Tubuh Bangsa

Sumber ilustrasi: Pixabay

2 Oktober 2025 10.30 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Bagi mereka yang mungkin tidak terlalu peduli dengan “tubuh”, barangkali sulit untuk membuat refleksi lebih jauh tentang apa yang demikian dekat dengan diri seseorang? Sedemikian dekatnya, bahkan ada yang mengatakan bahwa tubuh adalah diri itu sendiri. Dalam soal ini, barangkali perdebatan bisa dibuka selebar-lebarnya. Mereka yang punya pengalaman sangat personal, barangkali dapat menyumbang pengalaman untuk memperdalam diskusi. Apa yang perlu diperiksa lebih jauh adalah apakah tubuh sekedar “wadah”, atau dia sendiri melampaui apa yang dimengerti sebagai wadah.

Berbeda dengan pandangan umum, ada pandangan yang mengatakan bahwa tubuh tidak dapat dimengerti hanya sebagai wadah jasmani, alat biologis, atau objek fisiologis yang netral. Tubuh adalah bentuk kehadiran yang paling awal, tempat dunia mula-mula menyentuh kesadaran. Sebelum kata, sebelum nalar, tubuh telah terlebih dahulu mengalami—melalui rasa, melalui nyeri, melalui letih, melalui gerak yang tidak diajarkan. Tubuh adalah medan di mana dunia mengada bagi manusia, bukan melalui teori, melainkan melalui sentuhan, tekanan, dan tarikan waktu. Kita mungkin dapat meringkasnya melalui apa disebut sebagai “mengalami”.

Dalam sejarah pemikiran, tubuh kerap dilepaskan dari nilai pengetahuan. Sering dikesampingkan karena tidak bicara dalam bahasa nalar, tubuh justru menyimpan jenis pemahaman yang lebih purba—pemahaman yang tidak diungkapkan melalui pengertian, tetapi melalui “mengalami” (keterlibatan). Tubuh tidak sekadar menampung pengalaman; tubuh adalah pengalaman itu sendiri dalam bentuk yang hidup, bergerak, dan tak henti berproses. Tubuh bukan simbol dari sesuatu yang lain, melainkan dunia yang hadir dalam kesadaran paling konkret.

Setiap tubuh membawa jejak, menyimpan ingatan yang tidak selalu bisa diucapkan. Luka-luka dalam peristiwa sejarah, perjumpaan dengan ruang, perlawanan terhadap batas, semuanya tertanam di sana. Tidak semua dapat dinarasikan, tetapi tubuh tetap “mengingat”. Dengan gerak yang tertahan, dengan napas yang tertunda, dengan kelelahan yang tak dijelaskan, tubuh mengisyaratkan lebih banyak daripada yang dapat dikatakan oleh bahasa.

Jika ada yang mengatakan “memiliki tubuh”, barangkali akan ada yang mengajukan pandangan sebaliknya bahwa sesungguhnya tidak ada jarak, karena kesemuanya menyatu. Dan persis dalam perkara ini, kita hendak mengajukan pandangan yang diperluas, yakni bahwa dalam kerangka hidup bersama, tubuh-tubuh yang “berada dalam ruang sosio-ekologis”, sesungguhnya bukan lagi tubuh yang otonomi, melainkan tubuh dalam relasi. Tubuh dalam pengertian ini, dipahami bergerak dalam ritme sosial, dibentuk oleh kebiasaan bersama, disusun oleh struktur simbolik yang mengatur cara duduk, cara menyapa, cara diam, cara berjalan, cara memandang. Tubuh adalah bagian dari dunia bersama, dan dalam dirinya terbentuk bentuk kolektivitas yang akan disebut di sini sebagai tubuh bangsa.

Tubuh bangsa bukan abstraksi. Tubuh bangsa tampak dalam irama berjalan warga, dalam pola pernapasan di musim tertentu, dalam cara mengenali pagi dan sore, dalam ekspresi duka dan sukacita yang muncul tanpa harus disepakati. Setiap bangsa memiliki tubuh karena memiliki pengalaman historis dan ekologis yang membentuk satu kesatuan hidup. Tubuh bangsa bukan metafora, melainkan konfigurasi nyata dari sejarah yang menetap dalam kebiasaan ragawi.

Pengalaman kolektif tidak pernah meninggalkan tubuh begitu saja. Penjajahan, kelaparan, pengungsian, keterpencilan, semuanya menulis dirinya dalam gestur tubuh yang bertahan. Maka tubuh bangsa dapat dikenali bukan dari slogan atau lambang negara, tetapi dari cara suatu komunitas menanggung rasa lapar, menatap tanah, menghela napas, atau saling berdiam bersama. Dalam kebiasaan yang tak dijelaskan, tubuh bangsa berdenyut.

Tubuh bangsa tidak tumbuh di ruang kosong. Kebermukiman menjadi unsur pembentuk yang tak terelakkan. Tubuh tumbuh bersama tanah, air, udara, dan iklim. Tubuh mengenal musim bukan sebagai penanggalan, melainkan sebagai ritme gerak. Tubuh bangsa yang hidup di bawah hujan tropis tidak mengenal waktu yang sama dengan tubuh bangsa yang hidup di dataran tinggi kering. Irama gerak, cara bekerja, pola makan, bahkan bentuk ruang hunian menjadi penanda yang terbentuk oleh kedekatan tubuh dengan alam.

Keintiman dengan tempat bukan hanya faktor pengaruh ekologis, melainkan pembentuk eksistensi. Setiap perubahan medan, seperti pengeringan sungai, penebangan hutan, pemadatan ruang, berpengaruh langsung terhadap ritme tubuh. Ketika tanah berubah, tubuh pun harus beradaptasi. Dan dalam ketegangan antara tubuh dan perubahan tempat tinggal, muncul gejala kehilangan orientasi. Tubuh bangsa tidak mengenali tanahnya sendiri ketika ritmenya diatur oleh kekuatan yang tidak tumbuh dari dalam kehidupan sehari-hari.

Tubuh bangsa juga menjadi ruang tafsir politik. Setiap upaya kekuasaan menyasar tubuh, mengatur bagaimana harus duduk, berjalan, berbicara, bahkan berpakaian. Tubuh didisiplinkan agar sesuai dengan norma dominan. Namun dalam tubuh selalu tersisa ruang “resistensi”. Tidak semua gerak dapat diatur. Masih ada tarikan yang menghindar, sorot mata yang menolak, atau langkah kecil yang menyimpang dari barisan. Resistensi tubuh bukan slogan, tetapi keteguhan untuk tetap berada dalam irama yang lahir dari pengalaman sendiri.

Kehilangan tubuh berarti kehilangan orientasi. Ketika tubuh dipaksa meniru irama asing, ketika ritme hidup dipandu oleh waktu yang tidak sesuai dengan musim sendiri, tubuh bangsa mulai kehilangan tanah tempat berpijak. Yang muncul bukan kemajuan, melainkan keterasingan. Tubuh menjadi alat produksi, alat konsumsi, alat kompetisi. Tubuh tidak lagi mengenal dirinya sebagai tempat hadir, tetapi sebagai sarana untuk memenuhi perintah yang datang dari luar.

Namun tubuh bangsa juga adalah ruang kemungkinan. Ketika kembali pada irama tempat, ketika mengenali luka sebagai bagian dari sejarah bersama, tubuh menjadi dasar untuk membangun kembali cara hidup yang utuh. Bukan dengan menutup diri dari perubahan, tetapi dengan berakar dalam tanah yang menghidupi. Tubuh bangsa tidak perlu ditarik ke belakang, tetapi diajak untuk tumbuh dari kedalamannya sendiri, dari keakraban dengan cuaca, dengan suara hutan, dengan bebauan tanah yang telah lama menjadi rumah.

Tubuh tidak bicara dalam konsep, tetapi dalam pengalaman. Maka tubuh bangsa dapat menjadi sumber pengetahuan yang tidak berasal dari teori, tetapi dari keterlibatan mendalam dengan dunia. Pendidikan, politik, dan kebudayaan seharusnya tidak hanya menyasar pikiran, tetapi juga mengenali tubuh sebagai tempat berlangsungnya pemahaman. Di sana, pemikiran tidak disusun, tetapi diresapi. Pemahaman tidak didiktekan, tetapi dialami bersama.

Menjadi bangsa berarti menjadi tubuh bersama. Ketika tubuh menyatu dalam ritme harian, ketika waktu dihayati bersama bukan sebagai detik-detik, tetapi sebagai musim, ketika udara dan tanah menyentuh kulit dengan keakraban, saat itulah tubuh bangsa tumbuh. Bangsa bukan kesepakatan administratif, tetapi pertemuan tubuh-tubuh yang bergerak dalam kebersamaan ritmis yang telah ditempa oleh tempat, sejarah, dan pengalaman yang tak dapat digantikan.

Tubuh bangsa bukan hal yang bisa direkayasa. Tidak dapat dibentuk melalui imitasi, tidak bisa digantikan oleh simbol. Tubuh bangsa hanya bisa tumbuh ketika dibiarkan hidup dalam irama sendiri, ketika diberi ruang untuk mengenali luka-lukanya atau mengenali apa yang dialaminya, ketika tidak dipaksa berjalan lebih cepat dari musim, atau lebih lambat dari kebutuhan hidup. Yang dibutuhkan bukan paksaan, tetapi pengakuan atas tempat dan waktu yang telah membentuknya.

Dalam tubuh bangsa, sejarah tidak hanya dikenang, tetapi dihidupi. Alam tidak hanya digunakan, tetapi dihayati. Kehadiran tidak sekadar didaftarkan, tetapi dijalani. Dan dari situ, muncul bentuk hidup yang tidak diarahkan oleh tuntutan eksternal, tetapi oleh kedalaman pengalaman bersama. Sebuah bangsa yang mengenali tubuhnya adalah bangsa yang mampu tinggal dalam sejarahnya, dan sekaligus terbuka pada masa depan yang bertumbuh dari tanahnya sendiri. [desanomia – 021025 – dja]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *