tetapi mungkin juga ideologis. Jika tata lama mengandalkan legitimasi sakral, sementara meritokrasi mengandalkan legitimasi rasional dan moral. Seseorang yang berada di puncak hierarki sosial dianggap pantas karena telah membuktikan diri melalui usaha dan kecakapan. Pandangan ini memperkuat narasi bahwa kesuksesan adalah bentuk keutamaan moral, sedangkan kegagalan adalah bukti ketidakcakapan atau kemalasan. Pandangan ini, tidak saja dapat mengaburkan ketimpangan struktural, tetapi juga mengalihkan perhatian dari sistem ke individu.

Legitimasi dalam meritokrasi bekerja dengan cara yang lebih halus dan persuasif dibanding sistem lama. Ketika kekuasaan dibenarkan dengan alasan rasional dan objektif, resistensi terhadapnya menjadi lebih sulit. Dalam corak lama, ketimpangan tampak sebagai sesuatu yang harus diterima. Dalam meritokrasi, ketimpangan tampil sebagai sesuatu yang adil. Proses ini menciptakan bentuk dominasi baru yang lebih kuat karena ditopang oleh kepercayaan kolektif terhadap netralitas sistem.

Reproduksi hirarki dalam meritokrasi berlangsung secara lebih halus. Alih-alih mewariskan gelar atau tanah, “elit baru”, mewariskan akses terhadap institusi pendidikan elit, penguasaan bahasa simbolik, jaringan profesional, serta pengetahuan tersembunyi tentang bagaimana bermain dalam sistem. Proses ini terjadi melalui institusi yang terlihat meritokratik, seperti sekolah, universitas, dan lembaga rekrutmen. Dalam kenyataannya, semua ini memperkuat eksklusivitas dan mempersempit jalan bagi mobilitas sosial yang ideal.

Struktur meritokrasi juga menanamkan rasa bersalah kepada yang tertinggal, sebuah hal yang tidak dijumpai dalam corak lama. Dalam sistem lama, ketundukan adalah kodrat. Dalam sistem baru, ketertinggalan adalah aib. Seseorang yang gagal akan memikul rasa malu sebagai individu yang dianggap kurang berusaha, padahal kegagalan tersebut seringkali merupakan hasil dari ketimpangan struktural yang tidak disadari. Di sini, moralitas digunakan untuk menutupi ketidaksetaraan.

Meritokrasi juga menciptakan kesombongan baru. Mereka yang berada di puncak merasa tidak lagi berutang kepada masyarakat karena meyakini bahwa posisi tersebut sepenuhnya diperoleh secara adil. Keyakinan ini melumpuhkan empati dan melemahkan solidaritas sosial. Wacana redistribusi kekayaan, subsidi pendidikan, atau perlindungan sosial mudah dianggap sebagai bentuk “pemanjaan” terhadap kelompok yang dianggap tidak cukup layak.

Modernitas, melalui meritokrasi, tidak membongkar logika lama secara menyeluruh, melainkan mentranskonstruksi dalam bentuk yang lebih dapat diterima secara rasional. Struktur hierarki tetap lestari, tetapi mekanisme justifikasinya berubah. Sistem ini menampilkan dirinya sebagai netral dan adil, sementara itu, sistem tetap menyaring, memilah, dan mewariskan privilese dengan cara yang sistematis dan tersembunyi. Apa yang berubah hanyalah bentuk dan bahasanya, bukan struktur dasarnya.

Dengan demikian, meritokrasi dapat dipahami sebagai corak lama yang telah dimodernisasi. Bukan lagi darah biru, tetapi “darah merit”—sebuah metafora yang menyamarkan fakta bahwa sistem sosial masih dikendalikan oleh logika pewarisan dan eksklusi. Kritik terhadap meritokrasi harus dimulai dari pengungkapan relasi kuasa ini, agar emansipasi yang dijanjikan modernitas tidak hanya menjadi mitos baru yang lebih halus, tetapi tetap mengekalkan ketidakadilan lama dalam wajah yang lebih sulit dikenali. [desanomia – 091125 – dja]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *