Signifikansi Pendekatan Baru (1)

Sumber ilustrasi: Freepik

10 Oktober 2025 16.35 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Jika pertumbuhan ekonomi tetap ingin dipakai sebagai petunjuk utama dalam melihat kinerja pembangunan ekonomi, maka soalnya adalah apakah peralatan utamanya cukup memadai? Yang dimaksud memadai di sini adalah berlangsungnya suatu pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh struktur ekonomi yang kokoh dan inklusif. Pada titik ini, ada kebutuhan untuk membuat refleksi yang lebih teratur atas peralatan utama pembangunan ekonomi, yakni fiskal dan moneter. Apakah dimungkinkan?

Dalam batas tertentu, pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan merupakan hasil dari proses kebijakan yang dijalankan negara melalui instrumen yang dimilikinya. Dalam konteks ini, dua peralatan utama yang secara riil digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, yakni kebijakan fiskal dan moneter. Kedua kebijakan ini bukan hanya dominan secara teori, tetapi juga merupakan peralatan utama yang dapat diimplementasikan dengan cepat dan diukur dampaknya dalam jangka pendek—jangka waktu yang umumnya relevan dalam siklus politik pemerintahan.

Kebijakan fiskal menjadi sarana langsung bagi otoritas formal untuk memengaruhi permintaan agregat melalui pengeluaran pemerintah dan kebijakan pajak. Dalam praktiknya, pemerintah lebih memilih untuk menggelontorkan dana dalam bentuk belanja infrastruktur, bantuan sosial, subsidi, dan insentif pajak karena dampaknya dapat dirasakan dalam horizon politik lima tahunan. Misalnya, pembangunan jalan, bendungan, atau sekolah dapat diklaim sebagai pencapaian konkret, meskipun efek produktivitas jangka panjangnya belum tentu langsung muncul.

Instrumen perpajakan juga dimanfaatkan untuk mendukung tujuan jangka pendek ini, seperti pemberian insentif kepada UMKM, pengurangan tarif PPh badan, atau pengampunan pajak (tax amnesty) yang dirancang untuk mendorong konsumsi dan investasi domestik. Namun, karena kebijakan ini bersifat temporer dan diarahkan pada hasil politik yang terukur dalam waktu singkat, upaya reformasi perpajakan yang lebih fundamental dan membutuhkan waktu—seperti memperluas basis pajak, sedemikian sehingga apa yang disebut sebagai “ekonomi bawah tanah”, dapat tercatat dan memberi kontribusi dalam pertumbuhan, sering kali ditunda atau dibatalkan.

Kebijakan moneter, yang dijalankan oleh bank sentral, menjadi alat kedua yang secara aktif dan konsisten digunakan. Dalam konteks pertumbuhan, instrumen seperti penurunan suku bunga acuan, pemberian likuiditas ke sektor perbankan, dan stabilisasi nilai tukar menjadi alat utama dalam merespons perlambatan ekonomi. Misalnya, ketika pertumbuhan melambat, bank sentral akan menurunkan suku bunga untuk mendorong kredit dan konsumsi, sebuah langkah yang relatif cepat dan mudah diadministrasikan.

Di tengah siklus politik yang pendek, kebijakan moneter memiliki keunggulan karena dijalankan oleh institusi independen yang tidak terikat langsung pada agenda politik. Namun, efektivitas kebijakan moneter tetap sangat tergantung pada sinergi fiskal dan kondisi struktural. Dalam banyak kasus, pelonggaran moneter gagal mendorong pertumbuhan secara signifikan karena terbatasnya permintaan agregat yang dapat dipacu melalui kredit, terutama jika fiskal bersikap kontraktif atau dunia usaha menghadapi ketidakpastian politik.

Sementara itu, kebijakan struktural, reformasi kelembagaan, dan investasi dalam modal manusia secara luas diakui sebagai faktor penopang jangka panjang pertumbuhan. Namun, kebijakan-kebijakan ini jarang menjadi prioritas nyata karena tidak memberikan hasil yang dapat diklaim secara politis dalam waktu singkat. Misalnya, reformasi pendidikan akan menunjukkan hasilnya dalam satu atau dua dekade, yang tidak sejalan dengan logika elektoral lima tahunan.

Sirkulasi kekuasaan setiap lima tahun menciptakan insentif bagi aktor politik untuk mengejar kebijakan yang memberikan hasil cepat dan popularitas tinggi, sekalipun tidak efisien secara ekonomi dalam jangka panjang. Ini menyebabkan reformasi struktural seperti deregulasi yang konsisten, penyederhanaan birokrasi, atau penguatan supremasi hukum sering kali tertunda atau tidak dilanjutkan ketika kekuasaan berganti.

Akibat dari logika politik jangka pendek ini adalah munculnya siklus kebijakan yang reaktif dan dangkal. Setiap pemerintahan cenderung ingin meninggalkan “legacy” fisik atau populis yang bisa dipresentasikan dalam kampanye, sehingga investasi jangka panjang yang tak terlihat oleh publik, seperti pembangunan kapasitas kelembagaan atau riset teknologi, dianggap kurang relevan secara elektoral.

Bahkan ketika ada upaya untuk menjalankan kebijakan pelengkap seperti pembangunan sektor industri berbasis teknologi atau diversifikasi ekspor, arah kebijakan tersebut sering tidak konsisten antar pemerintahan. Setiap pergantian kekuasaan berpotensi menghapus program-program jangka panjang sebelumnya, dengan dalih reposisi arah pembangunan nasional yang “lebih sesuai” dengan visi pemerintah baru.

Dalam kenyataan ini, efektivitas kebijakan fiskal dan moneter menjadi sangat menonjol karena keduanya mampu merespons kebutuhan ekonomi dalam horizon waktu yang sesuai dengan siklus kekuasaan. Belanja negara dapat disesuaikan setiap tahun anggaran, dan kebijakan suku bunga dapat diubah setiap bulan. Kedua instrumen ini memberikan fleksibilitas politik dan ekonomi yang tak dimiliki oleh kebijakan jangka panjang.

Oleh karena itu, meskipun dalam diskursus akademik dan perencanaan pembangunan sering ditekankan pentingnya reformasi struktural, investasi modal manusia, atau transformasi industri, praktik riil pemerintahan modern lebih bertumpu pada kebijakan fiskal dan moneter. Ketergantungan ini bukan semata karena superioritas instrumen tersebut, tetapi karena kesesuaian logisnya dengan dinamika kekuasaan politik yang pendek dan siklikal.

Hal ini menimbulkan paradoks: untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berkualitas, negara membutuhkan kebijakan jangka panjang yang stabil dan konsisten. Namun, sistem politik elektoral menciptakan insentif sebaliknya—yakni pencapaian cepat dan kasat mata. Dalam kondisi ini, stabilitas pertumbuhan menjadi fungsi dari kemampuan pemerintah untuk menggunakan instrumen fiskal dan moneter secara bijak tanpa mengorbankan efisiensi dan keberlanjutan.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan fiskal dan moneter bukan hanya senjata utama secara formal, tetapi juga secara praktikal dan politikal. Keduanya merupakan instrumen yang paling realistis untuk dijalankan dalam sistem kekuasaan yang volatil. Sementara kebijakan pelengkap seperti reformasi struktural dan penguatan institusi cenderung menjadi wacana yang diulang namun sulit diwujudkan secara konsisten, karena bertentangan dengan logika lima tahunan yang mendominasi perilaku pengambil kebijakan. [desanomia – 101025 – dja]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *