Sumber ilustrasi: Pixabay
30 September 2025 15.30 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Dalam pemahaman yang lazim, pertanyaan dianggap sebagai pintu masuk menuju pengetahuan. Pertanyaan seolah menjadi pemicu utama munculnya jawaban, dan karena itu, kerap diberi kedudukan epistemik yang lebih tinggi. Namun, pendekatan ini dapat direfleksikan, atau dipersoalkan. Apakah benar pertanyaan selalu mendahului jawaban? Atau justru sebaliknya: adakah kemungkinan bahwa jawabanlah yang memungkinkan lahirnya pertanyaan?
Dalam praktiknya, terutama dalam dunia pendidikan, sering kali pertanyaan yang diajukan kepada pelajar tidak lahir dari kekosongan pengetahuan, melainkan dari suatu horizon pemahaman yang telah terlebih dahulu ditentukan. Pengajar (guru, atau dosen) menyusun pertanyaan bukan untuk mencari jawaban yang baru, tetapi untuk mengarahkan pelajar atau mahasiswa menuju jawaban yang sudah tersedia. Dalam kerangka ini, pertanyaan bukanlah pencarian, melainkan sarana kontrol terhadap arah berpikir.
Jika dipahami demikian, maka pertanyaan tidak berdiri otonom sebagai alat penyelidikan bebas, melainkan sebagai derivasi dari suatu struktur jawaban yang telah mapan. Pengajar yang menyusun soal ujian, misalnya, tidak sedang menyelidiki kemungkinan-kemungkinan pemikiran para pelajar, melainkan menguji sejauh mana mereka dapat menyesuaikan diri dengan struktur jawaban yang telah dibakukan sebelumnya. Dengan kata lain, jawaban mendahului, pertanyaan mengikuti.
Hal ini menimbulkan persoalan “mendasar” yang tidak sederhana. Ketika pertanyaan bergantung pada jawaban yang sudah ditetapkan, maka ruang kebebasan intelektual menjadi sempit. Pelajar tidak ditantang untuk berpikir, melainkan untuk menyesuaikan. Pertanyaan kehilangan watak reflektifnya, dan berubah menjadi alat verifikasi. Dalam kondisi demikian, pertanyaan bukan lagi jembatan menuju pengertian, melainkan pagar pembatas dari kemungkinan lain.
Secara ontologis, hal ini juga menunjukkan bahwa pertanyaan tidak muncul dari kehendak bebas untuk mengetahui, tetapi dari kerangka dunia tertentu yang telah membatasi horizon pemahaman. Dengan kata lain, seseorang hanya dapat mengajukan pertanyaan jika ia telah berada dalam suatu struktur makna. Maka, jawaban bukan sekadar hasil akhir dari pertanyaan, tetapi prasyarat bagi terjadinya pertanyaan itu sendiri.
Dalam kerangka ini, jawaban bukanlah tanggapan terhadap kebingungan, melainkan struktur yang menyembunyikan dirinya dalam bentuk pertanyaan. Maka, kesalahan dalam menjawab bukanlah kegagalan memahami pertanyaan, tetapi justru mengindikasikan bahwa pertanyaannya mungkin telah dibentuk secara problematis sejak awal. Pertanyaan yang tidak membuka kemungkinan berpikir hanya akan menghasilkan jawaban yang dipaksakan.
Implikasinya tidak hanya bersifat epistemik, tetapi juga etis. Pengajar yang menyusun pertanyaan berdasarkan jawaban yang telah ditentukan lebih dahulu, sejatinya sedang mengatur bukan hanya apa yang boleh diketahui, tetapi juga bagaimana pengetahuan itu harus dipikirkan. Dalam praktik seperti ini, otonomi intelektual pelajar (termasuk mahasiswa) dikompresi menjadi sekadar kemampuan reproduksi, bukan pencarian pemahaman yang otentik.
Maka, pendidikan bukan lagi perjumpaan antara subjek-subjek yang berpikir, melainkan suatu proses transfer informasi dari pemilik jawaban kepada penerima yang dibentuk melalui pertanyaan. Ruang diskursus menyempit, dan pertanyaan yang sejatinya merupakan medan keterbukaan berubah menjadi mekanisme seleksi. Pertanyaan kehilangan kekuatannya sebagai instrumen refleksi eksistensial.
Jika demikian halnya, maka dapat dikatakan bahwa pertanyaan mungkin tidak lebih dari representasi dari suatu jawaban yang telah ditentukan. Mungkin sudah saatnya kita merenungkan kembali bagaimana kita bertanya. Apakah kita bertanya untuk membuka dunia, atau untuk menutupnya? Dan dalam pendidikan, apakah kita mendorong para pelajar untuk berpikir, atau untuk mengulang? Pertanyaan tidak netral. Pertanyaan mencerminkan horizon jawaban yang kita warisi dan wariskan kembali. [desanomia – 300925 – dja]