Signifikansi Pendekatan Baru (2)

Sumber ilustrasi: Freepik

11 Oktober 2025 11.50 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Harus diakui bahwa daya dorong kebijakan fiskal dan moneter dalam memastikan pertumbuhan ekonomi memang nyata dan telah teruji dalam banyak episode sejarah. Namun, ketika keduanya menjadi alat utama—bahkan satu-satunya yang digunakan secara konsisten—maka keterbatasannya pun akan terungkap secara sistemik. Keduanya adalah peralatan yang bekerja dalam domain agregat, reaktif terhadap siklus, dan didesain untuk merespons gejolak, bukan membentuk ulang struktur ekonomi. Dalam batas tertentu, fiskal dan moneter dapat memulihkan, menstimulasi, dan menstabilkan, tetapi mereka tidak mampu menyusun ulang fondasi pertumbuhan dalam kerangka yang benar-benar baru.

Kebijakan fiskal, walau fleksibel dalam anggaran, terikat oleh ruang fiskal yang terus menyempit. Di banyak negara berkembang, kemampuan memobilisasi penerimaan pajak sangat terbatas, dengan tax ratio yang stagnan dan ketergantungan besar terhadap pembiayaan utang. Ketika belanja difokuskan untuk menjaga konsumsi rumah tangga atau proyek yang dapat diklaim secara politis, investasi produktif jangka panjang kerap tersingkir. Pada titik tertentu, stimulus fiskal justru menjadi bumerang, menciptakan ketergantungan sektoral, meningkatkan risiko fiskal, dan menciptakan inflasi anggaran tanpa efek pertumbuhan yang sepadan.

Instrumen moneter, meskipun lebih independen, terjebak dalam dilema antara menjaga stabilitas dan mendorong ekspansi. Pelonggaran moneter yang terlalu dalam dapat memicu distorsi harga aset, mendorong kredit konsumtif, dan melemahkan daya saing ekspor melalui penguatan nilai tukar riil. Di sisi lain, pengetatan yang terlalu cepat berisiko membunuh momentum investasi swasta. Ketika ekspektasi pelaku ekonomi mulai lepas dari kendali kebijakan bank sentral, efektivitas moneter menjadi ilusi belaka.

Keterbatasan itu semakin terlihat saat dua kebijakan tersebut dijalankan dalam ruang politik yang bekerja dalam arena sirkulasi kekuasaan lima tahunan. Setiap pemerintahan yang berkuasa memiliki insentif untuk mengutamakan program yang mudah dikapitalisasi secara elektoral: bansos tunai, pemangkasan pajak jangka pendek, pembangunan fisik yang kasat mata. Agenda reformasi jangka panjang yang tidak memberikan “dividen politik” dalam satu periode kekuasaan cenderung ditinggalkan. Dalam iklim seperti ini, kebijakan fiskal dan moneter menjadi alat pertunjukan, bukan pembentuk struktur.

Akibat dari pendekatan seperti itu adalah pertumbuhan ekonomi yang dangkal dan rapuh. Ia mungkin terlihat impresif dalam grafik, namun mudah tergelincir ketika menghadapi tekanan eksternal seperti krisis energi, gangguan rantai pasok global, atau volatilitas arus modal. Sementara fondasi produktivitas domestik, kapasitas inovasi, dan daya saing industri dibiarkan stagnan. Kesenjangan antarwilayah, ketimpangan sosial, serta keterbatasan mobilitas sosial pun terus melebar, memperlihatkan bahwa pertumbuhan yang dicapai tidak meresap secara merata ke dalam struktur masyarakat.

Kelemahan struktural yang tidak disentuh oleh kebijakan fiskal dan moneter mencakup banyak sisi. Dari ketergantungan pada komoditas primer, rendahnya kontribusi sektor manufaktur berteknologi menengah-tinggi, hingga minimnya nilai tambah dalam kegiatan ekspor. Fiskal dan moneter tidak mampu memaksa transformasi struktural seperti reorientasi basis produksi atau pembentukan klaster industri strategis. Mereka hanya dapat memberi dorongan, bukan arah.

Faktor lain yang turut mengikis efektivitas sepasang peralatan ini adalah lemahnya kapasitas birokrasi dan institusi publik dalam menyalurkan kebijakan secara tepat sasaran. Dalam banyak kasus, belanja pemerintah terhambat oleh masalah eksekusi, dari perencanaan proyek yang tidak matang, korupsi pengadaan, hingga kegagalan sinergi antar tingkat pemerintahan. Sementara transmisi moneter bisa terhambat oleh perbankan yang enggan menyalurkan kredit ke sektor riil karena risiko yang tinggi.

Transmisi fiskal dan moneter juga cenderung bias terhadap kelompok yang sudah mapan. Stimulus moneter lebih cepat terserap oleh korporasi besar dan kelas menengah ke atas, sementara sektor informal dan UMKM—yang justru menyerap tenaga kerja terbanyak—tetap kekurangan akses. Belanja fiskal pun sering kali terpusat pada proyek besar yang tidak mengakar pada kebutuhan ekonomi lokal. Dalam konfigurasi ini, pertumbuhan menjadi eksklusif, tidak memperluas basis produksi, dan tidak menciptakan ketahanan jangka panjang.

Kesenjangan antara tujuan makro dan realitas mikro menjadikan kebijakan agregat bersifat ilusif. PDB bisa tumbuh sementara produktivitas stagnan. Investasi bisa meningkat tanpa efek penyerapan tenaga kerja. Inflasi bisa terkendali, tapi daya beli tetap tergerus. Keterputusan ini menandakan bahwa dua peralatan utama telah mencapai batas efektivitasnya dalam konteks sosial dan struktural yang tidak berubah.

Kebijakan fiskal dan moneter juga tidak memiliki kekuatan untuk mengatasi perubahan zaman yang bersifat disruptif. Transformasi digital, perubahan iklim, dan transisi energi adalah tantangan yang memerlukan intervensi lintas sektor, inovasi kebijakan, dan keberanian berpikir melampaui instrumen konvensional. Dalam kondisi seperti ini, ketergantungan eksklusif pada dua instrumen klasik menjadi tidak memadai dan bahkan kontra-produktif jika tidak disertai dengan pembaruan arah strategis nasional.

Dengan pengakuan terhadap keterbatasan tersebut, muncul keperluan untuk menyusun pendekatan baru yang tidak menggantungkan keseluruhan strategi pertumbuhan pada dua instrumen makro itu saja. Pendekatan ini harus melampaui sekadar perbaikan teknis, dan justru masuk ke ranah perombakan cara berpikir pembangunan: dari yang berbasis agregat menuju yang berbasis struktur, dari pendekatan sentralistik menuju model desentralisasi produktif, dari strategi responsif menuju agenda transformatif.

Pendekatan baru ini tentu saja bersifat terbuka terhadap berbagai kemungkinan, bahkan yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Mungkin aka nada yang berpandangan tentang pentingnya bentuk konsolidasi ekonomi berbasis wilayah, dengan penguatan kapasitas lokal dalam merancang dan mengeksekusi kebijakan sesuai potensi endogen masing-masing. Model ini memungkinkan diversifikasi ekonomi yang lebih organik dan resilien. Di sisi lain, perlu dibangun instrumen yang benar-benar lintas siklus politik, seperti dana abadi untuk pendidikan dan riset, kerangka perencanaan pembangunan lintas rezim, serta kontrak sosial pembangunan yang tidak tunduk pada pergantian kekuasaan.

Di luar itu, sangat mungkin muncul pemikiran yang berpandangan tentang pentingnya menempatkan rakyat (warga pada umumnya) sebagai kekuatan ekonomi riil, yang secara demikian, mereka bukan lagi obyek dari kebijakan fiscal dan moneter, melainkan menempatkannya menjadi kekuatan ketiga dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Kesemuanya ini dapat dikatakan sebagai upaya untuk membentuk enabling state—negara yang bukan hanya responsif, tetapi juga proaktif dalam menciptakan ruang pertumbuhan yang adil, inklusif, dan berjangka panjang. Di luar instrumen fiskal dan moneter, kekuatan utama negara terletak pada kapasitasnya membayangkan masa depan yang tidak dibatasi oleh horizon politik lima tahunan. Hanya dengan begitu, pertumbuhan bisa beralih dari sekadar angka, menjadi proses pembangunan yang berakar, merata, dan berdaya tahan.

Bagaimana memungkinkannya? [desanomia – 111025 – dja]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *