Sumber ilustrasi: Pixabay
9 September 2025 10.40 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Sebagian dari kita mungkin pernah bertemu dengan ungkapan jenaka berikut:“uang bukan segala-galanya, tetapi segalanya membutuhkan uang”. Apakah ungkapan tersebut layak untuk menjadi bahan refleksi, untuk menangkap pesan dibaliknya, ataukah ungkapan tersebut hanyalah ekspresi tanpa makna, yang mengalir dalam hidup publik? Jika yang kedua, maka kita bisa mengatakan bahwa ungkapan tersebut hanya sekedar alat untuk membentuk senyum dan tawa, ketika situasi tertentu datang. Namun, jika sebaliknya, yakni bahwa ungkapan tersebut sebenarnya adalah refleksi atas realitas dan daripadanya dapat dicari tahu apa pesan yang sebenarnya sedang dikirim lewat kejenakaan tersebut, maka tentu dibutuhkan upaya tertentu untuk menyingkapkannya.
*
Dalam batas-batas tertentu, ungkapan tersebut, dapat dibaca sebagai ekspresi dari kesaksian atas terjadinya ketegangan antara nilai ideal dan kondisi material. Antara apa yang “seharusnya” dengan apa yang senyatanya terjadi. Ungkapan ini bukan sekadar kelakar, melainkan ekspresi paradoks yang memperlihatkan cara masyarakat modern bergulat dengan realitas ekonomi yang kian menghegemoni seluruh aspek kehidupan. Kejenakaan yang ditampilkan berfungsi sebagai penanda budaya: bahwa dalam kehidupan sehari-hari, terdapat keadaan laten bahwa uang telah mengambil peran sentral dalam menentukan keberlangsungan hidup, relasi sosial, dan makna kesejahteraan.
Pernyataan “uang bukan segala-galanya” mengacu pada warisan etis dari berbagai tradisi filsafat dan spiritualitas, yang menempatkan kebajikan, cinta, dan kebahagiaan sebagai nilai-nilai yang tak dapat diukur oleh standar material. Namun, bagian lanjutan yang menyatakan “segala-galanya membutuhkan uang” justru membongkar idealita tersebut. Ketika akses terhadap pendidikan, kesehatan, bahkan martabat hidup, tergantung pada kemampuan finansial, maka nilai-nilai luhur tidak lagi memiliki ruang aktual tanpa dukungan material. Paradoks ini menandai krisis dalam tatanan nilai: bahwa apa yang semula dianggap sebagai tujuan hidup kini dipaksa tunduk kepada alat yang semestinya netral.
Dalam konteks sosial-politik, kelakar ini mencerminkan kekecewaan yang halus terhadap sistem ekonomi dan kebijakan publik. Janji-janji politik mengenai kesejahteraan dan keadilan kerap kandas di hadapan kenyataan fiskal yang sempit dan struktur ekonomi yang eksklusif. Masyarakat kemudian dipaksa untuk menyadari bahwa hak konstitusional sekalipun, tidak dapat direalisasikan tanpa kemampuan membeli. Kelakar ini menjadi bentuk “counter” simbolik yang tidak mengandalkan demonstrasi, melainkan mengandalkan absurditas yang dikenali dan diakui secara kolektif.
Dalam konteks pemikiran kontemporer, ungkapan tersebut mencerminkan pergeseran dari nilai intrinsik menuju nilai instrumental. Segala sesuatu diukur melalui angka, harga, dan potensi konversi ekonomi. Uang telah menjadi bahasa utama dalam relasi sosial, bukan hanya sebagai alat tukar, tetapi sebagai representasi eksistensi. Ketika segala sesuatu membutuhkan uang, maka apa yang tidak dapat dibeli perlahan-lahan tersingkir dari ruang sosial. Kebajikan tanpa modal, integritas tanpa akses, bahkan cinta tanpa sumber daya, menjadi rentan kehilangan tempat di tengah sistem yang mendewakan efisiensi dan hasil.
Kelakar ini menyuarakan kesadaran kolektif dalam bentuk yang paling halus. Tidak menyudutkan, tidak menyampaikan kritik secara frontal, melainkan menyelipkan realitas dalam bentuk humor. Di balik tawa yang ditimbulkannya, terdapat keprihatinan mendalam terhadap arah peradaban. Ketika uang telah menjadi prasyarat untuk segala hal, maka seluruh ruang hidup terancam mengalami reduksi nilai: dari yang bermakna menjadi yang dapat dibeli. Maka yang terdengar sebagai kelakar, sesungguhnya adalah refleksi mendalam tentang hidup bersama kita.
*
Atas dasar kesemuanya itu, uang tidak lagi sekadar instrumen pertukaran atau alat ukur nilai, melainkan telah menjelma menjadi modus dasar keberadaan dalam dunia modern. Keberadaan manusia, dalam banyak aspek, ditentukan oleh sejauh mana relasi dengan sistem uang terbentuk. Bukan hanya kebutuhan dasar yang bergantung pada uang, melainkan juga pengakuan sosial, akses terhadap institusi, dan bentuk partisipasi dalam kehidupan publik. Eksistensi tidak lagi cukup dijamin oleh keberadaan fisik atau moral seseorang, melainkan oleh kemampuan untuk beroperasi dalam logika ekonomi.
Dalam masyarakat kapitalistik lanjut, uang berperan sebagai medium eksistensinya: penentu “ada” atau tidaknya seseorang dalam tatanan sosial. Kehilangan uang berarti kehilangan akses terhadap pendidikan, perawatan, tempat tinggal, dan bahkan ruang simbolik seperti martabat dan status. Hubungan antarmanusia pun mengalami transformasi: dari relasi personal menjadi relasi kontraktual yang dimediasi oleh kemampuan finansial. Komunitas tidak lagi dibangun atas dasar solidaritas alami atau komitmen moral, melainkan berdasarkan kompatibilitas ekonomi dan kelayakan pasar.
Institusi-institusi yang seharusnya menjadi penjamin nilai intrinsik manusia, seperti sekolah, rumah sakit, dan berbagai institusi lain, bertransformasi menjadi entitas yang tunduk pada kalkulasi biaya dan efisiensi. Akibatnya, dimensi manusiawi direduksi menjadi angka, dan pilihan hidup dibentuk oleh logika investasi. Kemiskinan tidak hanya menjadi kondisi material, melainkan status ontologis: tak terlihat, tak terdengar, dan sering kali tak diakui. Dalam lanskap seperti ini, uang berfungsi bukan hanya sebagai alat, tetapi sebagai bentuk realitas itu sendiri.
Ekonomi tidak lagi berada di pinggiran kehidupan, tetapi telah menjadi kerangka utama yang membentuk cara berpikir, merasakan, dan bertindak. Bahkan waktu pun dikomodifikasi: dihitung, dibeli, dijual. Cinta, perhatian, dan bahkan keheningan dijadikan jasa yang bisa dinegosiasikan. Ketika seluruh aspek kehidupan dikaitkan dengan harga dan potensi keuntungan, maka uang tidak hanya menguasai ruang publik, tetapi juga ruang batin.
Dalam kondisi tersebut, pertanyaan eksistensial tentang “siapa aku” tak terlepas dari “apa yang aku miliki”. Identitas, mimpi, dan cita-cita dibentuk dan dibatasi oleh logika ekonomi uang. Subjek manusia tidak lagi bebas membentuk hidupnya berdasarkan nilai-nilai internal, melainkan diarahkan oleh tekanan untuk tetap relevan dalam pasar. Maka ketika uang menjadi pusat gravitasi kehidupan, seluruh tatanan nilai dan makna mengalami reposisi radikal. Yang bernilai adalah yang dapat dikonversi, dan yang tak dapat diuangkan menjadi tidak terlihat.
Dengan demikian, masyarakat modern tidak hanya mengatur kehidupan melalui uang, tetapi telah menyerapnya sebagai struktur dasar keberadaan. Dalam dunia semacam ini, setiap pilihan, relasi, dan pemaknaan eksistensi berlangsung dalam horizon ekonomi. Keberadaan bukan lagi sekadar “ada”, melainkan “ada dalam kemampuan membeli” (daya beli). Maka, memahami uang bukan hanya soal ekonomi, tetapi soal realitas zaman. Benarkah demikian? Atau, sebenarnya dunia kita baik-baik saja, dan apa yang diuraikan di atas, hanya pandangan yang tidak berbasis pada kenyataan? [desanomia – 090925 – dja]