sumber ilustrasi: freepik
Jika kepada publik, dimana kita ada didalamnya, diajukan pertanyaan: mengapa masalah-masalah mendasar, seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, dan “krisis lingkungan”, tidak kunjung dapat diatasi, dan sebaliknya justru terjadi pemburukan? Dalam kasus lingkungan hidup, misalnya, para pegiat lingkungan telah mengeluarkan catatan pada awal tahun 2025 yang mengungkapkan problem yang sangat serius, terutama akibat dan potensi pemburukan, yang ditimbulkan oleh program negara, yang dipandang abai dengan masalah lingkungan hidup. Berbagai proyek, yang meskipun dikatakan hendak menyelesaikan problem rakyat, seperti pangan, namun dalam kenyataannya justru membuahkan dampak strategis, sementara problem dasar yang hendak dijawabnya, justru tidak sepenuhnya dapat diatasi.
Uraian ini tentu tidak hendak masuk ke dalam rincian problem atau terlibat dalam sengkarut politik praktis. Apa yang hendak dibawa ke dalam ranah refleksi adalah mengapa kesalahan yang sama terus saja berulang? Masalahnya tidak saja pada pengulangannya, akan tetapi pada dampak yang ditimbulkannya. Kenyataan ini tentu saja mengundang pertanyaan lebih jauh: apakah masalah-masalah mendasar, dan masalah-masalah yang timbul akibat pengulangan tindakan yang sama, datang dari ketidaklengkapan dalam melihat kenyataan? Apakah suatu keputusan untuk adanya suatu tindakan (pembangunan), datang dari pemikiran yang komprehensif, yakni pemikiran yang mendekati masalah kongkrit secara utuh (holistik)? Suatu cara berpikir yang berusaha mencakup berbagai dimensi, aspek, atau sudut pandang secara luas dan mendalam, atau sebaliknya?
Dengan asumsi bahwa masalah cara berpikir merupakan obyek refleksi bagi publik luas, maka sangat baik jika ruang diskusi dibuka luas, yang memungkinkan lebih kalangan dapat ambil bagian. Memang langkah ini akan punya resiko, yakni pada taraf awal akan muncul kesulitan dalam “bahasa”. Yang dimaksudkan di sini adalah kesulitan dalam pengungkapan pikiran. Karena publik, bukan figur yang homogen, melainkan plular. Ada yang telah terbiasa atau terlatih dengan cara berpikir keilmuan, yang dengan demikian pada dirinya telah tersimpan kosakata dengan makna-makna tersendiri, yang hanya bisa dimengerti oleh “kolega”nya, atau sesama warga akademi. Sebaliknya, ada pula yang datang dari tradisi, yang akan disebut di sini sebagai tradisi desa, yang sudah barang tentu memiliki nalar dan kosakata yang sama sekali berbeda, dengan komunitas keilmuan.
Dua Tradisi
Jika keduanya diletakkan sebagai dua kutub, maka diantara keduanya sangat mungkin ada yang tumbuh berkembang dalam tradisi berpikir yang memiliki keunikan masing-masing dalam melihat dan menghadapi realitas kehidupan. Namun, uraian ini tidak akan masuk ke dalam spektrum yang panjang tersebut, melainkan berfokus pada dua kutub utama, yakni apa yang ingin disebut di sini sebagai tradisi pemikiran akademi dan tradisi pemikiran desa – selanjutnya akan disebut dengan tradisi akademi dan tradisi desa. Tentu dengan maksud agar pengungkapan dua kutub tersebut, akan membantu dalam memahami keseluruhan. Dan lebih dari itu, yang ingin digali adalah jalan untuk menyelenggarakan “pertemuan dua tradisi pemikiran”, atau “pertemuan dua tradisi”. Ide “pertemuan” datang dari suatu anggapan bahwa sangat mungkin berbagai masalah yang kita hadapi, merupakan akibat dari cara berpikir yang parsial, sedemikian sehingga kemampuan dalam melihat masalah secara lebih komprehensif dapat diperoleh, dan dengan demikian jawaban yang dilahirkan juga bersifat holistik.
Dengan cara umum, kita akan coba mendekati beberapa pengertian utama. Pertama – tradisi pemikiran akademi. Apa yang kita bayangkan ketika menyebut tradisi pemikiran akademi (selanjutnya tradisi akademi)? Yakni suatu kerangka berpikir dan berpengetahuan yang tumbuh dan berkembang dalam ruang institusi formal seperti universitas, laboratorium, dan lembaga riset, yang bercirikan rasionalitas kritis, metodologi sistematis, dan orientasi terhadap objektivitas, generalisasi, serta produksi pengetahuan formal yang terdokumentasi dan dapat diuji secara terus-menerus. Tidak mengherankan jika dalam ruang tradisi ini, berbagai pemikiran saling silang, bukan atas dasar sentimen, emosi atau rasa tidak senang, akan tetapi atas dorongan menemukan kebenaran.
Mereka yang studi pemikiran, tentu mengerti asal-usul atau sejarah pemikiran akademi, dengan beberapa ciri khas yang mungkin telah lazim dalam khasanah publik, yakni (a) dengan meragukan: kebenaran diuji, tidak diterima begitu saja; (b) dunia diurai menjadi bidang-bidang keilmuan – spesialisasi; (c) ekspresi pengetahuan dilakukan dalam bentuk teori, konsep, dan data, disajikan lewat media akademi yang terpercaya; (d) otoritas pengetahuan dibentuk dan dijaga melalui proses akademik (kurikulum, publikasi, gelar akademi). Tentu saja empat poin ini hanya sebagian dari ciri yang lebih kompleks.
Kedua – tradisi pemikiran desa. Jika disebut “tradisi pemikiran desa” (selanjutnya tradisi desa), apa yang muncul dalam benak kita semua? Mungkin yang muncul adalah suatu cara berpikir dan membentuk pengetahuan yang berakar pada pengalaman langsung masyarakat dengan alam, kehidupan sosial, dan spiritualitas lokal, yang diwariskan secara lisan dan praksis, serta dijalankan dalam relasi kolektif yang menyatu dengan keseharian, ritus, dan siklus ekologis. Secara sederhana dapat dikatakan sebagai pengetahuan yang bersarang dalam realitas sosio-ekologi setempat.
Tradisi ini lahir dari kehidupan yang tertanam secara mendalam dalam ekosistem, sejarah, dan budaya komunitas lokal. Tidak dibangun dalam ruang tertulis atau formal, melainkan dihidupi secara kolektif melalui kerja, laku hidup, cerita, dan simbol. Pengetahuan dalam tradisi ini bukan untuk dikumpulkan dan dipublikasi, melainkan untuk dijalankan dan diwariskan. Beberapa ciri yang dapat dikatakan lazim dimengerti publik, antara lain: (a) alam, manusia, dan roh dipahami sebagai jaringan hidup yang tak terpisah; (b) pengetahuan berlaku dalam ruang, musim, dan budaya tertentu, tidak diklaim universal; (b) pengetahuan hadir dalam bentuk kisah, mitos, peribahasa, praktik kerja, dan ritual; dan (d) diwariskan melalui generasi, dijaga bersama, dan terikat dalam nilai gotong royong. Bahkan pada beberapa suku, pengetahuan diwariskan lewat jalur keluarga, sebagai ilmu hidup yang bersifat eksklusif.
Dominasi dan Marjinalisasi
Jika kita diperkenankan untuk mengungkapkan secara lebih apa adanya, maka memang dalam beberapa abad terakhir, mungkin sejak pertengahan abad XVIII, telah terjadi perkembangan yang luar biasa. Pada sisi terjadi peningkatan “standar hidup” yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tentu ini tidak terselenggara secara merata, melainkan pada sebagian, dan karena itu muncul kesenjangan. Namun dari segi kesehatan, akses pada pangan, pendidikan, telah terjadi peningkatan. Perkawinan antara ekonomi dan ilmu, telah melahirkan suatu peradaban baru.
Ide kemajuan dan akumulasi, telah bertahta dalam banyak pikiran. Gerak hidup negara dilihat dari kategori yang disebut sebagai “pertumbuhan ekonomi”, yang pada intinya adalah produktivitas. Segala sesuatu baru akan dianggap sebagai positif atau baik, jika mampu memperlihatkan kinerja produktivitas yang tinggi. Bahkan, mungkin, seorang panyair akan dinilai bukan dari kualitas karyanya, melainkan dari seberapa produktif penyair tersebut dalam melahirkan karya. Dalam batas-batas tertentu, apa yang kini dialami dunia akademi, melalui instrumen administrasi, sangat mungkin merupakan derivasi dari cara berpikir pertumbuhan. Dalam hal ini, insan akademi, harus dipacu berkarya, yang dimonitor melalui prosedur administrasi, dan jika produksi tidak berlangsung, maka hal itu akan punya akibat ekonomi. Suatu perlombaan yang sebenarnya tidak adil, karena tidak semua akademi dengan sejarah, ukuran dan jumlah peserta didik yang sama.
Pergerakan tersebut diakui atau tidak telah membawa dua hal sekaligus, yakni dominasi dan marjinalisasi. Dominasi artinya, cara berpikir tersebut menjadi arus dominan, dimana segala yang berada di luar arus tersebut akan dengan sendirinya mengalami marjinalisasi. Berbagai dampak kongkrit, seperti pemiskinan, kesenjangan sosial, perusakan hutan untuk suatu hutan tanaman tertentu (monokultur), pencemaran akibat penggunaan bahan kimia berbahaya, dan berbagai masalah yang lain, dalam nyatanya tidak menjadi bahan untuk suatu refleksi mendalam, dan dengan itu diadakan peninjauan ulang, malah sebaliknya. Memang ada langkah, namun hal tersebut nampaknya lebih didorong oleh semangat “keberlanjutan industri” dan bukan dalam kerangka regenerasi lingkungan. Hal itulah yang sudah barang tentu menimbulkan marjinalisasi. Tradisi akar rumput, menjadi obyek marjinalisasi, karena dianggap dapat menghambat atau bahkan mensabotase gerak pertumbuhan ekonomi. Di masa lalu, protes rakyat bagi dalam kerangka melawan penyerobotan sumber-sumber agraria, atau aspek lain, dengan mudah diberi label: melawan Pembangunan, dan itu artinya merongrong ideologi negara.
Dalam periode dimana masalah-masalah telah makin nyata mengancam hidup bersama kita, rasanya tidak berlebihan jika ada inisiatif untuk mengembangkan tradisi baru. Sudah waktunya ruang refleksi dibuka, dengan basis kebebasan dan kepercayaan. Sudah waktu dialog dibuka, dengan dasar saling menghormati, dan semangat ingin menemukan jalan keluar yang strategis dan mampu menyelamatkan umat manusia – tentu mulai dari “di sini”. Kalau kita merujuk pada Pembukaan UUD’45, memang sangat jelas bahwa cara berpikir nasional kita, tidak boleh bersifat eksklusif. Mengapa? Karena tidak mungkin kita hidup dalam kebaikan, jika lingkungan global masih dalam masalah. Keadilan, kemerdekaan dan hidup damai, jika dan hanya jika bisa dicapai ketika dunia juga berlandaskan kepada keadilan, kemerdekaan dan perdamaian abadi. Namun demikian, disadari bahwa kesadaran global hanya mungkin berlangsung jika kesadaran nasional telah terimplementasikan. Dan dalam kerangka itu pula, kita berpandangan bahwa kesadaran nasional, hanya mungkin dicapai jika kesadaran publik berumah di desa, dan dari sana jaringan kesadaran dibentuk, sedemikian sehingga melahirkan kesadaran nasional. Inilah jalan mengakhiri dominasi dan marjinalisasi.
Pertemuan Dua Tradisi
Tentu tidak mudah membayangkan pertemuan dua tradisi. Pertama, mungkin akan dianggap sebagai suatu kelancangan pikiran. Kedua, mungkin dianggap melampaui otoritas. Dan ketiga, mungkin tidak terbayangkan, atau bahkan akan sulit direalisasi. Uraian ini tentu akan keluar dari kesulitan tersebut, dengan mengandalkan asumsi di awal uraian ini. Justru yang dibutuhkan kini adalah semangat mencari, mencari dan mencari. Suatu semangat yang datang dari keinginan menemukan jawaban yang benar dan bijak, dalam menghadapi problem-problem yang merendahkan martabat kemanusiaan kita. Oleh sebab itulah, yang akan diajukan di sini adalah semacam stimulasi pikiran atau hanya sekedar awalan (rintisan). Masalah mendasar yang ingin dipecahkan di sini adalah mungkinkah tradisi akademi bertemu dengan tradisi desa, tanpa dominasi atau marjinalisasi satu sama lain? Sebagian kita barangkali akan punya keberanian menjawab, dengan jawaban kira-kira: pertanyaan tersebut tidak hanya mungkin dijawab secara afirmatif, tetapi juga mendesak untuk dijawab secara etis, praktis, dan filosofis, mengingat kerusakan ekologis dan ketimpangan sosial yang seringkali disebabkan oleh dominasi satu tradisi pengetahuan atas yang lain.
Beberapa kemungkinan dapat diusulkan. Pertama, dialog epistemik. Pertemuan dua tradisi, harus dibayangkan, bukan pertama-tama sebagai kolaborasi proyek, pelatihan teknis, atau program pendampingan, melainkan perlu dibayangkan sebagai sebuah dialog epistemik — sebuah ruang di mana kedua tradisi saling mendengar, saling mengakui, dan saling mengubah. Bukan pertemuan antara yang belum tahu dengan yang lebih tahu, melainkan antara dua cara mengetahui dunia yang sama-sama sah. Dialog mesti menghindari pendekatan instrumentalisasi pengetahuan desa — yaitu menjadikan kearifan lokal sekadar sumber data atau “bahan baku” bagi riset ilmiah kampus. Pertemuan ini menuntut kerendahan hati epistemologis dari pihak akademik, dan penguatan kepercayaan diri epistemik dari komunitas desa. Yang terakhir ini, mungkin terasa “kurang fair”, namun dalam realitas nampaknya hal tersebut merupakan bagian dari kebutuhan yang perlu dipikirkan penyelenggaraannya.
Kedua, suatu transdisiplin. Salah satu cara membayangkan pertemuan ini adalah melalui pendekatan transdisiplin — yaitu pendekatan yang melampaui batas-batas disiplin ilmu, dan mengikutsertakan pelaku non-akademik sebagai subjek pengetahuan. Dalam model ini, petani, nelayan, perempuan desa, atau tetua adat tidak sekadar menjadi informan, melainkan menjadi bagian dari periset — peneliti sejajar yang membawa pengetahuan dan intuisi ekologis yang tak dimiliki oleh akademisi. Proyek-proyek seperti pertanian agroekologi, konservasi berbasis masyarakat, atau restorasi lahan kritis bisa menjadi medan konkret pertemuan dan penciptaan pengetahuan Bersama. Hasilnya bukan hanya data atau laporan, tetapi juga pembelajaran timbal balik dan transformasi kesadaran kedua belah pihak.
Ketiga, suatu lab sosial-bersama. Ruang pertemuan bisa dimulai dengan menciptakan laboratorium sosial atau sekolah lapang transformatif di mana aktor kampus dan masyarakat desa bersama-sama belajar, melakukan percobaan, merefleksikan praktik, dan membangun narasi baru. Sekolah lapang semacam ini bisa didesain sebagai ruang inter-generational learning, di mana pengetahuan tua tidak dihapus, melainkan direvitalisasi melalui pengakuan ilmiah dan teknologi yang relevan. Metodologi partisipatif (seperti Participatory Action Research, Community-Based Participatory Research) menjadi pendekatan utama — menolak dikotomi subjek-objek dalam relasi pengetahuan.
Keempat, perihal bahasa. Bahasa adalah titik krusial. Bahasa akademi, mungkin sekali dinilai cenderung teknokratis dan abstrak; bahasa desa bersifat naratif, metaforis, dan kontekstual. Pertemuan keduanya menuntut penerjemahan epistemik: mengalihkan pengetahuan dari satu kerangka ke kerangka lain tanpa kehilangan makna dasarnya. Di sini, cerita, ritual, metafora, dan praktik harian desa harus diposisikan sebagai bentuk artikulasi pengetahuan yang sah. Akademisi perlu belajar membaca mitos sebagai epistemologi, bukan sebagai irasionalitas. Sebaliknya, komunitas desa perlu difasilitasi untuk mengakses istilah teknis tanpa rasa inferior. Tentu saja tidak dimaksudkan untuk meninggalkan tradisi, melainkan lebih mengenal satu sama lain secara lebih utuh.
Kelima, dekolonisasi pengetahuan. Pertemuan dua tradisi pengetahuan tak lepas dari relasi kuasa. Pada sebagian kalangan, sangat mungkin telah berkembang suatu persepsi dimana tradisi akademi sering menjadi perpanjangan dari proyek modernitas dan kolonialisasi epistemik. Maka, pertemuan sejati harus berlandaskan pada prinsip dekolonisasi pengetahuan. Ini berarti membongkar asumsi bahwa pengetahuan akademi lebih unggul secara ontologis. Memberi ruang bagi pluralisme epistemik — pengakuan bahwa ada banyak cara mengetahui, banyak bentuk kecerdasan, dan banyak logika hidup yang sah.
Keenam, meretas pengetahuan hibrida. Dalam jangka panjang, pertemuan antara dua sistem ini tidak harus menghasilkan dominasi atau asimilasi, melainkan bisa melahirkan pengetahuan hibrida — sebuah bentuk pengetahuan baru yang menggabungkan intuisi ekologis masyarakat desa dengan refleksi kritis dan daya analitis kampus. Pengetahuan ini tidak hanya adaptif secara teknis, tetapi juga memiliki dimensi etika, spiritual, dan politik. Misalnya, praktik agroekologi yang menggabungkan kearifan lokal dengan prinsip ekologi ilmiah, atau sistem pangan lokal yang menggabungkan nilai-nilai budaya dengan teknologi penyimpanan pangan modern.
Ketujuh, suatu proses bersama terus-menerus. Akhirnya, kita perlu membayangkan bahwa pertemuan ini bukan sebuah proyek dengan tenggat waktu, tetapi sebuah proses jangka panjang — proses membangun kepercayaan, bahasa bersama, dan horizon berpikir kolektif. Bukan sekadar kerja teknis, tetapi kerja budaya dan spiritual. Bukan semata soal transfer ilmu, tapi transformasi cara kita melihat, hidup, dan merawat dunia bersama. Apa yang amat perlu benar-benar dibayangkan adalah bahwa pertemuan pada dasarnya adalah jalan menemukan tata pengetahuan baru dalam kerangka menyelamatkan umat manusia dan dalam rangka membangun keberlanjutan kehidupan dengan martabat kemanusiaan. (bersambung). [Desanomia – 8.4.25 – TM]