Upacara Pernikahan

Sumber ilustrasi: Pixabay

5 September 2025 11.00 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Jika upacara pernikahan, sebagai keseluruhan merupakan obyek studi, maka tentu kita dapat memeriksanya dengan cara yang beragam. Berikut ini adalah optik yang mungkin berbeda dalam melihat apa yang kini berlangsung sebagai upacara pernikahan.

*

Bagi mereka yang terlibat atau mengalami apa yang dapat disebut sebagai “yang telah lalu”, maka sangat mungkin akan memahami upacara pernikahan sebagai suatu peristiwa langka dalam hidup seseorang, keluarga atau komunitas.

Dalam batas tertentu, upacara pernikahan adalah bagian dari tatanan simbolik yang menyatukan komunitas dalam satu kesadaran bersama akan siklus kehidupan. Bukan sekadar perayaan individual, melainkan suatu bentuk ritus kolektif yang mengandung dimensi spiritual, sosial, dan kosmologis. Perkawinan adalah pertemuan dua keluarga besar, atau bahkan dua atau lebih komunitas.

Dalam kekhidmatan upacara, terdapat intensi untuk menghubungkan dua insan bukan hanya dalam ikatan hukum, tetapi dalam keterlibatan yang lebih dalam dengan tatanan nilai yang mengatasi keduanya. Setiap elemen dalam upacara memiliki makna: pakaian, doa, gerak tubuh, hingga kehadiran para saksi. Semuanya menyusun satu kesatuan tindakan yang tidak semata-mata untuk dilihat, tetapi untuk dijalani dan dialami.

Mereka yang pernah mengalami mungkin dapat bersaksi bagaimana khidmat peristiwa tersebut. Bahkan mungkin, ketika ada sesuatu yang terjadi, dapat diabaikan agar tidak mengganggu acara. Semua berdiam mengikuti acara. Tidak ada yang asyik sendiri dengan diri dan pikirannya. Waktu seakan-akan berhenti bergerak. Pendek kata, acara adalah pusat magnet. Tidak ada yang lain.

*

Kini, upacara pernikahan telah bergeser menjadi semacam pertunjukan yang diatur secara estetis. Unsur visual mendominasi. Persiapan difokuskan pada pencitraan, bukan pada pemaknaan. Yang dikejar bukan pengalaman batin, melainkan kesempurnaan dokumentasi. Kamera menjadi saksi utama, menggantikan keintiman antara individu dan komunitas. Sudut pengambilan gambar, pencahayaan, dan narasi visual menjadi pusat perhatian. Apa yang dahulu mengarah pada transendensi, kini diarahkan pada impresi.

Mereka yang hadir sebagai undangan, tidak kalah heboh dalam merespon situasi. Masing-masing juga menjadikan momen tersebut laksana pertunjukan dirinya atau setidaknya menjadikan acara sebagai “background” dari narasi dirinya. Dapat dikatakan pada kebanyakan bersiap dengan kamera masing-masing. Ada himpunan keluarga. Ada himpunan alumni. Ada himpunan kerja. Dan seterusnya. Hasilnya adalah gambar, video pendek, yang dibagikan ke grup-grup percakapan.

Perubahan ini mencerminkan pergeseran dari pengalaman ke representasi. Dahulu, makna diperoleh melalui keterlibatan dalam sebuah struktur simbolik yang lebih besar. Kini, makna diciptakan melalui rekonstruksi visual yang dapat dibagikan dan dinilai. Terjadi transisi dari keberadaan yang mengakar pada relasi batin menuju eksistensi yang bergantung pada pengakuan eksternal. Dari yang sakral menuju yang spektral.

Perubahan ini dapat dijelaskan sebagai hasil dari transformasi cara manusia mengalami waktu dan ruang. Ketika masa lalu dan masa depan direduksi menjadi rangkaian momen yang harus diabadikan, maka kehadiran yang sejati pun dikaburkan. Yang diutamakan bukan lagi “mengalami” melainkan “merekam untuk dikenang”. Dalam logika ini, keintiman berganti dengan performativitas. Peristiwa yang seharusnya menjadi momen penghayatan berubah menjadi bahan konsumsi visual.

Makna dari perubahan ini menyentuh inti relasi manusia dengan kenyataan. Kita tidak lagi mencari makna dalam kedalaman peristiwa, melainkan dalam jejak visualnya. Kenangan tidak dibentuk oleh kesan batin, melainkan oleh arsip digital. Ini menciptakan kondisi di mana pengalaman terfragmentasi dan disaring melalui lensa estetika eksternal, bukan refleksi internal. Kehidupan pun, dalam bentuk yang subtil, kehilangan kedalaman dan berubah menjadi serangkaian citra.

Dengan demikian, yang berubah bukan sekadar bentuk acara, tetapi cara manusia memahami kehadiran, makna, dan relasi. Sebuah transisi dari ritus menuju simulasi, dari penghayatan menuju pertunjukan. Apakah kesemuanya ini layak menjadi bagian dari refleksi? [desanomia – 050925 – dja]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *