Trisumber Pengetahuan

sumber ilustrasi: unsplash

Gagasan tripusat diambil dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara (KHD) tentang tripusat pendidikan. Dalam gagasan tersebut, pendidikan dipandang bukan suatu proses eksklusif yang berlangsung melalui institusi pendidikan, yakni sekolah. Pendidikan merupakan proses menjadi manusia seutuhnya berlangsung sepanjang hidup dalam tiga lingkungan utama: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Adalah artinya: (a) manusia tidak bisa dibentuk secara parsial; (b) pendidikan tidak boleh terlepas dari budaya hidup bangsa; dan (c) setiap individu mesti diarahkan untuk menjadi manusia merdeka.

Hal penting yang daripadanya dapat diambil suatu inspirasi adalah bahwa proses belajar dipahami sebagai proses yang terintegrasi, dan bukan suatu proses yang dapat dengan begitu saja dipisahkan dari lingkungannya. Paham konvensional menganggap bahwa peserta didik dapat memperoleh pengetahuan melalui kegiatan khusus di dalam kelas, dan menganggap semua proses yang berjalan di luar ruang tersebut dianggap bukan menjadi bagian dari proses pembelajaran. Padahal jika diperiksa lebih seksama, maka tidak berlebihan jika proses di luar kelas justru merupakan waktu belajar yang lebih berpengaruh dalam kehidupan peserta didik.

Oleh sebab itulah, meletakkan “tiga lokasi” tersebut sebagai pusat pendidikan, merupakan pemikiran visioner, terlebih jika diletakkan dalam kerangka perjuangan. Dalam hal ini, ada rasa khawatir, pendidikan tidak mampu menjadi “fasilitator” bagi peserta didik dalam membentuk rasa kebangsaannya. Dan jika tidak ditangani secara baik, bukan tidak mungkin para peserta didik pada nantinya justru akan menjadi ancaman bagi bangsa. Baik akibat tindakannya yang merugikan bangsa, atau mungkin karya lain yang tidak membawa bangsa kepada peradaban yang lebih tinggi. Pada titik inilah, pemikiran KHD perlu dilihat, yakni suatu inovasi yang memungkinkan terbangunnya ekosistem pembejaran, yang membuat peserta didik di mana pun dan kapan pun senantiasa ada dalam lingkungan pembelajaran.

  • Alam Keluarga – Pendidikan Watak dan Budi Pekerti. Keluarga dalam hal ini memiliki peran dalam membangun dasar moral dan emosional anak melalui kasih sayang, nilai-nilai spiritual, dan pembiasaan sehari-hari. Adapun ciri utamanya: pendidikan bersifat informal, berlangsung melalui contoh, interaksi, dan kebiasaan; mendidik budi pekerti, rasa cinta, rasa bersatu, dan suasana batin yang tak tergantikan oleh institusi lain; dan orangtua sebagai guru pertama dan rumah sebagai “sekolah” pertama. Alam keluarga mengandaikan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab pribadi dan moral dari unit terkecil masyarakat — bukan monopoli negara.
  • Alam Akademi (Sekolah) – Pendidikan Intelektual dan Keterampilan. Akademi memiliki peran utama dalam mengembangkan kemampuan cipta, rasa, dan karsa melalui pembelajaran terstruktur. Adapun ciri dasarnya adalah: pendidikan formal, berlangsung secara sistematis dan terencana; fungsi utama sekolah adalah sebagai balai wiyata — tempat di mana anak mendapatkan pengetahuan, logika, dan keterampilan teknis; dan guru bukan hanya pengajar, tapi pamong, penuntun yang mengasuh secara penuh kasih dan menghormati kemerdekaan siswa. Sekolah tidak boleh melulu mengisi kepala, tetapi menumbuhkan seluruh potensi manusia dalam keseimbangan akal, rasa, dan kehendak.
  • Alam Masyarakat – Pendidikan Sosial dan Karakter. Masyarakat atau komunitas dalam hal ini memiliki peran membentuk karakter dan kepribadian dalam interaksi sosial nyata. Adapun ciri dasarnya adalah: pendidikan non-formal, berlangsung melalui pergaulan, organisasi, komunitas, dan aktivitas sosial; anak belajar tentang tanggung jawab, kepemimpinan, empati, dan solidaritas; dan masyarakat menjadi arena latihan dan uji coba nilai-nilai yang telah dipelajari di keluarga dan sekolah. Pendidikan harus berujung pada keterlibatan aktif dalam kehidupan kolektif. Manusia bukan makhluk privat, tapi warga komunitas.

KHD tidak menempatkan salah satu pusat sebagai yang dominan. Ia menekankan sinergi dan harmoni antara ketiganya: (a) tidak ada satu pun pusat yang bisa menciptakan manusia paripurna secara tunggal; (b) ketiganya harus berkoordinasi dan saling melengkapi; dan (c) bila salah satu lemah, keseimbangan pendidikan terganggu. Sangat jelas pesannya bahwa pendidikan sejati tidak bisa direduksi menjadi instruksi kelas. Ia adalah proyek sosial dan moral kolektif yang mengakar dalam seluruh dimensi kehidupan manusia.

Tantangan yang lebih jauh adalah apakah ketiga ruang tersebut hanya semata-mata sebagai suatu ruang yang memungkinkan proses pembelajaran, ataukah sebenarnya ruang tersebut merupakan proses yang tidak hanya sebagai arena pembelajaran melainkan juga sebagai arena yang memproduksi pengetahuan (dalam makna yang luas). Ketika ruang kelas (sekolah) berlangsung (terselenggara), maka yang terjadi tidaklah sekedar suatu peristiwa “perpindahan” pengetahuan – sebagaimana yang secara konvensional dipahami, melainkan suatu dialektika antara “yang mengajar” dan “yang belajar”, dan sebaliknya – sedemikian sehingga tidak bisa lagi dikenali mana yang mengajar dan “yang belajar”.

Dalam proses tersebut bukan lagi sesuatu yang diindentifikasi sebagai “proses transfer”, melainkan proses “produksi pengetahuan” bersama, dalam suatu kolaborasi.

Jika semua ruang berlangsung demikian itu, dan ketiganya berinteraksi dalam kolaborasi pembentukan pengetahuan, maka keadaannya akan berbeda sama sekali. Ketiga ruang tidak lagi hanya sebagai ruang pembejaran, yang dalam optik KHD harus dalam satu kesatuan skema pembelajaran, akan tetapi menjadi ruang sumber pengetahuan, dan interaksi serta kolaborasi ketiganya akan merupakan sumber pengetahuan pula.

Apabila pemikiran tersebut dapat diterima, maka tantangan yang lebih mendasar akan terbit, yakni bagaimana masing-masing dapat menerima “pengetahuan” yang dihasilkan di masing-masing ruang. Kerangka berpikir yang berbeda, dipahami akan menghasilkan pengetahuan yang berbeda. Dunia akademi yang selama ini dipahami sebagai sumber pengetahuan, tentu akan menghadapi tantangan yang tidak mudah, ketika kepadanya diminta untuk memberi tempat pada sumber pengetahuan yang di luar dirinya.

Namun demikian, kita percaya bahwa dunia telah berubah. Masalah-masalah mendasar yang hingga kini tidak dapat diatasi, dan bahkan telah hadir masalah yang mengancam eksistensi umat manusia yakni perubahan iklim, telah menuntut adanya jenis pengetahuan baru. Pengetahuan yang melampaui apa yang kini dipahami. Pada titik inilah, trisumber pengetahuan diajukan. [Desanomia – 10.4.25 – DJ]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *